KATA PENGANTAR
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT
atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan
selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak
yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap
lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih
banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan
dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Bekasi, 16 November 2021
Penulis
2.1 Perlawanan banten terhadap
Belanda(VOC).
2.2 Kondisi, Posisi, dan Kedudukan
Banten
2.3 Penyebab Perlawanan Banten
Terhadap VOC
2.4 Awal Perlawanan dan Kronologis
Perlawanan Kesultanan Banten Terhadap VOC Tahun 1651-1682
2.5 Munculnya Kembali Perlawanan
Banten dan Politik Adu Domba VOC
2.6 Akhir Perlawanan Banten
Terhadap VOC
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
VOC merupakan singkatan dari Verenigde Oost
Indische Compagnie. Awalnya VOC adalah gabungan umum dari Generale Verenigde
Geoctroyeerde Oost Indische Compagnie (Persatuan Umum Persekutuan Dagang Hindia
Belanda). VOC didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 di Amsterdam, setelah
diadakannya perundingan yang lama dan sulit antara Staten Generaal (Dewan
Perwakilan). Dalam perundingan tersebut turut dihadiri oleh pengacara Belanda
yang terkenal, yaitu Johan van Oldenbarneveldt, para pengurus perusahaan dagang
Holland dan Zeeland, yang telah dibentuk antara tahun 1596 – 1602 untuk
berdagang di Hindia Timur. Sebelum VOC berdiri dengan rentang tahun antara 1598
– 1602, Belanda telah memiliki 65 kapal dari jumlah sebelumnya yaitu 22 kapal
yang mengangkut hasil bumi dari Nusantara terutama rempah-rempah, baik milik
perseorangan maupun milik perserikatan dagang.
Dengan banyaknya perserikatan dagang,
terjadilah persaingan diantara para pedagang Belanda yang mengakibatkan harga
rempah-rempah di pasaran Eropa menjadi jatuh. Oleh sebab itu, didirikan VOC
dengan tujuan untuk mewadahi para pedagang, menghindarkan para pedagang dari
persaingan yang tidak sehat, dan melindungi para pedagang dari intervensi
pedagang lain seperti pedagang Portugis, Arab, Cina, dan Inggris. VOC memiliki
hak istimewa yang disebut dengan hak oktroi. Hak tersebut mengindikasikan bahwa
VOC memiliki kewenangan dan kekuasaan yang sama seperti halnya sebuah negara.
Hak istimewa tersebut antara lain:
1.
Hak
mengadakan perjanjian dengan negara lain tanpa melalui persetujuan Raja/Ratu
Belanda.
2.
Hak
membuat dan mengedarkan uang sendiri.
3.
Hak
menyusun dan memiliki angkatan laut serta angkatan darat sendiri yang dapat
bertindak tanpa harus tunduk kepada kerajaan Belanda.
4.
Hak
menyatakan perang dengan negara atau kerajaan lain tanpa harus meminta
persetujuan dengan Raja/Ratu Belanda.
BAB II
PENDAHULUAN
2.1 Perlawanan banten terhadap Belanda(VOC).
Kedatangan Belanda ke Banten awalnya hanya
untuk melakukan perdagangan. Namun, dengan potensi alam yang dimiliki oleh
Banten dan saat itu Banten merupakan pelabuhan yang ramai, maka Belanda dengan
kongsi dagang VOC hendak menguasai Banten sehingga menimbulkan
perlawanan dari Kesultanan Banten.
Kepentingan-kepentingan yang menaungi VOC
diwakili oleh sistem majelis untuk masing-masing dari enam wilayah yang
memiliki direktur berjumlah 17 orang yang disebut dengan Heeren XVII. Mereka
berasal dari Amsterdam, Hoorn, Enkhuizen, Rotterdam, Delft, dan Middleburg
(Zeeland). Penetapan anggotaHeeren XVII
didasari atas ketentuan, yaitu 8 orang dari Amsterdam, 4 orang dari
Middleburg (Zeeland), dan sisanya berasal dari Hoorn, Enkhuizen, Rotterdam, dan
Delft dengan jumlah masing-masing satu orang. Untuk anggota yang ketujuh belas
ditentukan oleh Zeeland. Heeren XVIImengadakan pertemuan dua kali dalam satu
tahun, yaitu pada musim semi dan musim gugur.
