KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada
Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Kerajaan-kerajaan
Islam di Pulau Sumatra ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat
dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya,
sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Makalah ini kami buat untuk
melengkapi tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia. Kami ucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah Kerajaan-kerajaan
Islam di Pulau Sumatra ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber
bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi
yang akan menjadi bahan makalah.
Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini
sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari
masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah Kerajaan-kerajaan Islam di
Pulau Sumatra ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam
makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya
milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai
manusia. Semoga makalah Kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Sumatra ini dapat
bermanfaat bagi kita semuanya.
Bekasi, 17 Januari 2022
Penyusun
DAFTAR ISI
B... Kesultanan Aceh Darussalam
C... Kerajaan-kerajaan Islam di Riau
D.. Kerajaan-kerajaan Islam di Jambi
E... Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra Selatan
F... Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra Barat
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kerajaan Islam di Indonesia diperkirakan kejayaannya berlangsung antara
abad ke-13 sampai dengan abad ke-16. Timbulnya kerajaan-kerajaan tersebut
didorong oleh maraknya lalu lintas perdagangan laut dengan pedagang-pedagang
Islam dari Arab, India, Persia, Tiongkok, dll. Kerajaan tersebut dapat dibagi
menjadi berdasarkan wilayah pusat pemerintahannya, yaitu di Sumatra, Jawa,
Maluku, dan Sulawesi.
Masuknya agama Islam ke nusantara (Indonesia) pada abad 6 akhir dibawa
oleh Syekh Abdul Kadir Jailani periode I atau fase pertama, telah membawa
banyak perubahan dan perkembangan pada masyarakat, budaya, dan pemerintahan.
Perubahan dan perkembangan tersebut terlihat jelas dengan berdirinya
kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam.
Sejak awal kedatangan Islam, Pulau Sumatra termasuk daerah pertama dan
terpenting dalam pengembangan agama Islam di Indonesia. Dikatakan demikian
mengingat letak Sumatra yang strategis dan berhadapan langsung dengan jalur peradangan
dunia, yakni Selat Malaka. Berdasarkan catatan Tomé Pires dalam Suma Oriental
(1512-1515) dikatakan bahwa di Sumatra, terutama di sepanjang pesisir Selat
Malaka dan pesisir barat Sumatra terdapat banyak kerajaan Islam, baik yang
besar maupun yang kecil.
Di antara kerajaan-kerajaan tersebut antara lain Aceh, Biar dan Lambri,
Pedir, Pirada, Pase, Aru, Arcat, Rupat, Siak, Kampar, Tongkal, Indragiri,
Jambi, Palembang, Andalas, Pariaman, Minangkabau, Tiku, Panchur, dan Barus.
Menurut Tomé Pires, kerajaan-kerajaan tersebut ada yang sedang mengalami
pertumbuhan, ada pula yang sedang mengalami perkembangan, dan ada pula yang
sedang mengalami keruntuhannya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di
atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di dalam makalah tentang Kerajaan-kerajaan
Islam di Pulau Sumatra ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana sejarah Samudra Pasai?
2.
Bagaimana sejarah Kesultanan Aceh Darussalam?
3.
Bagaimana sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Riau?
4.
Bagaimana sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Jambi?
5.
Bagaimana sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra Selatan?
6.
Bagaimana sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra Barat?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan
makalah tentang Kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Sumatra ini adalah sebagai
berikut:
1.
Untuk mengetahui sejarah Samudra Pasai.
2.
Untuk mengetahui sejarah Kesultanan Aceh Darussalam.
3.
Untuk mengetahui sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Riau.
4.
Untuk mengetahui sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Jambi.
5.
Untuk mengetahui sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra Selatan.
6.
Untuk mengetahui sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra Barat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Samudra Pasai
Samudra Pasai diperkirakan tumbuh berkembang antara tahun 1270 hingga
1275, atau pertengahan abad ke-13. Kerajaan ini terletak lebih kurang 15 km di
sebelah timur Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam, dengan sultan pertamanya
bernama Sultan Malik as-Shaleh (wafat tahun 696 H atau 1297 M). Dalam kitab Sejarah
Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai diceritakan bahwa Sultan Malik as-Shaleh
sebelumnya hanya seorang kepala Gampong Samudra bernama Marah Silu. Setelah
menganut agama Islam kemudian berganti nama dengan Malik as-Shaleh.
Pada masa pemerintahan Sultan Malik as-Shaleh, Kerajaan Pasai mempunyai
hubungan dengan negara Cina. Seperti yang disebutkan dalam sumber sejarah
Dinasti Yuan, pada 1282 duta Cina bertemu dengan Menteri Kerajaan Sumatra di
Quilan yang meminta agar Raja Sumatra mengirimkan dutanya ke Cina. Pada tahun
itu pula disebutkan bahwa kerajaan Sumatra mengirimkan dutanya yang bernama
Sulaiman dan Syamsuddin.
