BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehadiran ekonomi Islam telah memunculkan
harapan baru bagi banyak orang, khususnya bagi umat Islam akan sebuah ekonomi
alternatif dari sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme sebagai arus utama
perdebatan sebuah sistem ekonomi dunia, terutama sejak perang dunia II yang
memunculkan banyak Negara-negara Islam bekas jajahan imperialis. Dalam hal ini,
keberadaan ekonomi Islam sebagai sebuah model ekonomi alternatif memungkinkan
bagi banyak pihak, muslim maupun non muslim untuk melakukan banyak penggalian
kembali berbagai ajaran Islam. Meskipun begitu, system ekonomi dunia saat ini
masih dikendalikan oleh system ekonomi kapitalisme, karena umat Islam sendiri
masih terpecah dalam hal bentuk implementasi ekonomi Islam dimasing-masing
Negara. Kenyataan ini oleh sebagian
pemikir Islam masih diterima dengan lapang karena ekonomi Islam secara
implementasinya di masa kini relatif masih baru. Masih perlu dilakukan banyak sosialisasi dan
pengarahan serta pengajaran kembali umat Islam untuk melakukan aktifitas
ekonominya sesuai dengan hukum Islam. Sementara sebagai lainnya menilai bahwa
faktor kekuasaan memainkan peran signifikan, karenanya mengkritisi bahwa
ekonomi Islam atau ekonomi syariah belum akan dapat sesuai dengan syariah jika
pemerintahnya sendiri belum menrapkan syariah dalam kebijakan-kebijakannya.
B. Rumusan Masalah
·
Jelaskan
pengertian Mu’amalah!.
·
Jelaskan macam-macam Mu’amalah!.
·
Jelaskan yang dimaksud dengan Syirkah!.
·
Jelaskan yang dimaksud Mudarabah!.
·
Jelaskan yang dimasud Musaqah!.
·
Jelaskan yang dimaksud Muzaraah dan Mukharabah!
·
Jelaskan beberapa macam perbankan!.
·
Jelaskan asuransi syariah!.
C. Tujuan
·
Mengetahui pengertian Mu’amalah.
·
Mengetahui macam-macam Mu’amalah.
·
Mengetahui yang dimaksud dengan Syirkah.
·
Mengetahui yang dimaksud Mudarabah.
·
Mengetahui yang dimaksud Musaqah.
·
Mengatahui yang dimaksud Muzaraah dan Mukharabah.
·
Mengetahui beberapa macam perbankan.
·
Mengetahui asuransi syariah.
BAB II
PRINSIP DAN
PRAKTIK EKONOMI ISLAM
A. Pengertian Mu’amalah
Muamalah dalam kamus Bahasa Indonesia artinya
hal-hal yang termasuk urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dan
sebagainya). Sementara dalam fiqih islam berarti tukar menukar barang atau
sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditempuhnya, seperti jual beli,
pinjam meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.
Dalam melakukan transaksi ekonomi, seperti
jual-beli, sewa- menyewa, utang- piutang, dan pinjam-meminjam, islam melarang
beberapa hal diantaranya seperti berikut :
·
Tidak boleh mempergunakan cara-cara yang batil.
·
Tidak boleh melakukan perbuatan riba.
·
Tidak boleh dengan cara-cara zalim (aniaya).
·
Tidak boleh mempermainkan takaran, timbangan, kualitas,
dan kehalalan.
·
Tidak boleh dengan cara-cara spekulasi/berjudi.
·
Tidak boleh melakukan transaksi jual-beli barang haram.
B. Macam-Macam Mu’amalah
Sebagaimana telah dijelaskan di atas tentang
macam-macam mu’amalah disini akan dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.
1.
Jual Beli
Jual beli menurut syariat agama ialah
kesepakatan tukar menukar benda untuk memiliki benda tersebut selamanya.
Melakukan jual-beli dibenarkan, sesuai dengan Firman Allah berikut ini :
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا
الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ
جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى
اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
(٢٧٥)
Artinya : “...dan Allah Swt. Telah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba...” (Q.S. al-baqarah/2:275).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ
مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ
كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي
عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا
فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا
يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ
فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ
إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا
مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى
أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى
أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ
فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ
وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
(٢٨٢)
Apabila jual-beli itu menyangkut suatu barang
yang sangat besar nialainya,dan agar tidak terjadi kekurangan dibelakang hari,
al-Qur’an menyarankan agar dicatat, dan ada saksi, lihatlah penjelasan ini pada
Q.S. al-baqarah/2:282.
a.