2.2 Kondisi, Posisi, dan Kedudukan Banten
Kondisi geografis Banten pada awal abad ke 16
dilukiskan oleh Couto, yaitu Banten terletak di pertengahan teluk yang memiliki
lebar sekitar 3 mil dan panjang sekitar 850 depa serta dari tepi laut memiliki
panjang sekitar 400 depa. Untuk melindungi kota Banten, terdapat sebuah benteng
yang dinding setebal tujuh telapak tangan laki-laki terbuat dari bata dan pada
bagian pertahanannya terbuat dari kayu setinggi dua tingkat dengan dilengkapi
oleh persenjataan yang baik. Pusat kota terletak pada lapangan raja (alun-alun)
yang disebut pasebandengan masjid dan pasar disekitarnya. Jalan-jalan dibuat
secara simetris, membentuk palang silang yang sempurna. Banten memiliki luas
sekitar 10.000 km2, wilayah yang tidak lebih luas dari sebuah kabupaten yang
besar di Perancis. Wilayah Banten membentang dari Tangerang sampai Tulang
Bawang dan dari Pelabuhan ratu sampai Silebardengan jumlah penduduk sekitar
80.000 sampai 100.000 orang pada penghujung abad ke16.
Belanda menggambarkan bahwa Banten memiliki
luas hampir sama dengan Amsterdam kuno. Selain itu, Belanda menggambarkan bahwa
Banten terletak pada dataran kosong di kaki perbukitan. Untuk sampai ke Banten,
diperlukan jarak tempuh sekitar 25 mil antara Jawa dan Sumatra. Pada kedua sisi
kota mengalir sungai, dimana salah satu dari sungai itu mengalir melewati kota.
Saat itu, Banten sudah berkembang sebagai
kota pelabuhan yang ramai, dimana terdapat para pedagang Cina, Arab, Portugis,
dan Inggris selain dari pedagang Belanda dan pribumi. Komunikasi antara
pedagang pribumi dan pedagang asing dengan menggunakan lingua frangka. Dapat
dikatakan bahwa Banten merupakan salah satu pelabuhan besar di Nusantara.
Dengan ditunjang oleh potensi alam berupa beras dan komoditi unggulan
rempah-rempah berupa lada, Banten sangat maju dalam hal ekonomi seperti pada
kota-kota dagang pada umumnya.
Dalam hal politik, Banten dibawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa mampu
menjaga stabilitas politik. Hubungan kerajaan Banten dengan kerajaan lain di
Pulau Jawa, seperti kerajaan Mataram dan Cirebon terjalin dengan baik. Hubungan
antara Banten dengan kerajaan lain di Pulau Jawa tidak sejalan dengan hubungan
antara Banten dengan Belanda. Berkali-kali Sultan Ageng Tirtayasa menentang
Belanda, terutama VOC. Hubungan antara Banten dengan Mataram yang pada awalnya
sering mengalami ketegangan karena Mataram hendak menjadikan Banten sebagai
daerah bawahannya mulai menjadi kurang baik lagi ketika Amangkurat II
menandatangani perjanjian dengan VOC. Hal tersebut sama seperti ketika Cirebon
bekerjasama dengan VOC pada 1681. Pada akhirnya hubungan baik antara Banten dan
kerajaan-kerajaan lain terganggu dengan kehadiran VOC.
2.3 Penyebab Perlawanan Banten Terhadap VOC
Banten sebagai kesultanan memiliki potensi geografis dan potensi alam
yang membuat para pedagang Eropa khususnya hendak menguasai Banten. Secara
geografis, Banten terletak di ujung barat pulau Jawa, dimana jalur perdagangan
Nusantara yang merupakan bagian dari jalur perdagangan Asia dan Dunia. Selain
itu, letaknya yang dekat dengan selat Sunda menjadikan Banten sebagai pelabuhan
transit sekaligus pintu masuk ke Nusantara setelah Portugis mengambilalih
Malaka pada tahun 1511.
Potensi alam yang dimiliki Banten pun merupakan daya tarik tersendiri,
dimana Banten adalah penghasil lada terbesar di Jawa Barat dan penghasil beras
dengan dibukanya lahan pertanian dan sarana irigasi oleh Sultan Ageng
Tirtayasa. Selain dari potensi alam dan letak geografis, VOC memerlukan tempat
yang cocok untuk dijadikan sebagai pusat pertemuan. Letak Belanda yang jauh
dari wilayah Nusantara menyulitkan Heeren XVII untuk mengatur dan mengawasi
kegiatan perdagangan. Dengan pertimbangan tersebut, Banten dipilih sebagai
Rendez-vous, yaitu pusat pertemuan, dimana pelabuhan, kantor-kantor dapat
dibangun, dan fasilitas-fasilitas pengangkutan laut dapat disediakan, keamanan
terjamin dan berfungsi dengan baik. Hal inilah yang membuat VOC dibawah
pimpinan Gubernur Jendral Joan Maetsuyker hendak menguasai Banten.