Menurut Tome Pires, Kesultanan Samudera Pasai mencapai puncaknya pada
awal abad ke-16. Kesultanan itu mengalami kemajuan di berbagai bidang kehidupan
seperti politik, ekonomi, pemerintahan, keagamaan, dan terutama ekonomi
perdagangan. Diceritakan pula bahwa Kesultanan Samudera Pasai selalu mengadakan
hubungan persahabatan dengan Malaka, bahkan hubungan persahabatan itu diperkuat
dengan perkawinan. Para pedagang yang pernah mengunjungi Pasai berasal dari
berbagai negara seperti, Rumi, Turki, Arab, Persia (Iran), Gujarat, Keling,
Bengal, Melayu, Jawa, Siam, Kedah, dan Pegu. Sementara barang komoditas yang
diperdagangkan adalah lada, sutera, dan kapur barus.
Di samping komoditas itu sebagai penghasil pendapatan Kesultanan Samudera
Pasai, juga diperoleh pendapat dari pajak yang dipungut dari pajak barang
ekspor dan impor. Dalam sumber-sumber sejarah juga dijelaskan, bahwa Kesultanan
Samudera Pasai telah menggunakan mata uang seperti uang kecil yang disebut
dengan ceitis. Uang kecil itu ada yang terbuat dari emas dan ada pula yang
terbuat dari dramas. Dalam bidang keagamaan, Ibnu Batuta menjelaskan bahwa
Kesultanan Samudera Pasai juga dikunjungi oleh para ulama dari Persia, Suriah
(Syria), dan Isfahan. Dalam catatan Ibnu Batuta disebutkan bahwa Sultan
Samudera Pasai sangat taat terhadap agama Islam yang bermazhab Syafi’i. Sultan
selalu dikelilingi oleh para ahli teologi Islam.
Kesultanan Samudera Pasai mempunyai peranan penting dalam penyebaran
Islam di Asia Tenggara. Malaka menjadi kerajaan yang bercorak Islam karena amat
erat hubungannya dengan Kerajaan Samudera Pasai. Hubungan tersebut semakin erat
dengan diadakannya pernikahan antara putra-putri sultan dari Pasai dan Malaka
sehingga pada awal abad-15 atau sekitar 1414 M tumbuhlah Kesultanan Islam
Malaka, yang dimulai dengan pemerintahan Parameswara. Dalam Hikayat Patani
terdapat cerita tentang pengislaman Raja Patani yang bernama Paya Tu Nakpa
dilakukan oleh seorang dari Pasai yang bernama Syaikh Sa’id, karena berhasil
menyembuhkan Raja Patani. Setelah masuk Islam, raja berganti nama menjadi
Sultan Isma’il Syah Zill Allah fi al-Alam dan juga ketiga orang putra dan
putrinya yaitu Sultan Mudaffar Syah, Siti Aisyah, dan Sultan Mansyur.
Pada masa pemerintahan Sultan Mudaffar Syah juga datang lagi seorang
ulama dari Pasai yang bernama Syaikh Safi’uddin yang atas perintah raja ia
mendirikan masjid untuk orang-orang Muslim di Patani. Demikian pula jenis nisan
kubur yang disebut Batu Aceh menjadi nisan kubur raja-raja di Patani, Malaka,
dan Malaysia. Pada umumnya nisan kubur tersebut berbentuk menyerupai nisan
kubur Sultan Malik as-Shaleh dan nisan-nisan kubur dari sebelum abad ke-17.
Dilihat dari kesamaan jenis batu serta cara penulisan dan huruf-huruf
bahkan dengan cara pengisian ayat-ayat al-Qur’an dan nuansa kesufiannya, jelas
Samudera Pasai mempunyai peranan penting dalam persebaran Islam di beberapa
tempat di Asia Tenggara dan demikian pula di bidang perekonomian dan
perdagangan. Namun, sejak Portugis menguasai Malaka pada 1511 dan meluaskan
kekuasaannya, maka Kerajaan Islam Samudera Pasai mulai dikuasai sejak 1521.
Kemudian Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Ali Mughayat
Syah lebih berhasil menguasai Samudera Pasai. Kerajaan-kerajaan Islam yang
terletak di pesisir seperti Aru, Kedir, dan lainnya lambat laun berada di bawah
kekuasaan Kerajaan Islam Aceh Darussalam yang sejak abad ke-16 makin mengalami
perkembangan politik, ekonomi dan perdagangan, serta kebudayaan dan keagamaan.
B.
Kesultanan Aceh Darussalam
Pada 1520 Aceh berhasil memasukkan Kerajaan Daya ke dalam kekuasaan Aceh Darussalam.