Syarat- syarat jual-beli
Syarat-syarat
adalah sebagai berikut.
1)
Penjual dan pembelinya haruslah :
·
Balig,
·
Berakal sehat,
·
Atas kehendak sendiri.
2)
Uang dan barangnya haruslah :
a) Halal dan Suci. Haram menjual arak dan
bangkai, begitu juga babi dan berhala,
termasuk lemak bangkai tersebut.
b) Bermanfaat. Membeli barang-barang yang tidak
bermanfaat sama dengan
menyia-nyiakan harta atau pemboros
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ
الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (٢٧)
Artinya : “ sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada
Tuhannya.” (Q.S. al-Isra/17:27)
c) Keadaan barang dapat diserah terimakan. Tidak
sah menjual barang yang tidak
dapat diserah terimakan. Contohnya, menjual ikan dalam laut atau
barang yang
sedang dijadikan jaminan sebab semua itu mengandung tipu daya.
d) Keadaan barang diketahui oleh penjual dan
pembelinya.
e) Milik sendiri, sabda Rasulullah Saw., “tak sah
jual-beli melainkan atas barang yang dimiliki.” (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi).
3)
Ijab Qobul
Seperti
pernyataan penjual, “Saya jual barang ini dengan harga sekian.” Pembeli
menjawab, “Baiklah saya beli.”
Dengan
demikian, berarti jual-beli itu berlangsung suka sama suka. Rasulullah Saw.
Bersabda, “sesungguhnya jual-beli itu hanya sah jika suka sama suka.” (H.R Ibnu
Hibban).
b.
Khiyar
1) Pengertian khiyar
Khiyar adalah
bebas memutuskan antara menerusakan jual beli atau membatalkannya. Islam
memperbolehkan melakukan khiyar karena jual-beli haruslah berdasarkan suka sama
suka, tanpa ada unsur paksaan sedikitpun. Penjual berhak mempertahakan harga
barang dagangannya, sebaliknya pembeli berhak menawar atas dasar kualitas
barang yang diyakininya. Rasulullah Saw. Bersabda, “penjual dan pembeli tetap
dalam khiyar selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya berlaku
benar-benar dan suka menerangkan keadaan
(barang)nya, maka jual beli akan memberkahi keduanya. Apabila keduanya
menyembunyikan keadaan sesungguhnya serta berlaku dusta, maka dihapus
keberkahan jual belinya.” (H.R Bukhari dan Muslim).
2) Macam-macam Khiyar
a)
Khiyar Majelis, adalah selama penjual dan pembeli masih
berada ditempat berlangsungnya transaksi atau tawar-menawar. Keduanya berhak
memutuskan atau membatalkan jual-beli. Rasulullah Saw. Bersabda, “ dua orang
yang berjual beli, boleh memilih akan meneruskan atau tidak selama keduanya belum
berpisah.” ( H.R Bukhori dan Muslim).
b)
Khiyar syarat, adalah khiyar yang dijadikan syarat dalam
jual-beli. Misalnya penjual mengatakan,”saya jual barang ini dengan harga
sekian dengan syarat khiyar tiga hari.” Maksudnya penjual memberi batas waktu
kepada pembeli untuk memutuskan jadi tidaknya pembeliannya tersebut dalam waktu
tig hari. Apabila pembeli mengiyakan, status barang tersebut sementara waktu
(dalam masa khiyar) tidak ada pemiliknya, artinya, si penjual tidak berhak
menawarkan kepada orang lain lagi. Namun, jika akhirnya pembeli memutuskan
tidak jadi, barang tersebut menjadi hak penjual kembali. Rasulullah Saw.
Bersabda kepada seorang lelaki, “Engkau boleh khiyar pada segala barang yang
engkau beli selama tiga hari tigamalam.” (H.R Baihaqi dan Ibnu Majah).
c)
Khiyar Aibi (cacat), adalah pembeli boleh mengembelikan
barang yang dibelinya jika terdapat cacat yang dapat mengurangi kualitas nilai
barang tersebut, namun hendaknya dilakukan sesegera mungkin.
c.
Riba
1)
Pengertian Riba
Riba adalah
bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Hal ini sering terjadi dalam
pertukaran bahan makanan, perak, emas, dan pinjam-meminjam.