Perlu diketahui, pada saat Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa tahun 1651
sampai dengan 1682, VOC dipimpin oleh Joan Maetsuyker yang memimpin VOC dari
tahun 1653 sampai 1678. Menurut Nicolaus
de Graaff, Joan Maetsuyker merupakan pemimpin VOC terlama dengan kedudukan
selama seperempat abad. Pada masa pemerintahan Maetsuyker inilah VOC mengalami
masa keemasannya.
Untuk dapat menguasai Banten, langkah yang digunakan oleh VOC adalah
dengan memblokade akses menuju ke pelabuhan Banten dengan tujuan memperlemah
sektor perekonomian Bnaten. Kapal-kapal asing yang hendak berdagang di Banten
dicegat oleh Belanda. Selain itu, kapal-kapal yang telah berdagang di Banten
pun dicegat oleh Belanda sehingga pelabuhan Banten mengalami penurunan
aktivitas perdagangan dan kegiatan perekonomi terganggu. Menyikapi hal
tersebut, Banten mengadakan perlawanan dengan menyerbu dan merampas kapal-kapal
Belanda yang bernaung dibawah VOC. Akan tetapi, VOC menggunakan siasat lain,
yaitu dengan memberikan hadiah menarik dan berupaya memperbaharui perjanjian
tahun 1645, akan tetapi hal tersebut ditolak oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
2.4 Awal Perlawanan dan Kronologis Perlawanan Kesultanan Banten Terhadap
VOC Tahun 1651-1682
Pada tahun 1651 sampai dengan 1682, Banten diperintah oleh Pangeran
Surya dengan gelar Pangeran Ratu Ing Banten dan setelah kembali dari Mekah
mendapat gelar Sultan Abdulfath Abdulfatah atau lebih dikenal dengan Sultan
Ageng Tirtayasa setelah sebelumnya Banten diperintah oleh kakek dari Sultan
Ageng Tirtayasa, yaitu Sultan Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir. Sultan Ageng
Tirtayasa merupakan anak dari Sultan Abul Ma’ali Ahmad.
Sultan Ageng Tirtayasa selama memerintah kesultanan Banten sangat
menentang segala bentuk penjajahan asing atas daerah kekuasaannya, termasuk
kehadiran VOC yang hendak menguasai Banten sangat ditentang oleh Sultan Ageng
Tirtayasa. Oleh sebab itu, VOC yang berusaha melakukan blokade terhadap
pelabuhan Banten dengan menyerang kapal-kapal yang hendak berdagang di Banten
mendapatkan perlawanan dari pasukan Banten.
Perlawanan itu awalnya diwujudkan dengan perusakan terhadap segala
instalasi milik VOC di wilayah kekuasaan kesultanan Banten. Dengan tindakan
perlawanan demikian, Sultan Ageng Tirtayasamengharapkan agar VOC segera
meninggalkan Banten. Tangerang dan Angke dijadikan sebagai garis terdepan
pertahanan dalam menghadapi VOC. Pasukan Banten menyerang Batavia pada 1652
juga dimulai dari Tangerang dan Angke.
Untuk meredakan perlawanan tersebut, VOC mengirimkan utusan sebanyak dua
kali pada tahun 1655 dengan menawarkan pembaharuan perjanjian tahun 1645
disertai hadiah-hadiah yang menarik, namun keseluruhannya ditolak oleh Sultan
Ageng Tirtayasa. Bahkan Sultan Ageng Tirtayasa menanggapinya dengan
memerintahkan pasukan Banten pada tahun 1656 untuk melakukan gerilya
besar-besaran dengan mengadakan pengerusakan terhadap kebun-kebun tebu,
pencegatan serdadu patroli VOC, pembakaran markas patroli, dan pembunuhan
terhadap beberapa orang Belanda yang keseluruhan dilakukan pada malam hari.
Selain itu, pasukan Banten juga merusak kapal-kapal milik Belanda yang berada
di pelabuhan Benten, sehingga untuk memasuki Banten, diperlukan pasukan yang
kuat untuk mengawal kapal-kapal tersebut.
