KATA
PENGANTAR
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT
atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan
selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak
yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap
lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa
masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Bekasi,
23 Januari 2022
Penyusun,
2.1 Perjuangan
melawan Jepang di Aceh
2.2 Perlawanan
melawan Jepang di Singaparna
2.4 Akibat
pendudukan Jepang di Indonesia
2.4.2 Keadaan
Sosial-Budaya dan Ekonomi
2.6 Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Tahun 1942, Jepang melakukan penaklukan
terhadap Asia Tenggara. Memasuki Nusantara, Jepang memberikan bantuan kepada
penduduk, yaitu faksi Sumatera untuk melakukan revolusi dan serangan kepada
pemerintah kolonial Belanda. Belanda yang sebelumnya sudah diduduki oleh Nazi
Jerman pada awal Perang Dunia II, akhirnya kalah dan memutuskan untuk menyerah.
Dengan demikian, pada tahun inilah Jepang mulai melakukan penjajahan di
Indonesia. Tiga setengah tahun berikutnya, penjajahan Jepang berakhir, tepatnya
pada tanggal 17 Agustus 1945, yaitu hari dibacakannya Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia oleh Soekarno dan M. Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Secara resmi Jepang telah menguasai
Indonesia sejak 8 Maret 1942 ketika Panglima Tertinggi Pemerintah Hindia
Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati, Bandung. Jepang berhasil menduduki
Hindia-Belanda dengan tujuan untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama
minyak bumi, guna mendukung potensi perang Jepang serta mendukung industrinya.
Jawa dijadikan sebagai pusat penyediaan seluruh operasi militer di Asia
Tenggara, dan Sumatera menjadi sumber minyak utama.
1.2
Rumusan Masalah
-
Bagaimanakah Perjuangan melawan Jepang di
Aceh?
-
Bagaimanakah Perlawanan melawan Jepang di
Singaparna?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Perjuangan melawan Jepang di Aceh
Perlawanan rakyat Aceh terjadi di Cot
Plieng. Perlawanan ini dipimpin oleh Teuku Abdul Jalil. Ia adalah seorang guru
mengaji. Peristiwa Ini berawal dari sikap tentara Jepang yang bertindak
sewenang-wenang. Rakyat diperas dan ditindas. Jepang berusaha membujuk Teuku
Abdul Jalil untuk berdamai. Namun, Teuku Abdul Jalil menolaknya. Akhirnya, pada
10 November 1942 Jepang menyerang Cot Plieng.
2.2
Perlawanan melawan Jepang di Singaparna
Perlawanan ini bermula dari Paksaan Jepang
melakukan Seikeirei. Yakni penghormatan kepada kaisar Jepang. Penghormatan ini
dilakukan dengan cara menghadap ke arah timur laut (Tokyo) dan membungkukkan
badan, Cara ini dianggap oleh K.H Zaenal Mustofa sebagai tindakan musyrik
(menyekutukan tuhan). Tindakan ini melanggar ajaran agama Islam. Akibat
penentangan itu, Jepang mengirim pasukan untuk menggempur Sukamanah. Akhirnya
meletuslah pertempuran pada 25 Februari 1944 setelah shalat Jumat. K.H. Zaenal
Mustofa berhasil ditangkap. Ia ditahan di tasikmalaya, kemudian dibawa ke
Jakarta untuk diadili. Ia dihukum mati dan dimakamkan di Ancol. Pada 10
November 1974 makamnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Tasikmalaya
2.3
Perlawanan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Blitarc. Perlawanan Tentara
Pembela Tanah Air (PETA) di Blitar
Pada mulanya, pasukan Peta bertugas
mengawasi Romusa yang membuat pertahanan di daerah Pantai Blitar Selatan.
Mereka melihat sendiri betapa berat pekerjaan romusa dan sengsara hidupnya.
