KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Bekasi,10 September 2018
Penyusun
BAB IPenyusun
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Lagu
himne guru menunjukkan betapa pentingnya keberadaan seorang guru bagi kehidupan
seorang manusia dalam mengenal dunia. Tanpa guru, tidak akan muncul generasi
pintar yang akan membangun bumi ini. Semua orang pasti mengakui jasa seorang
guru bagi dirinya walau hanya di dalam hati, tetapi mereka hanya mengakui
dengan tanpa upaya memberikan suatu penghargaan yang lebih dibanding kepada
profesi lain.
Akibatnya,
profesi guru yang dulu merupakan profesi yang paling bergengsi dan menjadi
dambaan bagi generasi muda pada zaman leluhur kita, kini menjadi profesi yang
kurang diminati dan dihargai dibanding dengan profesi lainnya. Orang tua akan
sangat bangga jika anaknya menjadi seorang dokter, insinyur, tentara, polisi,
atau profesi lainnya dibanding menjadi seorang guru.
Pada
jaman penjajahan Belanda, status profesi guru memang sangat tinggi. Guru
dipandang sebagai pemimpin masyarakat yang disegani dan mempunyai status
ekonomi yang relatif tinggi. Dalam buku Siti Sahara, Wanita Guru Pertama dari
Mandailing, dalam Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa ditulis, pada tahun 1920-an
misalnya, Ibu Guru Siti Sahara mempunyai gaji sebesar 40 gulden sebagai guru
Kepala Sekolah Wanita di Bireum. Suatu jumlah yang amat besar waktu itu,
mengingat ungkapan pada masa kolonial mengatakan bahwa seorang inlander cukup
hidup dengan segobang (2,5) sen sehari.
1.2
Rumusan Masalah
·
Bagaimanakah sebenarnya
Prioritas Kesejahteraan Guru?
·
Prioritas kerja Profesi
Guru?
1.3
Tujuan
·
Prioritas kerja Profesi
Guru.
·
Untuk mengetahui
prioritas dsan kesahteraan guru.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Profesi
Menurut
Dra. Ani M.Hasan,M.Pd, Profesi dalam pengertian yang lebih luas yaitu kegiatan
untuk memperoleh nafkah yang dilakukan dengan suatu keahlian tertentu. Sedangkan
dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian
tertentu dan sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial
dengan baik.
Sedangkan
Sumargi profesi guru adalah profesi khusus _ luhur. Mereka yang memilih profesi
ini wajib menginsafi dan menyadari bahwa daya dorong dalam bekerja adalah
keinginan untuk mengabdi kepada sesama serta menjalankan dan menjunjung tinggi
kode etik yang telah diikrarkannya, bu-kan semata-mata segi materinya belaka
Pada
masa penjajahan Jepang, status profesi guru juga masih terhormat. Para guru
diberi julukan Sensei yang dalam kebudayaan Jepang mempunyai kedudukan sosial
yang amat dihormati. Dalam masa awal perjuangan kemerdekaan, para guru juga
dihargai karena mereka bukan saja mengambil peran amat penting dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga ada yang ikut aktif menjadi tentara
rakyat dan berperang mengusir penjajah.
Pascakemerdekaan
sampai tahun 1950-an, citra dan status profesi guru dalam masyarakat juga masih
tinggi. Para guru masih dilihat dan diperlakukan bukan hanya sebagai pendidik
yang pantas digugu dan ditiru di sekolah, tetapi juga sebagai pemimpin
masyarakat yang terhormat. Tingginya citra guru pada zaman penjajahan dan awal
kemerdekaan di Indonesia berkait erat dengan citra masyarakat memandang profesi
guru. Pada masa itu, guru dicitrakan amat bagus karena berkait erat dengan
status sosial (ekonomis, politis dan budaya) pemegang profesi yang bersangkutan
dan kredibilitas professional para guru. Status ekonomi para guru pada waktu
itu memang tinggi. Mereka mendapat imbalan jasa yang memadai untuk hidup
sejahtera bersama keluarga.
2.2
PROFESIONAL
Secara
politis, guru diperlukan pemerintahan penjajah dalam rangka menunjang politik
etisnya. Dengan kebijakan memberikan pendidikan dasar pada sementara inlander
untuk tugas-tugas administratif yang diperlukan penjajah.
Dari
sisi budaya, relasi guru dengan padepokan-padepokan sebagaimana terungkap dalam
hubungan dengan para kyai di pesantren-pesantren, guru sungguh dilihat sebagai
pemimpin yang digugu dan ditiru. Dalam masyarakat Jawa ada ungkapan, guru ratu
wong tuwo akaro. Artinya, orang wajib menaati pertama-tama gurunya, kemudian
rajanya, dan baru orang tuanya.