Saat perlawanan sering terjadi, Sultan Ageng Tirtayasa seringkali
mengadakan hubungan kerjasama dengan kesultanan lain, seperti kesultanan
Cirebon dan Mataram serta dengan Turki, Inggris, Perancis, dan Denmark. Hal ini
dilakukan agar Banten dapat memperkuat kedudukan dan kekuatannya dalam
menghadapi kekuatan VOC. Dari Turki, Inggris, Perancis, dan Denmark inilah
Banten mendapatkan banyak bantuan berupa senjata api. Sultan Ageng Tirtayasa
pun melakukan penyatuan terhadap daerah yang dikuasai oleh kesultanan Banten,
yaitu Lampung, Bangka, Silebar, Indragiri dalam kesatuan pasukan Surosowan.
Menghadapi kenyataan tersebut, VOC pun melakukan penyatuan kekuatan
dengan menyewa serdadu-serdadu dari Kalasi, Ternate, Bandan, Kejawan, Bali,
Makasar, dan Bugis karena serdadu Belanda jumlahnya sedikit. Pada saat terjadi
perlawanan, serdadu-serdadu pribumi inilah yang melawan pasukan Banten,
sedangkan serdadu Belanda lebih banyak
berada dibelakang serdadu pribumi tersebut.
Semakin kuatnya pasukan Banten, ditambah dengan kurangnya persiapan VOC
dalam menghadap Banten karena sedang berperang dengan Makasar membuat VOC pada
sekitar bulan November dan Desember 1657 mengajukan penawaran gencatan senjata.
Pertempuran antara Banten dan VOC ini sangat merugikan kedua belah pihak.
Gencatan senjatapun baru dapat dilakukan setelah utusan VOC dari Batavia
mendatangi Sultan Ageng Tirtayasa pada tanggal 29 April 1658 dengan membawa
rancangan perjanjian yang berisi sepuluh pasal. Diantara pasal tersebut, Sultan
Ageng Tirtayasa mengajukan dua pasal perubahan. Namun, hal tersebut ditolak
oleh VOC sehingga perlawanan dan peperangan kembali terjadi.
Penolakan dari VOC tersebut semakin menguatkan keyakinan Sultan Ageng
Tirtayasa bahwa tidak akan ada kesesuaian pendapat antara kesultanan Banten
dengan VOC sehingga jalan satu-satunya adalah dengan kekerasan, yaitu
berperang. Oleh sebab itu, Sultan Ageng Tirtayasa mengumumkan perang sabil
dengan terlebih dahulu mengirimkan surat ke VOC pada tanggal 11 Mei 1658.
Menurut Djajadiningrat (1983:71) dan Tjandrasasmita (1967:12-16), pertempuran
antara VOC dengan pasukan Banten berlangsung secara terus menerus mulai dari
bulan Mei 1658 sampai dengan tanggal 10 Juli 1659.
Pada dasarnya, perlawanan Banten terhadap VOC setelah adanya keinginan
untuk melakukan gencatan senjata dipicu oleh terbunuhnya Lurah Astrasusila
diatas kapal VOC. Lurah Astrasusila yang saat itu menyamar sebagai pedagang
kelapa membunuh beberapa orang Belanda di atas kapal bersama kedua temannya.
Namun, apa yang dilakukannya berhasil diketahui oleh orang-orang Belanda lain
diatas kapal tersebut. Akibatnya Lurah Astrasusila bersama kedua temannya
dibunuh diatas kapal tersebut. Berita mengenai terbunuhnya Lurah Astrasusila
diketahui oleh Sultan Ageng Tirtayasa sehingga memicu aksi balas dendam dan
perlawanan dari Banten (Djajadiningrat, 1983:73).
Penyerangan yang dilakukan Benten secara terus menerus terhadap VOC
membuat kedudukan VOC semakin terdesak sampai medekati batas kota Batavia.
Akhirnya VOC mengajukan gencatan senjata. Menyadari bahwa Banten akan menolak
perjanjan gencatan senjata, maka VOC membujuk sultan Jambi untuk mengakomodasi
perjanjian tersebut. Maka sultan Jambi pun mengirimkan utusannya yaitu Kiyai
Damang Dirade Wangsa dan Kiyai Ingali Marta Sidana. Pada tanggal 10 Juli 1659,
ditandatangani perjanjian gencatan senjata antara Banten dan VOC.
Gencatan senjata ini dimanfaatkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk
melakukan konsolidasi kekuatan, diantaranya menjalin hubungan dengan Inggris,
Perancis, Turki, dan Denmark, dengan tujuan memperoleh bantuan senjata.
