KUMPULAN MAKALAH : 11/15/21

Monday, November 15, 2021

PERLAWANAN RAKYAT TERNATE TERHADAP PORTUGIS

 

KATA PENGANTAR

 

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

 

 

Bekasi, 14  November 2021

 

 

Penulis,

 


BAB I

PENDHULUAN

 

1.1 Latar Belakang

Untuk mencukupi kebutuhan di negaranya, Portugis melakukan pelayaran ke timur dengan maksud untuk mencari rempah-rempah. Pada 15 Agustus 1511, mereka berhasil merebut Malaka, dan kemudian mengalihkan perhatiannya ke Maluku karena mereka telah mengetahui bahwa Maluku merupakan penghasil rempah-rempah besar. Setelah itu, mereka membangun kerja sama dagang dengan Kesultanan Ternate ketika kesultanan Ternate dan Tidore saling bermusuhan. Bersamaan dengan itu, Armada Laut Spanyol datang ke Maluku pada tahun 1521. Spanyol yang sedang bersaing dengan Portugis diterima di Tidore. Karena diangap melanggar perjanjian Tordesillas, maka Armada Spanyol pergi dari Maluku dan menetap di Filipina.

Ternate yang merupakan pusat utama perdagangan cengkeh memiliki ketergantungan erat pada Portugis sejak mereka mendirikan benteng di sana pada tahun 1522. Pada awalnya, elit Ternate menganggap bahwa Portugis yang memegang kuasa atas bandar persinggahan di Melaka serta memiliki persenjataan yang relatif lebih unggul dapat dijadikan sebagai sekutu yang berguna. Namun, setelah beberapa waktu, perilaku para serdadu Portugis yang tidak disukai masyarakat setempat memicu penolakan. Hubungan antara Sultan Khairun dan kapten-kapten Portugis tidak begitu mulus, walaupun mereka tetap membantunya mengalahkan negeri-negeri lain di Maluku, seperti Kesultanan Tidore dan Jailolo.

Konflik antara Ternate dan Portugis pecah pada tahun 1560-an, ketika Muslim di Ambon meminta bantuan dari Sultan untuk mencegah orang-orang Eropa yang mencoba mengkristenkan daerah tersebut. Sultan Khairun pun mengirimkan sebuah armada di bawah pimpinan Kaicili Baab untuk mengepung desa Kristen Nusaniwi pada tahun 1563. Namun, pengepungan ini dibatalkan setelah tiga kapal Portugis datang. Selama beberapa waktu setelah tahun 1564, orang-orang Portugis terpaksa meninggalkan Ambon secara keseluruhan, walaupun mereka kembali menetap di sana pada tahun 1569. Baab juga ikut andil dalam sebuah ekspedisi ke bagian utara Sulawesi pada 1563 untuk membawa wilayah tersebut ke dalam kuasa kesultanan pimpinan ayahnya. Petinggi Portugis memahami bahwa penaklukan semacam ini akan diikuti dengan penyebaran agama Islam yang dapat menggoyahkan posisi mereka di Nusantara, sehingga mereka pun berusaha mendahuluinya dengan usaha pengkristenan penduduk Manado, Pulau Siau, Kaidipang, dan Toli-Toli, antara lain.

Selepas perselisihan mengenai kepemilikan Pulau Ambon, Khairun semakin meningkatkan kekuatan Ternate hari demi hari. Perkembangan ini membuat pemimpin-pemimpin Portugis khawatir. Wilayah pengaruh Portugis di Halmahera diserang oleh pasukan-pasukannya. Sebagai penguasa jalur laut, Khairun juga dapat menghentikan pengiriman suplai bahan pangan yang vital dari Moro di Halmahera ke pemukiman Portugis di Ternate. Pada tahun 1570 Kapten Diogo Lopes de Mesquita (1566-1570) secara resmi melakukan rekonsiliasi dengan sang Sultan, tetapi hal ini tidak menurunkan ketegangan antar kedua pihak.[1]

 

1.2 Rumusan masalah

·         Bagaimana Sejarah Portugis Bisa Sampai Kemaluku?

·         Bagaimana Sejarah Perlawanan Ternate melawan Portugis?

 

1.3 Tujuan

Untuk menambah wawasan sisa tentang sejarah raja sultan Kahirun dan sejarah perlawanan rakyat ternate terhadap Portugis.

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 Kedatangan Portugis Kemaluku

Kedatangan bangsa Portugis di Maluku bertujuan untuk mencari rempah-rempah. Setelah menaklukkan Bandar Malaka pada 1511, kapal-kapal dagang Portugis berlayar menuju kepulauan Maluku dan Banda untuk mencari rempah-rempah, seperti dikutip dari makalah Didik Pradjoko, dosen Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) dalam Konferensi Nasional Sejarah.