Tahun 1524, Pedir dan Samudera Pasai ditaklukkan. Kesultanan Aceh Darussalam di
bawah Sultan Ali Mughayat Syah menyerang kapal Portugis di bawah komandan Simao
de Souza Galvao di Bandar Aceh.
Pada 1529 Kesultanan Aceh mengadakan persiapan untuk menyerang orang
Portugis di Malaka, tetapi batal karena Sultan Ali Mughayat Syah wafat pada
1530 dan dimakamkan di Kandang XII, Banda Aceh. Di antara penggantinya yang
terkenal adalah Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (1538-1571).
Usaha-usahanya adalah mengembangkan kekuatan angkatan perang, perdagangan, dan
mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti
Turki, Abessinia (Ethiopia), dan Mesir. Pada 1563 ia mengirimkan utusannya ke
Konstantinopel untuk meminta bantuan dalam usaha melawan kekuasaan Portugis.
Dua tahun kemudian datang bantuan dari Turki berupa teknisi-teknisi, dan
dengan kekuatan tentaranya Sultan Alauddin Riayat Syah at-Qahhar menyerang dan
menaklukkan banyak kerajaan, seperti Batak, Aru, dan Barus. Untuk menjaga
keutuhan Kesultanan Aceh, Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar menempatkan
suami saudara perempuannya di Barus dengan gelar Sultan Barus, dua orang putra
sultan diangkat menjadi Sultan Aru dan Sultan Pariaman dengan gelar resminya
Sultan Ghari dan Sultan Mughal, dan di daerah-daerah pengaruh Kesultanan Aceh
ditempatkan wakil-wakil dari Aceh.
Kemajuan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda mengundang perhatian para ahli sejarah. Di bidang politik Sultan
Iskandar Muda telah menundukkan daerah-daerah di sepanjang pesisir timur dan
barat. Demikian pula Johor di Semenanjung Malaya telah diserang, dan kemudian rnengakui
kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Kedudukan Portugis di Malaka
terus-menerus mengalami ancaman dan serangan, meskipun keruntuhan Malaka
sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara baru terjadi sekitar tahun 1641 oleh
VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Belanda. Perluasan kekuasaan
politik VOC sampai Belanda pada dekade abad ke-20 tetap menjadi ancaman bagi
Kesultanan Aceh.
C.
Kerajaan-kerajaan Islam di Riau
Kerajaan Islam yang ada di Riau dan Kepulauan Riau menurut berita Tome
Pires (1512-1515 ) antara lain Siak, Kampar, dan Indragiri. Kerajaan Kampar,
Indragiri, dan Siak pada abad ke-13 dan ke-14 dalam kekuasaan Kerajaan Melayu
dan Singasari-Majapahit, maka kerajaan-kerajaan tersebut tumbuh menjadi
kerajaan bercorak Islam sejak abad ke-15. Pengaruh Islam yang sampai ke
daerah-daerah itu mungkin akibat perkembangan Kerajaan Islam Samudera Pasai dan
Malaka. Jika kita dasarkan berita Tome Pires, maka ketiga Kerajaan Kampar,
Indragiri dan Siak senantiasa melakukan perdagangan dengan Malaka bahkan
memberikan upeti kepada Kerajaan Malaka.
Ketiga kerajaan di pesisir Sumatra Timur ini dikuasai Kerajaan Malaka
pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (wafat 1477). Bahkan pada masa
pemerintahan putranya, Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah (wafat 1488) banyak pulau
di Selat Malaka (orang laut) termasuk Lingga-Riau, masuk kekuasaan Kerajaan
Malaka. Siak menghasilkan padi, madu, lilin, rotan, bahan-bahan apotek, dan
banyak emas. Kampar menghasilkan barang dagangan seperti emas, lilin, madu,
biji-bijian, dan kayu gaharu. Indragiri menghasilkan barang-barang perdagangan,
seperti Kampar, tetapi emas dibeli dari pedalaman Minangkabau.
Siak menjadi daerah kekuasaan Malaka sejak penaklukan oleh Sultan Mansyûr
Syah di mana ditempatkan raja-raja sebagai wakil Kemaharajaan Melayu. Ketika
Sultan Mahmud Syah I berada di Bintan, Raja Abdullah yang bergelar Sultan Khoja
Ahmad Syah diangkat di Siak. Pada 1596 yang menjadi Raja Siak ialah Raja Hasan
putra Ali Jalla Abdul Jalil, sementara saudaranya yang bernama Raja Husain
ditempatkan di Kelantan. Kemudian di Kampar ditempatkan Raja Muhammad. Sejak
VOC Belanda menguasai Malaka pada 1641 sampai abad ke-18 praktis ketiga
kerajaan, yaitu Siak, Kampar, dan Indragiri berada di bawah pengaruh kekuasaan
politik dan ekonomi–perdagangan VOC. Perjanjian pada 14 Januari 1676 berisi,
bahwa hasil timah harus dijual hanya kepada VOC.