Gencatan senjata ini membuat blokade yang dilakukan oleh VOC terhadap pelabuhan
Banten kembali dibuka. Berbagai cara yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa
membuat Banten berkembang dengan pesat. Hal tersebut memicu Gubernur Jendral
Ryklop van Goens sebagai pengganti Gubernur Jendral Joan Maetsuyker menulis
surat yang ditujukan kepada kerajaan Belanda tertanggal 31 Januari 1679 tentang
usaha untuk menghancurkan dan melenyapkan Banten(Tjandrasasmita, 1967:35).
2.5 Munculnya Kembali Perlawanan Banten dan Politik Adu Domba VOC
Setelah perjanjian gencatan senjata, VOC
menggunakan kesempatan tersebut untukmempersulit kedudukan Banten. Cara yang
dilakukan adalah dengan mengadakan kerjasama dengan kesultanan Cirebon dan
kesultanan Mataram. Puncaknya adalah ketika Amangkurat II menandatangani
perjanjian dengan VOC. Selain itu, Cirebon pun berada di bawah kekuasaan VOC
pada tahun 1681. Dengan Mataram dan Cirebon dibawah kendali VOC, maka posisi
Banten semakin terjepit karena Mataram dan Cirebon merupakan kesultanan yang
memiliki hubungan baik dengan Banten.
Posisi tersebut makin sulit dengan terjadinya
perpecahan di dalam kesultanan Banten sendiri.Putra Sultan Ageng Tirtayasa,
yaitu Pangeran Gusti dan Pangeran Arya Purbaya mendapatkan kekuasaan,
masing-masing untuk mengurusi kedaulatan ke dalam kesultanan. Sementara
kedaulatan keluar kesultanan masih dikendalikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Pemisahan kekuasaan ini diketahui oleh wakil Belanda di Banten, yaitu W. Caeff
yang kemudian mendekati dan menghasut Pangeran Gusti untuk mencurigai ayahnya
dan saudaranya sendiri.
Pada saat itu, Pangeran Gusti pergi ke Mekkah dengan meninggalkan
kekuasaannya untuk sementara waktu dan kekuasaan tersebut diberikan oleh Sultan
Ageng Tirtayasa kepada adiknya yaitu Pangeran Arya Purbaya. Sekembalinya
Pangeran Gusti yang bergelar Sultan Abu Nasr Abdul Kahar atau lebih dikenal
dengan sebutan Sultan Haji dari Mekah, kekuasaan yang dimiliki oleh Pangeran
Purbaya semakin meluas sehingga membuat Sultan Haji iri. Hal tersebut yang
dimanfaatkan oleh VOC untuk mengadu-domba antara Sultan Haji dengan ayahnya
sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa dan adiknya, yaitu Pangeran Arya Purbaya.
Konflik ini dimanfaatkan oleh VOC untuk memadamkan dan memperlemah kekuatan
Banten
2.6 Akhir Perlawanan Banten Terhadap VOC
Rasa iri dan kekhawatiran Sultan Haji akan
kekuasaannya melahirkan persekongkolan dengan VOC untuk merebut tahta
kesultanan Banten. VOC bersedia membantu Sultan Haji dengan mengajukan empat
syarat, yaitu menyerahkan Cirebon kepada VOC, monopoli lada dikendalikan oleh
VOC, membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji, dan menarik pasukan Banten
yang berada di daerah pesisir pantai dan pedalaman Priangan. Syarat tersebut
dipenuhi oleh Sultan haji. Pada tanggal 27 Februari 1682, pecahlah perang
antara Sultan Haji dengan dibantu VOC melawan ayahnya sendiri, yaitu Sultan
Ageng Tirtayasa. Inilah akhir dari kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa di
kesultanan Banten.
Namun, pasukan yang dipimpin oleh Sultan
Ageng Tirtayasa masih terlalu kuat sehingga berhasil mengepung VOC bersama
dengan Sultan Haji. VOC segera memberikan perlindungan kepada Sultan Haji
dibawah pimpinan Jacob de Roy. Bersama dengan Kapten Sloot dan W. Caeff, Sultan
Haji mepertahankan loji tempatnya berlindung. Kekuatan pasukan Sultan Ageng
Tirtayasa membuat bantuan dari Batavia
tidak dapat mendarat di Banten. Hal tersebut memaksa Sultan Haji untuk
mengadakan perjanjian baru dengan VOC yaitu memberikan hak monopoli VOC di
Banten. Setelah perjanjian tersebut, tanggal 7 April 1682, datanglah bantuan
dari Batavia yang dipimpin oleh Francois Tack dan De Sant Martin, dibantu oleh
Jonker, tokoh yang memadamkan pemberontakan Trunojoyo. Pasukan ini berhasil
membebaskan loji dari kepungan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa.