Ditambah lagi keadaan masyarakat yang sangat menderita. Pada 14 Februari 1945,
berkobarlah perlawanan Peta di Blitar. Perlawanan ini dipimpin oleh Syodanco,
Muradi, Suparyono, dan Bundanco (komandan regu) Sunanto, Sudarmo, Halir
Mangkudidjaya. Adapula dr. Ismail sebagai sesepuhnya. Setelah membunuh
orang-orang Jepang di Blitar, mereka meninggalkan Blitar. Sebagian menuju
lereng Gunung Kelud. Sebagian lagi ke Blitar Selatan. Sayang, perlawanan mereka
mengalami kegagalan.
2.4
Akibat pendudukan Jepang di Indonesia
Pendudukan
Jepang di Indonesia membawa dampak pada kehidupan masyarakat Indonesia, baik di
bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan maupun di bidang birokrasi
dan militer.
2.4.1
Bidang Politik
Dalam
bidang politik, Jepang melakukan kebijakan dengan melarang penggunaan bahasa
Belanda dan mewajibkan penggunaan bahasa Jepang. Struktur pemerintahan dibuat
sesuai dengan keinginan Jepang, misalnya desa dengan Ku, kecamatan dengan So,
kawedanan dengan Gun, kotapraja dengan Syi, kabupaten dengan Ken, dan
karesidenan dengan Syu. Setiap upacara bendera dilakukan penghormatan kearah
Tokyo dengan membungkukkan badan 90 derajat yang ditujukan pada Kaisar Jepang
Tenno Heika.
2.4.2 Keadaan
Sosial-Budaya dan Ekonomi
Guna
membiayai Perang Pasifik, Jepang mengerahkan semua tenaga kerja dari Indonesia.
Mereka dikerahkan untuk membuat benteng-benteng pertahanan. Mula-mula tenaga
kerja dikerahkan dari Pulau Jawa yang padat penduduknya. Kemudian di kota-kota
dibentuk barisan romusa sebagai sarana propaganda. Propaganda yang kuat itu
menarik pemuda-pemuda untuk bergabung dengan sukarela. Pengerahan tenaga kerja
yang mulanya sukarela lama-lama menjadi paksaan. Desa-desa diwajibkan untuk
menyiapkan sejumlah tenaga romusa. Panitia pengerahan disebut dengan
Romukyokai, yang ada disetiap daerah.
2.4.3 Pendidikan
Pada
masa pendudukan Jepang, keadaan pendidikan di Indonesia semakin memburuk.
Pendidikan tingkat dasar hanya satu, yaitu pendidikan enam tahun. Hal itu
sebagai politik Jepang untuk memudahkan pengawasan. Para pelajar wajib
mempelajari bahasa Jepang. Mereka juga
harus mempelajari adat istiadat Jepang dan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo,
serta gerak badan sebelum pelajaran dimulai. Bahasa Indonesia mulai digunakan
sebagai bahasa pengantar di semua sekolah dan dianggap sebagai mata pelajaran
wajib.
2.4.4 Birokrasi
dan Militer
Dalam
bidang birokrasi, dengan dikeluarkannya UU no. 27 tentang Aturan Pemerintah
Daerah dan UU No. 28 tentang Aturan Pemerintah Syu dan Tokubetshu Syi, maka
berakhirlah pemerintahan sementara. Kedua aturan itu merupakan pelaksanaan
struktur pemerintahan dengan datangnya tenaga sipil dari Jepang di Jawa. Mereka
ditempatkan di Jawa untuk melakukan tujuan reorganisasi pemerintahan Jepang,
yang menjadikan Jawa sebagai pusat perbekalan perang di wilayah selatan.
2.5
Janji Kemerdekaan
Pada
tahun 1944, Jepang terdesak, Angkatan Laut Amerika Serikat berhasilmerebut
kedudukan penting Kepulauan Mariana, sehingga jalan menuju Jepang semakin
terbuka. Jenderal Hideki Tojo pun kemudian digantikan oleh Jenderal Kuniaki
Kaiso sebagai perdana menteri. Angkatan udara Sekutu yang di Morotai pun mulai mengadakan
pengeboman atas kedudukan Jepang di Indonesia. Rakyat mulai kehilangan
kepercayaannya terhadap Jepang dalam melawan Sekutu.