Demikian pula dengan ditemukan tambang emas dari Petapahan, Kerajaan
Siak, juga terikat oleh ikatan perjanjian monopoli perdagangan sehingga Raja
Kecil pada 1723 mendirikan kerajaan baru di Buantan dekat Sabak Auh di Sungai
Jantan Siak yang kemudian disebut juga Kerajaan Siak. Raja Kecil kemudian
sebagai sultan memakai gelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah (1723-1748), dan
selama pemerintahannya ia meluaskan daerah kekuasaannya sambil melakukan
perlawanan-perlawanan terhadap kekuasaan politik VOC, bahkan sering muncul
armadanya di Selat Malaka.
Pada 1750, Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah memindahkan ibu kota kerajaan
dari Buantan ke Mempura yang terletak di tepi Sunai Memra Besar, Sungai Jantan
diubah namanya menjadi Sungai Siak dan kerajaannya disebut Kerajaan Siak Sri
Indrapura. Karena VOC, yang kantor dagangnya ada di Pulau Guntung di mulut
Sungai Siak, sering mengganggu lalu lintas kapal-kapal Kerajaan Siak Sri
Indrapura, maka Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah dengan pasukannya pada 1760
menyerang benteng VOC.
Kerajaan Siak di bawah pemerintahan Sultan Sa’id Ali (1784-1811) banyak
berjasa bagi rakyatnya. Ia berhasil memakmurkan kerajaan dan ia dikenal sebagai
seorang Sultan yang jujur. Daerah-daerah yang pada masa Raja Kecil melepaskan
diri dari Kerajaan Siak dan berhasil ia kuasai kembali. Sultan Sa’id Ali
memundurkan diri sebagai Sultan Siak pada 1811 dan kemudian pemerintahannya
diganti oleh putranya, Tengku Ibrahim. Di bawah pemerintahan Tengku Ibrahim
inilah Kerajaan Siak mengalami kemunduran sehingga banyak orang yang pindah ke
Bintan, Lingga Tambelan, Terenggano, dan Pontianak. Ditambah lagi dengan adanya
perjanjian dengan VOC pada 1822 di Bukit Batu yang isinya menekankan Kerajaan
Siak tidak boleh mengadakan ikatan-ikatan atau perjanjian-perjanjian dengan
negara-negara lain kecuali dengan Belanda. Dengan demikian, Kerajaan Siak Sri
Indrapura semakin sempit geraknya dan semakin banyak dipengaruhi politik
penjajahan Hindia-Belanda.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa Kerajaan Kampar sejak abad ke-15
berada di bawah Kerajaan Malaka. Pada masa pemerintahannya, Sultan Abdullah di
Kampar tidak mau menghadap Sultan Mahmud Syah I di Bintan selaku pemegang
kekuasaan Kemaharajaan Melayu. Akibatnya Sultan Mahmud Syah I mengirimkan
pasukannya ke Kampar. Sultan Abdullah minta bantuan Portugis, dan berhasil
mempertahankan Kampar. Ketika Sultan Abdullah dibawa ke Malaka oleh Portugis,
maka Kampar ada di bawah pembesar-pembesar kerajaan, di antaranya Mangkubumi
Tun Perkasa yang mengirimkan utusan ke Kemaharajaan Melayu di bawah pimpinan
Sultan Abdul Jalil Syah I yang memohon agar di Kampar ditempatkan raja.
Hasil permohonan tersebut dikirimkan seorang pembesar dari Kemaharajaan
Melayu ialah Raja Abdurrahman bergelar Maharaja Dinda Idan berkedudukan di
Pekantua. Hubungan antara Kerajaan Kampar di bawah pemerintahan Maharaja Lela
Utama dengan Siak dan Kuantan diikat dengan hubungan perdagangan. Tetapi masa
pemerintahan penggantinya Maharaja Dinda II memindahkan ibu kota Kerajaan
Kampar pada 1725 ke Pelalawan yang kemudian mengganti Kerajaan Kampar menjadi
Kerajaan Pelalawan. Kemudian kerajaan tersebut tunduk kepada Kerajaan Siak, dan
pada 4 Februari 1879 dengan terjadinya perjanjian pengakuannya Kampar berada di
bawah pemerintahan Hindia Belanda. Kerajaan Indragiri sebelum 1641 yang berada
di bawah Kemaharajaan Malayu berhubungan erat dengan Portugis, tetapi setelah
Malaka diduduki VOC, mulailah berhubungan dengan VOC yang mendirikan kantor
dagangnya di Indragiri berdasarkan perjanjian 28 Oktober 1664.