Setelah itu, pemberontakan terus terjadi meskipun
VOC telah beberapa kali meminta Sultan Ageng Tirtayasa untuk menyerah. Untuk
menyelesaikan perlawanan tersebut, Sultan Haji mengutus 52 orang keluarganya
untuk membujuk Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah berhasil dibujuk, Sultan Haji
dan VOC menerapkan tipu muslihat dengan mengepung iring-iringan Sultan Ageng
Tirtayasa menuju ke istana Surosowan pada tanggal 14 Maret 1683. Sultan Ageng
Tirtayasa berhasil ditangkap, namun Pangeran Arya Purbaya berhasil lolos.
Kemudian Sultan Ageng Tirtayasa dipenjarakan di Batavia sampai meninggal pada
tahun 1692. Sultan Haji sendiri akhirnya naik tahta dengan restu VOC,
memerintah dari tahun 1682 sampai dengan 1687. Pada tanggal 17 April 1684,
ditandatanganilah perjanjian dalam bahasa Belanda, Jawa, dan Melayu yang berisi
10 pasal. Perjanjian inilah yang menandai berakhirnya kekuasaan kesultanan
Banten, dan dimulainya monopoli VOC atas Banten. Dengan demikian berakhirlah
perlawanan Sultan Ageng Tirtayasasetelah dikhianati oleh anaknya sendiri.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Banten merupakan salah satu pelabuhan
terbesar di Nusantara dengan letak yang stategis di ujung barat pulau Jawa
dekat dengan selat Sunda yang merupakan titik pertemuan jalur perdagangan Asia
bahkan dunia setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511. Hal tersebut
membuat Banten selalu ramai oleh lalu lintas perdagangan. Disamping itu, Banten
memiliki potensi alam yang cukup menguntungkan, dimana Banten merupakan
penghasil lada terbesar di Jawa Barat. Pada rentang waktu antara 1651 sampai
dengan 1682, Banten mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya dengan swasembada
beras dibawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Dengan kondisi alam dan letak
geografis inilah yang membuat VOC dibawah pimpinan Gubernur Jendral Joan
Maetsuyker (1653-1678) berkeinginan untuk menguasai Banten, menjadikannya
sebagai pusat pertemuan (Rendez-vous) sekaligus memonopoli perdagangan
rempah-rempah, khususnya lada.
Untuk memenuhi kehendaknya, VOC mulai
menggunakan siasat blokade ekonomi dengan tujuan agar Banten mau tunduk kepada
VOC. Hal tersebut dilakukan dengan menyerang kapal-kapal asing yang hendak
berdagang di Banten. Kondisi ini membuat Banten mengalami penurunan dalam hal
kegiatan perekonomian. Menaggapi hal tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa
memerintahkan untuk melakukan perlawanan terhadap VOC. Pelawanan tersebut
terjadi sampai dengan adanya tawaran perjanjian gencatan senjata pada tanggal
29 April 1658. Namun, perjanjian tersebut ditolak oleh Banten dan mulailah
kembali perlawanan dari bulan Mei 1658 yang berlangsung terus menerus sampai
diadakannya perjanjian gencatan senjata tanggal 10 Juli 1659.
Gubernur Jendral Ryklop van Goens yang
menggantikan Gubernur Jendral Joan Maetsuyker kemudian memerintahkan untuk
menghancurkan Banten. Kekuasaan Banten mulai melemah ketika Cirebon pada tahun
1681 dan Mataram yang memiliki hubungan baik dengan Banten bekerjasama dan
tunduk atas VOC. Selain itu, adanya pembagian kekuasaan di kesultanan Banten,
dimana Sultan Haji dan Pangeran Arya Purbaya yang merupakan anak dari Sultan
Ageng Tirtayasa, mendapat kekuasaan intern kesultanan. Hal tersebut diketahui
oleh W. Caeff, wakil VOC di Banten, sehingga VOC memanfaatkan pembagian
kekuasaan tersebut untuk mengadu domba Sultan Haji dengan Pangeran Arya Purbaya
dan Sultan Ageng Tirtayasa, sampai pada akhirnya terjadi perang saudara yang
menyebabkan berakhirnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1682.