Sementara
itu, Jenderal Kuniaki Kaiso memberikan janji kemerdekaan (September 1944).
Sejak itulah Jepang memberikan izin kepada rakyat Indonesia untuk mengibarkan
bendera Merah Putih di samping bendera Jepang Hinomaru. Lagu Indonesia Raya
boleh dinyanyikan setelah lagu Kimigayo. Sejak itu pula Jepang mulai
mengerahkan tenaga rakyat Indonesia untuk pertahanan. Mereka disiapkan untuk
menghadapi musuh. Pada saat itu suasana kemerdekaan terasa semakin dekat.
Selanjutnya,
Letnan Jenderal Kumakici Harada mengumumkan dibentuknya Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Maret 1945. Badan
itu dibentuk untuk menyelidiki dan mengumpulkan bahan-bahan penting tentang
ekonomi, politik, dan tatanan pemerintahan sebagai persiapan kemerdekaan
Indonesia. Badan itu diketuai oleh dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, R.P
Suroso sebagai wakil ketua merangkap kepala Tata Usaha dan seorang Jepang
sebagai wakilnya Tata Usaha, yaitu Masuda Toyohiko dan Mr. R. M. Abdul Gafar
Pringgodigdo. Semua anggotanya terdiri dari 60 orang dari tokoh-tokoh
Indonesia, ditambah tujuh orang Jepang yang tidak punya suara.
Sidang
BPUPKI dilakukan dua tahap, tahap pertama berlangsung pada 28 Mei 1945 sampai 1
Juni 1945. Sidang pertama tersebut dilakukan di Gedung Chou Shangi In di
Jakarta yang sekarang dikenal sebagai Gedung Pancasila. Pada masa penjajahan
Belanda gedung ini digunakan sebagai gedung Volksraad. Meskipun badan itu
dibentuk oleh pemerintah militer Jepang, jalannya persidangan baik wakil ketua
maupun anggota istimewa dari kebangsaan Jepang tidak pernah terlibat dalam
pembicaraan persiapan kemerdekaan. Semua hal yang berkaitan dengan
masalah-masalah kemerdekaan Indonesia merupakan urusan pemimpin dan anggota
dari Indonesia.
Pada
pidato sidang BPUPKI, Radjiman menyampaikan pokok persoalan mengenai Dasar
Negara Indonesia yang akan dibentuk. Pada sidang tahap kedua yang berlangsung
dari tanggal 10-11 Juni 1945, dibahas dan dirumuskan tentang undang-Undang
Dasar. Dalam kata pembukaannya Rajiman Wedyodiningrat meminta pandangan kepada
para anggota mengenai dasar negara Indonesia. Orang-orang yang membahas
mengenai dasar negara adalah Muhammad Yamin, Supomo, dan Sukarno
Dalam
sidang pertama, Sukarno mendapat kesempatan berbicara dua kali, yaitu tanggal
31 Mei dan 1 Juni 1945. Namun pada saat itu, seperti apa yang disampaikan oleh
Radjiman, selama dua hari berlangsung rapat, belum ada yang menyampaikan pidato
tentang dasar negara. Menanggapi hal itu, pada tanggal 1 Juni pukul 11.00 WIB,
Sukarno menyampaikan pidato pentingnya dasar negara dan landasan filosofi dari
suatu negara merdeka. Pada saat itu, Gedung Chuo Shangi In mendapat penjagaan
ketat dari tentara Jepang. Sidang saat itu dinyatakan tertutup, hanya beberapa
wartawan dan orang tertentu yang diizinkan masuk. Dalam pidatonya, Sukarno
mengusulkan dasar-dasar negara. Pada mulanya Sukarno mengusulkan Panca Dharma.
Nama Panca Dharma dianggap tidak tepat, karena Dharma berarti kewajiban,
sedangkan yang dimaksudkan adalah dasar. Sukarno kemudian meminta saran pada
seorang teman, yang mengerti bahasa, sehingga dinamakan dengan Pancasila.