Pada 1765, Sultan Hasan Shalahuddin Kramat Syah memindahkan ibukotanya ke
Japura tetapi dipindahkan lagi pada 5 Januari 1815 ke Rengat oleh Sultan
Ibrahim atau Raja Indragiri XVII. Sultan Ibrahim inilah yang ikut serta
berperang dengan Raja Haji di Teluk Ketapang pada 1784. Demikianlah, kekuasaan
politik kerajaan ini sama sekali hilang berdasarkan Tractat van Vrede en
Vriend-schap 27 September 1838, berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda,
yang berarti jalannya pemerintahan Kerajaan Indragiri ditentukan pemerintah
Hindia Belanda.
D.
Kerajaan-kerajaan Islam di Jambi
Berdasarkan temuan-temuan arkeologis kemungkinan kehadiran Islam di
daerah Jambi diperkirakan dimulai sejak abad ke-9 atau abad ke-10 sampai abad
ke-13. Kemungkinan pada masa itu proses Islamisasi masih terbatas pada
perorangan. Karena proses Islamisasi besar-besaran bersamaan dengan tumbuh dan
berkembangnya Kerajaan Islam Jambi sekitar 1500 M di bawah pemerintahan Orang
Kayo Hitam yang juga meluaskan “Bangsa XII” dari “Bangsa IX”, anak Datuk Paduka
Berhala. Konon menurut Undang-Undang Jambi, Datuk Paduka Berhala adalah orang
dari Turki yang terdampar di Pulau Berhala yang kemudian dikenal dengan sebutan
Ahmad Salim. Ia menikah dengan Putri Salaro Pinang Masak yang sudah Muslim,
turunan raja-raja Pagarruyung yang kemudian melahirkan Orang Kayo Hitam, Sultan
Kerajaan Jambi yang terkenal. Karena itu kemungkinan besar penyebaran Islam
sudah terjadi sejak sekitar tahun 1460 atau pertengahan abad ke-15.
Menurut Sila-sila Keturunan Raja Jambi, dari pernikahan antara Datuk
Paduka Berhala dengan Putri Pinang Masak, melahirkan juga tiga saudaranya Orang
Kayo Hitam yaitu Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Pedataran/Kedataran, dan Orang
Kayo Gemuk (seorang putri). Yang menjadi pengganti Datuk Paduka Berhala ialah Orang
Kayo Hitam yang beristri salah seorang putri dari saudara ibunya ialah Putri
Panjang Rambut. Pengganti Orang Kayo Hiam ialah Panembahan Ilang di Aer yang
setelah wafat dimakamkan di Rantau Kapas sehingga terkenal pula dengan
Panembahan Rantau Kapas. Masa pemerintahan Datuk Paduka Berhala beserta Putri
Pinang Masak sekitar tahun 1460, Orang Kayo Pingai sekitar tahun 1480, Orang
Kayo Pedataran sekitar tahun 1490. Sedangkan masa pemerintahan Orang Kayo Hitam
sendiri sekitar tahun 1500, Panembahan Rantau Kapas sekitar antara tahun 1500
hingga 1540, Panembahan Rengas Pandak cucu Orang Kayo Hitam sekitar tahun 1540
M, Panembahan Bawah Sawoh cicit Orang Kayo Hitam sekitar tahun 1565.
Setelah Panembahan Bawah Sawoh meninggal dunia, pemerintahan digantikan
oleh Panembahan Kota Baru sekitar tahun 1590, dan kemudian diganti lagi oleh
Pangeran Keda yang bergelar Sultan Abdul Kahar pada 1615. Sejak masa
pemerintahan Kerajaan Islam Jambi di bawah Sultan Abdul Kahar itulah
orang-orang VOC mulai datang untuk menjalin hubungan perdagangan. Mereka
membeli hasil-hasil Kerajaan Jambi terutama lada. Dengan izin Sultan Jambi pada
1616, Kompeni Belanda (VOC) mendirikan lojinya di Muara Kompeh. Tetapi beberapa
tahun kemudian ialah pada 1636 loji tersebut ditinggalkan karena rakyat Jambi
tidak mau menjual hasil-hasil buminya kepada VOC. Sejak itu hubungan Kerajaan
Jambi dengan VOC makin renggang, ditambah pada 1642 Gubernur Jenderal VOC
Antonio van Diemen menuduh Jambi bekerja sama dengan Mataram.