Dari
uraian itu, jelas salah satu cara mengangkat citra guru bukan dengan memberikan
sertifikasi seperti pengacara atau dokter, melainkan dengan memperbaiki
citranya dalam masyarakat. Perbaikan citra erat kaitannya dengan mengubah cara
pandang masyarakat terhadap pekerjaan guru. Persoalannya, kini citra guru sudah
telanjur terpuruk dan bahkan pekerjaan guru dianggap pelarian karena tidak ada
pekerjaan yang lebih layak.
Menurut
penelitian Dr Martinus Tukir Handoko dari sekian banyak guru sebenarnya pada
mulanya tidak mempunyai motivasi menjadi guru. Pada mulanya, mereka memang
bersekolah di Sekolah Pendidikan Guru, tetapi sebenarnya tidak mempunyai maksud
menjadi guru. Ada yang karena tidak diterima di sekolah lain, ada yang karena
dipaksa orang tuanya, karena ekonomi keluarganya yang lemah, sehingga terpaksa
masuk ke pendidikan guru.
Banyak
orang tak mau menjalani profesi tersebut, sementara mereka yang sudah menjadi
guru beralih ke profesi lain yang memberikan kesejahteraan lebih baik. Menurut
data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, jumlah guru SD yang berpindah
profesi per Juli 2004 sudah mencapai 50,6 persen dari 993.108 guru yang ada.
Menjadikan guru sebagai profesi tidak menjamin citra guru akan meningkat.
Bahkan guru semakin dituntut pengabdiannya yang besar kepada masyarakat bahkan
dengan imbalan yang amat rendah.
Mending,
menjadi pengacara atau dokter yang memperoleh izin membuka praktik sendiri
manakala imbalan dari pekerjaan resminya sangat kecil. Guru sangat tergantung
pada pekerjaan yang diciptakan oleh orang lain entah itu perorangan, yayasan atau
pemerintah. Dengan demikian, guru harus patuh terhadap norma-norma yang dibuat
oleh kekuasaan di luar dirinya sendiri.
Profesionalisme
adalah suatu paham yang mencitakan dilakukannya kegiatan-kegiatan kerja
tertentu dalam masyarakat, berbekalkan keahlian yang tinggi dan berdasarkan
rasa keterpanggilan - serta ikrar (fateri/profiteri) untuk menerima panggilan
tersebut - untuk dengan semangat pengabdian selalu siap memberikan pertolongan
kepada sesama yang tengah dirundung kesulitan di tengah gelapnya kehidupan
(Wignjosoebroto, 1999).
Dengan
demikian seorang profesional jelas harus memiliki profesi tertentu yang
diperoleh melalui sebuah proses pendidikan maupun pelatihan yang khusus, dan
disamping itu pula ada unsur semangat pengabdian (panggilan profesi) di dalam
melaksanakan suatu kegiatan kerja.
Hal
ini perlu ditekankan benar untuk membedakannya dengan kerja biasa (occupation)
yang semata bertujuan untuk mencari nafkah dan/ atau kekayaan materiil-duniawi.
Lebih lanjut dijabarkan, profesionalisme dalam tiga watak kerja yang merupakan
persyaratan dari setiap kegiatan pemberian "jasa profesi" (dan bukan
okupasi).
Pertama,
bahwa kerja seorang profesional itu beriktikad untuk merealisasikan kebajikan
demi tegaknya kehormatan profesi yang digeluti, dan oleh karenanya tidak
terlalu mementingkan atau mengharapkan imbalan upah materiil;
Kedua,
bahwa kerja seorang profesional itu harus dilandasi oleh kemahiran teknis yang
berkualitas tinggi yang dicapai melalui proses pendidikan dan/atau pelatihan
yang panjang, eksklusif dan berat;
Ketiga,
bahwa kerja seorang profesional - diukur dengan kualitas teknis dan kualitas
moral - harus menundukkan diri pada sebuah mekanisme kontrol berupa kode etik
yang dikembangkan dan disepakati bersama didalam sebuah organisasi profesi.
Ketiga
watak kerja tersebut mencoba menempatkan kaum profesional (kelompok sosial
berkeahlian) untuk tetap mempertahankan idealisme yang menyatakan bahwa
keahlian profesi yang dikuasai bukanlah komoditas yang hendak diperjual-belikan
sekadar untuk memperoleh nafkah, melainkan suatu kebajikan yang hendak
diabdikan demi kesejahteraan umat manusia.