Sebelum kedatangan bangsa Eropa, termasuk Portugis, rakyat Maluku makmur dari hasil rempah-rempah yang dikumpulkan di Bandar Malaka. Saat itu, Bandar Malaka menjadi pelabuhan utama pengumpulan dan distribusi cengkeh serta rempah-rempah Asia Tenggara, seperti dikutip dari penelitian Syahyunan Pora, Dosen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Khairun Ternate dalam Prosiding Seminar Nasional Banda Neira.

Rempah saat itu diartikan sebagai substansi yang memiliki rasa kuat dan aromatik dari tumbuhan tropis yang dikenal dengan manfaat aromanya atau kemampuannya mengawetkan sesuatu. Rempah diambil dari bagian kulit, akar, pucuk, bunga, getah, dan damar, termasuk sari bunga atau buah. Berbeda dengan rempah, herba, yang biasa dijumpai dan tumbuh di daerah bangsa lain yang bersuhu dingin, berasal dari daun tanaman.[2]

Bangsa Portugis pertama kali menginjakkan kaki di kawasan Maluku pada 1512, di masa Sultan Bayanullah dari Kesultanan Ternate. Armada Portugis itu tiba di perairan Banda dengan kapten Antonio de Abreu. Sultan mengutus adiknya dan beberapa pejabat kesultanan untuk melakukan pembicaraan dan akhirnya mengajak Fransisco Serrao, salah seorang di ekspedisi Portugis tersebut, seperti dikutip dari penelitian Rosdiyanto, "Kesultanan Ternate dan Tidore" dalam Jurnal Aqlam, IAIN Manado.

Perbincangan dengan Fransisco itu menghasilkan beberapa kebijakan Sultan yang kelak melemahkan posisi Kesultanan Ternate. Salah satu kebijakan tersebut yakni pendatang dari Portugis diizinkan membangun benteng di Ternate, dengan benteng pertama pada yakni benteng Toloko pada 1522.

Kedekatan Sultan dengan orang Portugis meresahkan rakyat seteh Portugis ikut campur dalam urusan dalam negeri, seperti pengangkatan dan perwarisan tahta kerajaan. Kekecewaan rakyat Ternate membuat Sultan Bayanullah diracun rakyatnya sendiri hingga tewas.

Adapun Sultan Khairun, salah satu dari empat Sultan Ternate yang membawa kebesaran Ternate dikhianati oleh Lopez de Mesquita dari Portugis. Saat menghadiri perjamuan besar, ia ditikam saat hendak masuk gerbang oleh Antonio Pimental atas suruhan Lopez dan dimutilasi, lalu jenazahnya dilemparkan ke laut.

Pada 1528, penjelajah Dom Jonge de Meneses dengan sekutunya, Ternate dan Bacan mengalahkan Tidore dan orang Spanyol (Kastilia). Namun Dom Jonge dan Kapten Goncalo Pereira dibunuh karena memaksa orang Ternate menyetor 1/3 hasil cengkeh ke raja Portugis. Portugis diusir dari Ternate terutama saat sikap Tristoa de Altaida kasar terhadap penduduk Ternate, sehingga menimbulkan pemberontakan. Benteng Portugis dibakar dan Raja Ternate memobilisasi Maluku dan Irian mengusir Portugis.

Pada abad itu, pala menjadi magnet bagi bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda. Setelah menguasai Malaka, Portugis yang menguasai rute menuju Maluku dan kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah merahasiakan rute pelajaran mereka agar bisa dimonopoli.

 

2.2 Penyebab Terjadinya Perlawanan Terhadap Bangsa Portugis

Setelah berhasil menguasai Malaka pada 1511, Bangsa Portugis melanjutkan perjalanan ke Maluku. Tujuan utamanya menguasai rempah-rempah di Ternate atau Maluku. Awalnya kedatangan Bangsa Portugis disambut hangat oleh raja dan rakyat Ternate. Bahkan Portugis diberi kesempatan mendirikan benteng dan hak monopoli perdagangan cengkeh. Keserakahan Portugis dan ketentuan harga cengkeh yang terlalu rendah, membuat rakyat Ternate atau Maluku sengsara. Permusuhan antar keduanya pun tidak dapat dihindarkan. Akibatnya Portugis harus memindahkan kegiatan dagang mereka ke Nusa Tenggara.