Pada masa pemerintahan Sultan Sri Ingalogo (1665-1690) terjadi peperangan
antara Kerajaan Jambi dengan Kerajaan Johor di mana Kerajaan Jambi mendapat
bantuan VOC dan akhirnya menang. Meskipun demikian, sebagai upah bantuan itu
VOC berturut-turut menyodorkan perjanjian pada 12 Juli 1681, 20 Agustus 1681,
11 Agustus 1683, dan 20 Agustus 1683. Pada hakikatnya perjanjian-perjanjian
tersebut menguatkan monopoli pembelian lada, dan sebaliknya VOC memaksakan
untuk penjualan kain dan opium. Beberapa tahun kemudian terjadi penyerangan
kantor dagang VOC oleh rakyat Jambi dan kepala pedagang VOC, Sybrandt Swart
terbunuh pada 1690 dan Sultan Jambi dituduh terlibat.
Oleh karena itu, Sultan Sri Ingalogo ditangkap dan diasingkan mula-mula
ke Batavia dan akhirnya ke Pulau Banda. Sultan penggantinya ialah Pangeran
Dipati Cakraningrat yang bergelar Sultan Kiai Gede. Dengan demikian, Sultan
Ratu yang lebih berhak disingkirkan dan ia dengan sejumlah pengikutnya pindah
ke Muaratebo, membawa keris pusaka Sigenjei, keris lambang bagi Raja-Raja Jambi
yang mempunyai hak atas kerajaan. Sejak itulah terus-menerus terjadi konflik
yang memuncak dengan pemberontakan dan perlawanan Sultan Thâhâ Sayf al-Dîn yang
dipusatkan terutama di daerah Batanghari Hulu. Di daerah inilah pada pertempuran
yang sengit, Sultan Thaha gugur pada 1 April 1904 dan ia dimakamkan di
Muaratebo.
E.
Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra
Selatan
Sejak Kerajaan Sriwijaya mengalami kelemahan bahkan runtuh sekitar abad
ke-14, mulailah proses Islamisasi sehingga pada akhir abad ke-15 muncul
komunitas Muslim di Palembang. Palembang pada akhir abad ke-16 sudah merupakan
daerah kantong Islam terpenting atau bahkan pusat Islam di bagian selatan
“Pulau Emas”. Bukan saja karena reputasinya sebagai pusat perdagangan yang
banyak dikunjungi pedagang Arab/Islam pada abad-abad kejayaan Sriwijaya, tetapi
juga dibantu oleh kebesaran Malaka yang tak pernah melepaskan keterlibatannya
dengan Palembang sebagai tanah asalnya.
Palembang sekitar awal abad ke-16 sudah ada di bawah pengaruh kekuasaan
Kerajaan Demak masa pemerintahan Pate Rodim seperti diberitakan Tome Pires
(1512-1515) bahkan pada waktu itu penduduk Palembang berjumlah lebih kurang
10.000 orang. Tetapi banyak yang mati dalam serangan membantu Demak terhadap
Portugis di Malaka. Mereka berdagang dengan Malaka dan Pahang dengan jung-jung
sebanyak 10 atau 12 setiap tahunnya. Komoditas yang diperdagangkan adalah beras
dan bahan makanan, katun, rotan, lilin, madu, anggur, emas, besi, kapur barus,
dan lain-lainnya. Meskipun kedudukan Palembang sebagai pusat penguasa Muslim
sudah ada sejak 1550, nama tokoh yang tercatat menjadi sultan pertama
Kesultanan Palembang ialah Susuhunan Sultan Abdurrahman Khalifat al-Mukminin
Sayyid al-Iman/Pangeran Kusumo Abdurrahman/Kiai Mas Endi sejak 1659 sampai 1706.
Palembang berturut-turut diperintah oleh 11 sultan sejak 1706 dan sultan yang
terakhir, Pangeran Kromojoyo/Raden Abdul Azim Purbolinggo (1823-1825).
Kontak pertama Kesultanan Palembang dengan VOC terjadi pada 1610, tetapi
karena VOC tidak dipedulikan kepentingannya maka selalu terjadi kerenggangan.
Pada 1658 wakil dagang VOC, Ockersz beserta pasukannya dibunuh dan dua buah
kapalnya yaitu Wachter dan Jacatra dirampas. Akibatnya pada 4 November 1659
terjadi peperangan antara Kesultanan Palembang dengan VOC di bawah pimpinan
Laksamana Joan van der Laen. Pada perang ini Keraton Kesultanan Palembang
dibakar. Demikian pula Kuta dan permukiman penduduk Cina, Portugis, Arab dan
bangsa-bangsa lainnya yang berada di seberang Kuta juga dibakar. Kota Palembang
dapat direbut lagi oleh pasukan Palembang dan kemudian dilakukan
pembangunan-pembangunan, kecuali Masjid Agung yang hingga kini masih dapat
disaksikan meskipun sudah ada beberapa perubahan. Masjid agung mulai dibangun
28 Jumadil Awal 1151 H atau 26 Mei 1748 M pada masa pemerintahan Sultan Mahmud
Badaruddin I (1724-1758).