Riba, apapun
bentuknya, dalam syari’at islam hukumnya haram. Sanksi hukumnya juga sangat
berat. Diterangkan dalam hadist yang di riwayatkan bahwa, “Rasulullah mengutuk
orang yang mengambil riba, orang yang mewakilkan, orang yang mencatat, dan
orang yang menyaksikannya. (H.R Muslim). Dengan demikian, semua orang yang
terlibat dalam riba sekalipun hanya sebagai saksi, terkena dosanya juga.
a)
Sama timbangan ukurannya atau
b)
Dilakukam serah terima saat itu juga,
c)
Tunai
Apabila tidak sama jenisnya seperti emas dan
perak boleh berbeda takarannya, namun tetap harus secara tunai dan diserah
terimakan saat itu juga. Kecuali barang yang berlainan jenis dengan perbedaan
seperti perak dan beras, dapat berlaku ketentuan jual-beli sebagaimana
barang-barang yang lain.
2)
Macam-macam Riba
a)
Riba Fadli, adalah pertukaran barang sejenis yang tidak
sama timbangannya, misalnya cincin emas 22karat sebesar 10 gram ditukar dengan
emas 22 gram kelebihannya itulah yang termasuk riba.
b)
Riba Qordi, adalah peminjaman dengan syarat harus
memberikan kelebihan saat mengembalikannya. Misal si A bersedia meminjami si B
uang sebesar Rp 100.000,00 asal si B bersedia mengembalikannya sebesar
Rp115.000,00. Bunga pinjaman itulah yang disebut riba.
c)
Riba Yadi, adalah akad jual-beli barang sejenis dan sama
timbangannya, namun penjualan dan pembeli berpisah sebelum melakukan serah
terima.
d)
Riba Nasi’ah, adalah akad jual-beli dengan penyerahan
barang beberapa waktu kemudian.
2.
Utang-piutang
a.
Pengertian Utang-piutang
Utang-piutang adalah menyerahkan harta dan
benda kepada seseorang dengan catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian.
Tentu saja dengan tidak mengubah keadaannya. Misalnya utang Rp100.000,00
dikemudian hari harus melunasinya Rp100.000,00. Memberi utang kepada seseorang
berarti menolongnya dan sangat dianjurkan oleh agama.
b.
Rukun Utang-piutang
Rukun utang-piutang ada tiga, yaitu:
1)
Yang berpiutang dan yang berutang,
2)
Ada harta atau barang,
3)
Lafadz kesepatan. Misal: “saya utangkan ini
kepadamu.”Yang berutang menjawab, “Ya, saya utang dulu, beberapa hari lagi
(sebutkan dengan jelas” atau jika sudah punya akan saya lunasi.”
Untuk menghindari keributan dikemudian hari,
Allah Swt. Menyarankan agar kita mencatat dengan baik utang-piutang yang kita
lakukan.
Jika orang yang berutang tidak dapat melunasi
tepat pada waktunya karena kesulitan, Allah Swt. Menganjurkan memberinya
kelonggaran.
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا
خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٢٨٠)
Artinya: “Dan jika (orang yang berutang itu)
dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan.
Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui..”
(Q.S.al-Baqarah/2: 280)
Apabila orang membayar utangnya dengan
memberikan kelebihan atas kemauannya sendiri tanpa perjanjian sebelumnya,
kelebihan itu halal bagi yang berpiutang, dan merupakan suatu kebaikan bagi
yang berutang. Rasulullah saw, bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik kamu, ialah
yang sebaik-baiknya kita membayar utang.” (sepakat ahli hadis). Abu Hurairah
ra. Berkata, “Rasulullah saw. Telah berutang hewan, kemudian beliau bayar
dengan hewan yang lebih besar dari hewan yang beliau utang itu, dan Rasulullah
saw. Bersabda, “Orang yang paling baik ialah orang yang dapat membayar utangnya
dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Bila orang yang berpiutang meminta tambahan
pengembalian dari orang yang melunasi utang dan telah disepakati bersama
sebelumnya, hukumnya tidak boleh. Tambahan pelunasan tersebut tidak halal sebab
termasuk riba. Rasulullah saw. Berkata “Tiap-tiap piutang yang mengambil
manfaat maka ia semacam dari beberapa macam riba.” (HR. Baihaqi)
3.
Sewa-menyewa
a.
Pengertian Sewa-menyewa
Sewa menyewa dalam fiqh Islam disebut ijarah,
artinya imbalan yang harus diterima oleh seseorang atas jasa yang diberikannya.
Jasa di sini berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan.
Dasar hukum ijarahdalam firman Allah Swt.
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ
أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا لا تُضَارَّ
وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ
ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (٢٣٣)
Artinya: ”...dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain,maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut...” (Q.S. al-Baqarah/2: 233)
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ
لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ
حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ
أُخْرَى (٦)
Artinya: “...kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak) mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka...” (Q.S. at-Talaq/65:
6)
b.