Menurut Miskuindu AS dalam Diktat Sejarah Nasional Indonesia (2019), perlawanan terhadap Bangsa Portugis didasari karena keserakahan mereka dan monopoli perdagangan yang terjadi di beberapa daerah, seperti Aceh dan Maluku.

 

Perlawanan ini terjadi karena sebab-sebab berikut ini:

1.      Portugis melakukan monopoli perdagangan.

2.      Portugis ikut campur tangan dalam pemerintahan.

3.      Portugis ingin menyebarkan agama Katholik, yang berarti bertentangan dengan agama yang telah dianut oleh rakyat Ternate.

4.      Portugis membenci pemeluk agama Islam karena tidak sepaham dengan mereka.

5.      Portugis sewenang-wenang terhadap rakyat.

6.      Keserakahan dan kesombongan bangsa Portugis.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka kehendak Portugis ditolak oleh raja Ternate. Rakyat Ternate dipimpin oleh Sultan Hairun bersatu dengan Tidore melawan Portugis, sehingga Portugis dapat didesak. Pada waktu terdesak, Portugis mendatangkan bantuan dari Malaka dipimpin oleh Antoni Galvo, sehingga Portugis mampu bertahan di Maluku.[3]

 

Perlawanan ini juga disebabkan oleh beberapa hal lainnya, yaitu:

·         Portugis berusaha memperluas daerah kekuasaannya. Caranya dengan menaklukkan banyak kerajaan di Indonesia, seperti Kerajaan Demak, Kerajaan Ternate dan Tidore serta Kerajaan Aceh.

·         Portugis melarang Bangsa Indonesia untuk berlayar ke laut merah dan berdagang rempah-rempah. Hal ini merupakan salah satu contoh monopoli perdagangan Portugis.

·         Portugis menangkap kapal dagang milik masyarakat Indonesia, tujuannya untuk memonopoli perdagangan.

 

2.3 Perlawanan terhadap Bangsa Portugis

Bangsa Indonesia merasa geram dengan tindakan Portugis dalam memonopoli perdagangan. Maka dari itu, rakyat Indonesia melakukan berbagai upaya perlawanan terhadap Portugis.

Apa sajakah bentuk perlawanannya?

1.      Tidak menjual rempah-rempah ke Bangsa Portugis. Contohnya pedagang Aceh yang tetap berani membawa lada ke India serta Laut Merah.

2.      Timbulnya perlawanan dari rakyat Aceh, Demak serta Ternate atau Maluku terhadap Portugis.

 

2.4 Perlawanan Ternate Dipimpin Sultan Hairun

Pada tahun 1565, rakyat Ternate bangkit kembali di bawah pimpinan Sultan Hairun. Raja Ternate yang sangat gigih melawan Portugis adalah Sultan Hairun yang bersifat sangat anti-Portugis. Portugis berusaha menangkap Sultan Hairun, namun rakyat bangkit untuk melawan Portugis dan berhasil membebaskan Sultan Hairun dan tawanan lainnya. Beliau dengan tegas menentang usaha Portugis untuk melakukan monopoli perdagangan di Ternate. Rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Hairun melakukan perlawanan. Rakyat menyerang dan membakar benteng-benteng Portugis. Portugis kewalahan menghadapi perlawanan tersebut. Dengan kekuatan yang lemah, tentu saja Portugis tidak mampu menghadapi perlawanan. Oleh karena itu, pada tahun 1570 dengan licik Portugis menawarkan tipu perdamaian. Sehari setelah sumpah ditandatangani, de Mosquito mengundang Sultan Hairun untuk menghadiri pesta perdamaian di benteng. Tanpa curiga Sultan Hairun hadir, dan kemudian dibunuh oleh kaki tangan Portugis. Peristiwa ini menimbulkan kemarahan besar bagi rakyat Maluku dan terutama Sultan Baabullah, anak Sultan Hairun.

 

2.5 Perlawanan Ternate Dipimpin Sultan Babullah   

Perlawanan rakyat Ternate dilanjutkan di bawah pimpinan Sultan Baabullah (putera Sultan Hairun). Bersama rakyat, Sultan Baabullah bertekad menggempur Portugis. Pasukan Sultan Baabullah memusatkan penyerangan untuk mengepung benteng Portugis di Ternate. Lima tahun lamanya Portugis mampu bertahan di dalam benteng yang akhirnya menyerah pada tahun 1575 karena kehabisan bekal. Kemudian Portugis melarikan diri ke Timor Timur. Pada tahun 1574 benteng Portugis dapat direbut, kemudian Portugis menyingkir ke Hitu dan akhirnya menguasai dan menetap di Timor-Timur sampai Tahun 1975.[4]