Pancasila, sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itu didirikan
Negara Indonesia, supaya kekal dan abadi.
Pidato
Sukarno itu mendapat sambutan sangat meriah, tepukan tangan para peserta, suatu
sambutan yang belum pernah terjadi selama persidangan BPUPKI. Para wartawan
mencatat sambutan yang diucapkan Sukarno itu dengan cermat. Cindy Adam, penulis
buku autobiografi Sukarno, menceritakan bahwa ketika ia diasingkan di Ende,
Flores (saat ini menjadi Provinsi Nusa Tenggara Timur) pada tahun 1934-1937,
Sukarno sering merenung tentang dasar negara Indonesia Merdeka, di bawah pohon
sukun.
Pada
kesempatan tersebut Ir. Sukarno juga menjadi pembicara kedua. Ia mengemukakan
tentang lima dasar negara. Lima dasar itu adalah (1) Kebangsaan Indonesia, (2)
Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, (3) Mufakat atau Demokrasi, (4)
Kesejahteraan Sosial, (5) Ketuhanan Yang Maha Esa. Pidato itu kemudian dikenal
dengan Pancasila.
Sementara
itu Muh.Yamin dalam pidatonya juga mengemukakan Azas dan Dasar Negara
Kebangsaan Republik Indonesia. Menurut Yamin ada lima azas, yaitu ( 1) Peri
Kebangsaan, (2) Peri Kemanusian, (3) Peri Ketuhanan, (4) Peri Kerakyatan, dan
(5) Kesejahteraan rakyat.
Selanjutnya,
sebelum sidang pertama berakhir BPUPKI membentuk panitia kecil yang terdiri
dari sembilan orang. Pembentukan panitia sembilan itu bertujuan untuk
merumuskan tujuan dan maksud didirikannya Negara Indonesia. Panitia kecil itu
terdiri atas, Ir. Sukarno, Muh. Yamin, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. A.A Maramis,
Abdul Kahar Muzakkar, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Cokrosuyoso.
Panitia kecil itu menghasilkan rumusan yang menggambarkan maksud dan tujuan
Indonesia Merdeka. Kemudian disusunlah rumusan bersama dasar negara Indonesia
Merdeka yang kita kenal dengan Piagam Jakarta. Di dalam teks Piagam Jakarta itu
juga dimuat lima asas yang diharapkan akan menjadi dasar dan landasan filosofi
bagi Indonesia Merdeka.
2.6 Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
BPUPKI
kemudian dibubarkan setelah tugas-tugasnya selesai. Selanjutnya dibentuklah
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 7 Agustus 1945. Badan itu
beranggotakan 21 orang, yang terdiri dari 12 orang wakil dari Jawa, tiga orang
wakil dari Sumatra, dan dua orang dari Sulawesi dan masing-masing satu orang
dari Kalimantan, Sunda Kecil, Maluku, dan golongan penduduk Cina, ditambah enam
orang tanpa izin dari pihak Jepang. Panitia inilah yang kemudian mengesahkan
Piagam Jakarta sebagai pendahuluan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, 18
Agustus 1945.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kedatangan
Jepang yang dianggap sebagai Saudara Tua pada mulanya disambut dengan penuh
harapan. Namun, perlakuan yang kejam terhadap rakyat Indonesia menimbulkan
kebencian rakyat Indonesia pada Jepang.
Dampak
pendudukan Jepang di Indonesia menjadikan rakyat semakin sengsara, serta
kehidupan yang semakin sulit. Semua gerak dikontrol oleh pemerintah Jepang.
Selama itu pula, Jepang menerapkan kebijakan ekonomi berdasarkan azas ekonomi
perang, yaitu menerapkan berbagai peraturan, pembatasan, dan penguasaan
produksi oleh negara untuk kemenangan perang.
Mobilisasi
massa menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, bahkan korban jiwa, yaitu
romusa yang kemudian oleh pemerintah Jepang disebut sebagai prajurit pekerja.
No comments:
Post a Comment