Syarat dan Rukun Sewa-menyewa
1)
Yang menyewakan dan yang menyewa haruslah telah balig dan
berakal sehat.
2)
Sewa-menyewa dilangsungkan atas kemauan masing-masing,
bukan karena dipaksa.
3)
Barang tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang
menyewakan, atau walinya.
4)
Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
5)
Manfaat yang akan diambil dari barang tersebut harus
diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak. Misalnya, ada orang yang menyewa
sebuah rumah. Si penyewa harus menerangkan secara jelas kepada pihak yang
menyewakan, apakah rumah tersebut mau ditempati atau dijadikan gudang. Dengan
demikian, si pemilik rumah akan mempertimbangkan boleh atau tidak disewa. Sebab
risiko kerusakan rumah antara dipakai sebagai tempat tinggal berbeda dengan
risiko dipakai sebagai gudang. Demikian pula jika barang yang disewakan itu
mobil, harus dijelaskan dipergunakan untuk apa saja.
6)
Berapa lama memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan
dengan jelas.
7)
Harga sewa dan car pembayaannya juga harus ditentukan
dengan jelas serta disepakati bersama.
Dalam hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga
kerja, haruslah diketahui secara jelas dan disepakati bersama sebelumnya
hal-hal berikut.
1)
Jenis pekerjaan dan tenaga kerjanya.
2)
Berapa lama masa kerja.
3)
Berapa gaji dan bagaimana sistem pembayarannya: harian,
bulanan, mingguan ataukah borongan?
4)
Tunjangan-tunjangan seperti transpor, kesehatan,dan
lain-lain, kalau ada.
C.
Syirkah
Secara bahasa, kata syirkah (perseroan)
berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan
antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Menurut istilah, syirkah
adalah suatu akad yang dilakuakan oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat
untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.
a)
Rukun dan Syarat Syirkah
1)
Dua belah pihak yang berakad (‘aqidni). Syarat orang yang
melakukan akad adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan taasarruf
(pengelolaan harta).
2)
Objek akad yang disebut juga ma’qud’alaihi mencakup
pekerjaan atau modal. Adapun syarat pekerjaan atau benda yang dikelola dalam
syirkah harus halal dan diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat
diwakilkan.
3)
Akad atau disebut juga dengan istilah sigat. Adapun
syarat sah akad harus berupa tasarruf , yaitu adanya aktivitas pengelolaan.
b) Macam-macam Syirkah
1) Syirkah ‘Inan
Syirkah ‘inan
adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi
konstribusi kerja (amal) dan modal (mal). Syirkah ini hukumnya boleh
berdasarkan dalil sunah dan ijma ‘sahabat.
2) Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan
adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing, hanya memberikan
konstribusi kerja (amal), tanpa konstribusi modal (amal). Kerja kerja itu dapat
berupa kerja pikiran (seperti penulis naskah) ataupun kerja fisik (seperi tukang
batu). Syirkah ini juga dise.but syirkah ‘amal.
3) Syirkah Wujuh
Syrikah wujuh
adalah kerja sama karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian
(wujud) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua
pihak yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (amal) dengan pihak ketiga
yang memberikan konstribusi modal (mal).
C. Asuransi Syari’ah
1.
Prinsip-prinsip Asuransi Syari’ah
Asuransi
berasal dari bahasa Belanda, Assuranite yang artinya pertanggungan. Dalam
bahasa Arab dikenal dengan at-Ta’min yang berarti pertanggungan, perlindungan,
keamanan, ketenangan atau bebas dari perasaan takut. Si penanggung (Assuradeur)
disebut Mu’ammin dan tertanggung (grasrurrerde) disebut musta’min.
Dalam islam,
asuransi merupkan dari muamalah. Dasar hukum asuransi menurutfikih islam adalah
boleh (jaiz) dengan suatu ketentuan produk asuransi tersebut harus sesuai
dengan ketentuan hukum islam. Pada umumnya, para ulama berpendapat asuransi
yang berdasarkan syariah dibolehkan dan asuransi konvensional haram hukumnya.
Asuransi dalam
ajaran islam merupakan salah satu upaya seorang muslim yang didasarkan nilai
tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya setiap jiwa tidak memiliki
daya apapun ketika menerima musibah dari Allah SWT., baik berupa kematian,
kecelakaan, bencana alam maupun takdir buruk yang lain untuk menghadapi
berbagai musibah tersebut, ada beberapa cara untuk menghadapinya. Pertama,
menanggungnya sendiri. Kedua, mengalihkan resiko ke pihak lain. Ketiga,
mengelolanya bersama-sama.