 

2.6 Peperangan

Kematian Sultan Khairun memicu kemurkaan orang-orang Ternate serta raja-raja Maluku lainnya. Dewan diraja Ternate, yang didukung oleh para kaicili dan sangaji (penguasa daerah), mengadakan musyawarah di Pulau Hiri dan menetapkan Kaicili Baab sebagai Sultan Ternate berikutnya, dengan gelar Sultan Baabullah Datu Syah. Menurut satu riwayat yang tercatat di kemudian hari, pada pertemuan itu mereka berikrar: "Apa yang mesti kita segani dari Portugis jika kita menyadari kekuatan kita sendiri? Apa yang mesti kita takuti, apa yang dapat membuat kita putus asa? Bangsa Portugis memuliakan orang yang merampok paling banyak, dan yang bergelimang kejahatan serta dosa-dosa besar ... Negeri kita adalah tanggungan kita, dan begitu pula perlindungan akan orang tua, istri, anak-anak dan kemerdekaan kita.[8] Sultan bermaksud untuk berperang demi menegakkan kembali agama Islam di Maluku, membawa Kesultanan Ternate menjadi kekuatan utama, dan mengusir orang-orang Portugis dari negerinya.[9][10]

Di Ternate, terjadi pertempuran antara tentara Portugis melawan tentara Sultan Hairun dari tahun 1550. Pada tahun 1570, Sultan Hairun dibunuh oleh Portugis.[1] Akibatnya, pengganti Sultan Hairun, yaitu Sultan Baabullah, bersumpah akan terus memusuhi Portugis[1] Sebagai balasan atas pembunuhan Khairun, Baabullah meminta agar Lopes de Mesquita dibawa ke hadapannya untuk diadili. Benteng-benteng Portugis di Ternate, yaitu Tolucco, Santa Lucia, dan Santo Pedro jatuh dalam waktu singkat, menyisakan São João Baptista (kediaman Mesquita) sebagai pertahanan terakhir. Di bawah komando Baabullah, pasukan Ternate mengepung São João Baptista dan memutuskan hubungan benteng tersebut dengan dunia luar; suplai makanan dari luar tidak diperbolehkan masuk kecuali sejumlah kecil sagu yang hampir-hampir tidak dapat membantu penduduk benteng bertahan hidup. Walaupun begitu, pasukan Ternate sesekali memperbolehkan pertemuan antara penduduk benteng yang dikepung dengan masyarakat pulau lainnya—sebab banyak penduduk asli Ternate kala itu yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Portugis melalui pernikahan. Dalam kondisi tertekan seperti ini, orang-orang Portugis mengangkat Alvaro de Ataide sebagai kapten baru mereka menggantikan Lopes de Mesquita. Namun, pergantian kepemimpinan ini tidak menggoyahkan niat Baabullah untuk mengusir orang-orang Eropa[11] Tersisa hanya 400 orang dengan keadaan mengenaskan. Portugis tidak dapat mengirim bala bantuan karena Malaka sedang dikepung oleh Kesultanan Aceh.[1] Sultan Baabullah tidak membantai dan menyiksa para tawanan portugis, namun ia memberikan kesempatan selama 24 jam untuk pergi ke Malaka dan Ambon. Bila masih ada orang Portugis di Ternate, mereka akan dijadikan budak.[12]

Selagi pengepungan tersebut berlangsung, pasukannya menyerang wilayah-wilayah yang menjadi pusat misi Yesuit di Halmahera, dan memaksa penguasa Bacan yang sudah dibaptis untuk beralih kembali ke Islam pada sekitar tahun 1571.[13] Pada tahun 1571 sebuah armada Ternate dengan enam kora-kora besar di bawah pimpinan Kapita Kalasinka menyerbu Ambon.[14] Pasukan Ternate juga berhasil menaklukkan wilayah Hoamoal (di Seram), Ambelau, Manipa, Kelang dan Boano. Tentara Portugis yang dikomandoi Sancho de Vasconcellos berusaha dengan susah payah untuk mempertahankan benteng-benteng mereka, dan kehilangan kuasa mereka di laut atas perdagangan cengkeh.[15]

Pada tahun 1575 sebagian besar tanah Portugis di Maluku telah diambil alih oleh Ternate, dan suku-suku serta negeri-negeri yang mendukung Portugis telah benar-benar tersudut. Hanya São João Baptista saja yang masih dalam pengepungan. Selama lima tahun sebelumnya orang Portugis beserta keluarga mereka mengalami kesulitan hidup di dalam benteng yang terputus dari dunia luar tersebut. Sultan Baabullah menuntut agar orang-orang Portugis di dalam benteng segera menyerahkan diri untuk meninggalkan Ternate, dan berjanji akan memberikan kapal serta suplai agar mereka dapat mencapai Ambon. Sementara itu penduduk benteng yang berasal dari Ternate diperbolehkan tinggal selama mereka mengakui pemerintahan kesultanan. Kapten Nuno Pereira de Lacerda menerima persyaratan tersebut.