Kalau
di dalam pengamalan profesi yang diberikan ternyata ada semacam imbalan
(honorarium) yang diterimakan, hal itu semata hanya sekadar "tanda
kehormatan" (honour) demi tegaknya kehormatan profesi, yang jelas akan
berbeda nilainya dengan pemberian upah yang hanya pantas diterimakan bagi para
pekerja upahan saja.
2.3 Kode Etik Guru
KODE
ETIK GURU INDONESIA
·
Guru berbakti membimbing
peserta didik untuk membentuk manusia indonesia seutuhnya berjiwa Pancasila
·
Guru memiliki dan
melaksanakan kewjujuran professional
·
Guru berusaha memperoleh
informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan
·
Guru menciptakan suasana
sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar mengajar
·
Guru memelihara hubungan
baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta
dan tanggung jawab bersama terhadap pendidikan
·
Guru secara pribadi dan
secara bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu da martabat profesinya
·
Guru memelihara hubungan
profesi semangat kekeluargaan dan kesetiakawanana nasional
·
Guru secara bersama-sama
memelihara dan meningkatkan mutu organiosasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan
pengabdian
·
Guru melaksanaakn segala
kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masih
rendahnya tingkat profesionalisme guru saat ini disebabkan oleh faktor-faktor
yang berasal dari internal guru itu sendiri dan faktor lainnya yang berasal
dari luar. Faktor-faktor tersebut antara lain: Penghasilan yang diperoleh guru
belum mampu memenuhi kebutuhan hidup harian keluarga secara mencukupi. Oleh
karena itu, upaya untuk menambah pengetahuan dan informasi menjadi terhambat
karena dana untuk membeli buku, berlangganan koran, internet, tidak tersedia.
Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan dapur harus juga melakukan kerja sampingan
lainnya.
Di
samping itu, kurangnya minat guru untuk menambah wawasan sebagai upaya
meningkatkan tingkat profesionalisme sebab bertambah atau tidaknya pengetahuan
serta kemampuan dalam melaksanakan tugas rutin tidak berpengaruh terhadap
pendapatan yang diperolehnya. Kalaupun ada, hal itu tidak seimbang dengan
pengorbanan yang telah dikeluarkan.
Serta,
meledaknya jumlah lulusan sekolah guru dari tahun ke tahun. Hal itu merupakan
akibat dari mudahnya pemerintah memberikan izin pendirian LPTK (Lembaga
Pendidikan Tinggi Keguruan). Mereka yang tidak tertampung oleh pasar kerja,
mencoba menjadi guru, sehingga profesi ini menjadi pekerjaan yang
"murah".
Ironis
memang, guru yang telah banyak menghasilkan para pemimpin, politisi dan ilmuwan
serta berbagai profesi lainnya, kini dianggap sebagai profesi "murah"
dan menjadi kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Hal ini bukanlah harus
dilawan oleh guru secara fisik atau perang kata-kata agar yang lain mau
mengakui dan menerima guru sebagai tenaga yang profesional yang berjasa bagi
pembangunan negeri ini.
J
Sudarminta mengatakan, dari sisi guru sendiri rendahnya mutu guru tampak dari
gejala: 1) lemahnya penguasaan bahan yang diajarkan; 2) ketidaksesuaian antara
bidang studi yang dipelajari guru dan yang dalam kenyataan di lapangan
dijabarkan; 3) kurang efektifnya cara pengajaran; 4) kurangnya wibawa guru di
hadapan murid; 5) lemahnya motivasi dan dedikasi untuk menjadi pendidik yang
sungguh-sungguh; semakin banyak yang kebetulan menjadi guru dan tidak
betul-betul menjadi guru; 6) kurangnya kematangan emosional, kemandirian
berpikir, dan keteguhan sikap sehingga dari kepribadian mereka sebenarnya tidak
siap sebagai pendidik dan 7) relatif rendahnya kapasitas intelektual calon guru
dan para guru.
3.2 Saran
Mengangkat
citra guru, sebagaimana zaman penjajahan, jelas tidak mungkin. Namun, jika
pemerintah mau sungguh-sungguh, seperti perbaikan insentif material dan
kesejahteraan hidup, maka profesi guru akan membaik. Komitmen politik Mendiknas
mestinya tidak hanya menjadikan guru sebagai profesi tetapi juga didahului
dengan perbaikan kesejahteraan dan kualitas guru.
No comments:
Post a Comment