Dalam ajaran
islam, musibah bukanlah permasalahan individual, melainkan masalah kelompok
walaupun musibah ini hanya menimpa individu tertentu. Apalagi jika musibah itu
mengenai masyarakat luas seperti gempa bumi atau banjir. Berdasarkan ajaran
inilah, tujuan asuransi sangat sesuai dengan semangat ajaran tersebut.
Allah SWT.
menegaskan hal ini dalam beberapa ayat, di antaranya berikut ini :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُحِلُّوا
شَعَائِرَ اللَّهِ وَلا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلا الْهَدْيَ وَلا الْقَلائِدَ
وَلا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنْ رَبِّهِمْ
وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ
قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ
وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٢)
Artinya : “... dan tolong menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah SWT... “ (Q.S Al-Maidah/5 : 2)
Banyak pula hadis Rasulullah saw. yang
memerintahkan umat islam untuk salingmelindungi saudaranya dalam menghadapi
kesusahan. Berdasarkan ayat Al-Quran dan riwayat hadis, dapat dipahami bahwa
musibah ataupun resiko kerugian akibat musibah wajib ditanggung bersama. Setiap
individu bukan menanggungnya sendiri-sendiri dan tidak pula dialihkan kepihak
lain. Prinsip menanggung musibah secara bersama-sama inilah yang sesungguhnya
esensi dari asuransi syariah.
2.
Perbedaan Asuransi Syari’ah dan Asuransi Konvensional
Prinsip
Asuransi Syari’ah tersebut berbeda dengan yang berlaku di sistem konvensional,
yang menggunakan prinsip transfer risiko. Sesorang membayar sejumblah premi
untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu dia pikul kepada perusahaan asuransi.
Dengan kata lain, telah terjadi “jual beli atas risiko kerugian yang belum
pasti terjadi. Disinilah cacat perjanjian asuransi konvensional. Sebab akad
dalam islam mensyaratkan adanya sesuatu yang bersifat pasti, apakah itu
berbentuk barang ataupun jasa.
Perbedaan yang
lain, pada asuransi konvensinal dikenal dana hangus, dimana peserta tidak dapat
melanjutkan pembayaran premi ketika ingin mengundurkan diri sebelum jatuh
tempo. Dalam konsep asuransi syari’ah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus.
Peserta yang baru masuk sekalipun, karena satu dan hal ingin mengundurkan diri,
dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistem ekonomi islam adalah suatu sistem
ekonomi yang didasarkan pada ajaran dan nilai-nilai islam, bersumber dari Al
Quran, As-Sunnah, ijma dan qiyas. Prinsip-prinsip kegiatan Ekonomi Islam adalah
sebagai berikut:
1.
Kekuasaan milik tertinggi adalah milik Allah dan Allah
adalah pemilik yang absolute atas semua yang ada.
2.
Manusia
merupakan pemimpin (khalifa)
Allah di bumi
tapi bukan pemilik
yang sebenarnya.
3.
Semua yang didapatkan dan dimiliki oleh manusia adalah
karna seizing Allah, oleh karena itu saudara-saudaranya yang kurang beruntung
memiliki hak atas sebagian kekayaan yang dimiliki saudara-saudaranya yang lebih
beruntung.
4.
Kekayaan tidak boleh ditumpuk terus atau ditimbun.
5.
Kekayaan harus diputar.
6.
Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya harus
dihilangkan.
7.
Menghilangkan jurang perbedaan antar individu dapat menghapuskan konflik antar golongan
dengan cara membagikan kepemilikan seseorang setelah kematiannya kepada para
ahli warisnya.
8.
Menetapkan
kewajiban yang sifatnya
wajib dan sukarela
bagi semua individu termasuk bagi anggota masyarakat
yang miskin.
Muāmalah ialah kegiatan tukar-menukar barang
atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara
yang ditempuhnya, seperti
jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, pinjam-meminjam, urusan bercocok tanam,
berserikat, dan usaha lainnya.
Syirkah
(perseroan) berarti suatu
akad yang dilakukan
oleh dua pihak
atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan. Syirkah ada beberapa
macam: syirkah `inān, syirkah „abdān, syirkah wujūh, dan syirkah mufāwaḍah.
Bank Islam atau bank syariah, yaitu bank yang
menjalankan operasinya menurut syariat Islam.
Bank
syariah menggunakan beberapa
cara yang bersih
dari riba, misalnya:
muḍārabah, musyārakah, waḍ³‟ah, qarḍul hasān, dan murābahah.
No comments:
Post a Comment