Pada masa pemerintahan putranya yaitu Sultan Ahmad Najmuddin (1758-1774)
syiar agama Islam makin pesat. Pada waktu itu, berkembanglah hasil-hasil sastra
keagamaan dari tokoh-tokoh, antara lain, Abdussamad al-Palimbani, Kemas
Fakhruddin, Kemas Muhammad ibn Ahmad, Muhammad Muhyiddin ibn Syaikh
Shibabuddin, Muhammad Ma’ruf ibn Abdullah, dan lainnya. Mengenai ulama terkenal
Abdussamad bin Abdullah al-Jawi al-Palimbani (1704-1789), telah dibicarakan Azyumardi
Azra dalam Historiografi Islam Kontemporer secara lengkap tentang riwayatnya,
ajaran serta kitab-kitabnya dan guru-guru sufi serta tarekatnya.
Dalam perjalanan sejarahnya, Kesultanan Palembang sejak pemerintahan
Sultan Mahmud Badaruddin II mendapat serangan dari pasukan Hindia Belanda pada
Juli 1819 atau yang dikenal sebagai Perang Menteng (diambil dari kata
Muntinghe). Serangan besar-besaran oleh pasukan Belanda pimpinan J.C. Wolterboek
yang terjadi pada Oktober 1819 juga dapat dipukul mundur oleh prajurit-prajurit
Kesultanan Palembang. Tetapi pihak Belanda pada Juni 1821 mencoba lagi
melakukan penyerangan dengan banyak armada di bawah pimpinan panglima Jenderal
de Kock. Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap kemudian dibuang ke Ternate.
Kesultanan Palembang sejak 7 Oktober 1823 dihapuskan dan kekuasaan daerah
Palembang berada langsung di bawah Pemerintah Hindia Belanda dengan penempatan
Residen Jon Cornelis Reijnst yang tidak diterima. Sultan Ahmad Najaruddin Prabu
Anom karena memberontak akhirnya ditangkap kemudian diasingkan ke Banda, dan
seterusnya dipindahkan ke Menado.
F.
Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra
Barat
Islam di daerah Lampung tidak akan dibicarakan karena daerah ini sudah
sejak awal masuk kekuasaan Kesultanan Banten, karena itu yang akan dibicarakan
pada bagian ini ialah Kerajaan Islam di Sumatra Barat. Mengenai masuk dan
berkembangnya Islam di daerah Sumatra Barat masih sukar dipastikan. Berdasarkan
berita Cina dari Dinasti T’ang yang menyebutkan sekitar abad ke-7 (674 M) ada
kelompok orang-orang Arab (Ta’shih) dan disebutkan oleh W.P. Goeneveldt,
wilayah perkampungan mereka berada di pesisir barat Sumatra. Islam yang datang
dan berkembang di Sumatra Barat diperkirakan pada akhir abad ke-14 atau abad
15, sudah memperoleh pengaruhnya di kerajaan besar Minangkabau.
Bahwa Islam sudah masuk ke daerah Minangkabau pada sekitar akhir abad
ke-15 mungkin dapat dihubungkan dengan cerita yang terdapat dalam naskah kuno
dari Kerinci tentang Siak Lengih Malin Sabiyatullah asal Minangkabau yang
mengenalkan Islam di daerah Kerinci, semasa dengan Putri Unduk Pinang Masak,
Dayang Baranai, Parpatih Nan Sabatang yang kesemuanya berada di daerah Kerinci.
Tome Pires (1512-1515) juga mencatat keberadaan tempat-tempat seperti Pariaman,
Tiku, bahkan Barus. Dari ketiga tempat ini diperoleh barang-barang perdagangan,
seperti emas, sutra, damar, lilin, madu kamper, kapur barus, dan lainnya.
Setiap tahun ketiga tempat tersebut juga didatangi dua atau tiga kapal dari
Gujarat yang membawa barang dagangannya antara lain pakaian.
Melalui pelabuhan-pelabuhannya sejak abad ke-15 dan ke-16 hubungan antara
daerah Sumatra Barat dengan berbagai negeri terjalin dalam hubungan perdagangan
antara lain dengan Aceh. Pada masa Iskandar Muda, Pariaman merupakan salah satu
daerah yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Aceh penggantinya. Pada abad ke-17
M, terdapat ulama terkenal di Sumatra Barat salah seorang murid Abdurrauf
al-Sinkili yang terkenal bernama Syaikh Burhanuddin (1646-1692) di Ulakan. Ia
mendirikan surau dan tak disangsikan lagi Ulakan merupakan pusat keilmuan Islam
di Minangkabau. Tarekat Syattariyah yang diajarkannya tersebar di daerah
Minangkabau dan ajaran tasawufnya cenderung kepada syariah dan dapat dikatakan
sebagai ajaran neo-sufisme. Syaikh Burhanuddin dalam masyarakat setempat
dikenal sebagai Tuanku Ulakan. Penyebaran Islam yang bersifat pembaruan dan
menjangkau lebih jauh lagi mencapai klimaksnya pada awal abad ke-19.