 

2.7 Menyerahnya Bangsa Portugis

Setelah mengumumkan perang, pasukan Sultan Khairun menggempur kerajaan-kerajaan kecil yang sebelumnya telah terindikasi bakal memberontak. Satu demi satu kerajaan-kerajaaan tetangga itu pun dapat ditundukkan oleh Kesultanan Ternate dan sekaligus memperlemah kekuatan Portugis.

Armada tempur Ternate cukup besar, salah satunya berkat bantuan persenjataan dari Turki Usmani. Bahkan, Khairun masih bisa mengirimkan pasukan untuk membantu Aceh dan Demak yang sedang menghadapi Portugis di Malaka. Abdul Ghofur Anshori & ‎Yulkarnain Harahap (2008) dalam Hukum Islam: Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, menyebut ketiganya membentuk Tripple Alliance untuk membendung Portugis di Nusantara (hlm. 98).

Di Maluku, Ternate juga tak sendiri. Sultan Khairun bergabung dengan Tanah Hitu, salah satu kerajaan Islam di Maluku. Raja-raja dari Jailolo, Bacan, dan Tidore juga turut bergabung dan sepakat untuk membasmi bangsa asing (Walter Bonar Sidjabat, Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini, 1964:78). Tidak hanya itu, Sultan Khairun juga memperoleh bantuan pasukan dari Jawa atas perintah Ratu Kalinyamat yang memerintah di Jepara. Ratu Kalinyamat adalah putri mantan penguasa Demak, Sultan Trenggono.

Benteng Portugis yang berada di wilayah Ternate dikepung pada 1558. Pangeran Laulata, putra Sultan Khairun, memimpin pasukan menyerang Portugis di Maluku selatan dengan pusatnya di Ambon. Banyak negeri di pulau itu yang berhasil ditaklukkan (M. Adnan Amal, Maluku Utara: Perjalanan Sejarah 1250-1800, 2002:198).

Tahun 1567, hampir seluruh kekuatan Portugis dapat diatasi oleh Ternate. Gubernur Portugis di Maluku, Diogo Lopez de Mesquita, menyerah dan memohon perdamaian. Sultan Khairun menyambut baik permintaan itu. Portugis tetap diperbolehkan berdagang di Maluku tapi tidak lagi mendapatkan hak monopoli. Sultan Khairun juga tidak melarang masyarakat Maluku yang telah memeluk Katolik untuk menjalankan ibadah. Bahkan, sang sultan mengizinkan pula kaum misionaris untuk kembali beraktivitas, termasuk membangun kembali gereja-gereja Katolik, asalkan tidak menyentuh pemeluk Islam.[5]

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1 Kesimpulan

Latar belakang memicunya perlawan oleh Pattimura, di karnakan selain dari tekanan ekonomi yang kuat setelah dominasi VOC, juga karena hal-hal berikut. Alasan ekonomi, yaitu tindakan pemerintah Belanda yang memperburuk kehidupan masyarakat, seperti sistem pengembalian paksa, kewajiban kerja yang tidak signifikan, pengiriman atap dan gaba, penyajian ikan asin, cretin dan kopi. Selain itu, peredaran uang kertas mencegah masyarakat Maluku untuk dapat menggunakannya untuk kebutuhan sehari-hari karena mereka tidak terbiasa. Penyebab psikologis, yaitu pemecatan guru sekolah karena pengurangan sekolah dan gereja dan pengiriman Maluku untuk dinas militer di Batavia. Hal-hal tersebut di atas adalah tindakan penindasan oleh pemerintah Belanda terhadap rakyat Maluku.



[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Ternate-Portugal di akses pada Minggu,  14 November 2021 pada pukul 19:48 WIB

[2] https://www.detik.com/ di akses pada Minggu, 14 November 2021 pukul 20:50WIB

[3] http://www.guruips.com/ Diakses pada Senin, 15 November 2021 pukul 08:09WIB

[4] https://www.kompas.com/ di akses pada senin, 15 November 2021 pukul 09:21WIB

[5] https://tirto.id/ diakses pada senin, 15 November 2021 pukul 11:02WIB