Sejak awal abad ke-16 sampai awal abad ke-19 di daerah Minangkabau senantiasa
terdapat kedamaian, sama-sama saling menghargai antara kaum adat dan kaum
agama, antara hukum adat dan syariah Islam sebagaimana tercetus dalam pepatah
“Adat bersandi syara, syara bersandi adat”. Sejak awal abad ke-19 timbul
pembaruan Islam di daerah Sumatra Barat yang membawa pengaruh Wahabiyah dan
kemudian memunculkan “Perang Padri “, perang antara golongan adat dan golongan
agama. Wilayah Minangkabau mempunyai seorang raja yang berkedudukan di
Pagarruyung. Raja tetap dihormati sebagai lambang negara tetapi tidak mempunyai
kekuasaan, karena hakikatnya kekuasaan ada di tangan para panghulu yang
tergabung dalam Dewan Penghulu atau Dewan Negari.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau lambat laun terjadi
kebiasaan buruk seperti main judi, menyabung ayam, menghisap madat dan
minum-minuman keras. Para pembesarnya tidak dapat mencegah bahkan di antaranya
turut serta. Terkait dengan hal itu, kaum ulamanya yang kelak dinamakan kaum
“Padri” berkeinginan mengadakan perbaikan mengembalikan kehidupan masyarakat
Minangkabau kepada kemurnian Islam. Di antara kaum ulama itu Tuanku Kota Tua
dari kampung Kota Tua di dataran Agam mengajarkan kemurnian Islam berdasarkan
al-Qur’an dan hadis. Sementara itu, pada 1803 tiga orang haji kembali dari
Makkah yaitu Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan
Haji Piabang dari Tanah Datar.
Ketika Haji Miskin melarang penyabungan ayam di kampungnya, maka kaum
adat melawan sehingga Haji Miskin dikejar-kejar dan ketika sampai ke Kota Lawas
ia mendapat perlindungan dari Tuanku Mensiangan. Dari sini Haji Miskin lari ke
Kamang dan bertemu dengan Tuanku Nan Renceh yang akhirnya melalui pertemuan
beberapa tokoh ulama terutama di darah Luhak Agam dibentuklah kelompok yang
disebut “Padri” yang tujuan utamanya ialah memperjuangkan tegaknya syara dan
membasmi kemaksiatan. Mereka itu terdiri atas Tuanku Nan Renceh, Tuanku Bansa,
Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aer, Tuamku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar,
Tuanku Kubu Ambelan, dan Tuanku Kubu Senang.
Kedelapan ulama Padri itu disebut Harimau Nan Salapan. Perjuangan kaum
Padri itu makin kuat, tetapi pihak kaum Adat dibantu Belanda untuk keuntungan politik
dan ekonominya. Hal ini membuat kaum Padri melawan dua kelompok sekaligus yaitu
kaum Adat dan kaum penjajah Belanda termasuk perlawanan bangsa Indonesia
terhadap kolonialisme Belanda. Pada awal abad ke-19, Belanda dengan adanya
celah pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama dalam Perang Padri,
memakai kesempatan demi keuntungan politik dan ekonominya. Tahun 1830-1838,
ditandai dengan perlawanan Padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara
besar-besaran.
Perlawanan Padri diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin Padri
terutama Tuanku Imam Bonjol dalam pertempuran Benteng Bonjol, pada 25 Oktober
1837. Dengan demikian, pemerintah Hindia Belanda pada akhir 1838 berhasil
mengukuhkan kekuasaan politik dan ekonominya di daerah Minangkabau atau di
Sumatra Barat. Tuanku Imam Bonjol kemudian diasingkan ke Cianjur, dan pada 19
Januari 1839 dibuang ke Ambon, serta pada 1841 dipindahkan ke Menado kemudian ia
wafat di tempat itu pada 6 November 1864.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Masuknya agama Islam ke nusantara (Indonesia) pada abad 6 akhir dibawa
oleh Syekh Abdul Kadir Jailani periode I atau fase pertama, telah membawa
banyak perubahan dan perkembangan pada masyarakat, budaya, dan pemerintahan. Perubahan
dan perkembangan tersebut terlihat jelas dengan berdirinya kerajaan-kerajaan
yang bercorak Islam.
Menurut sumber-sumber Cina zaman Dinasti Tang, menjelang akhir perempatan
ketiga abad 7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin permukiman Arab Muslim di
pesisir pantai Sumatra. Islam pun memberikan pengaruh kepada institusi politik
yang ada. Hal ini tampak pada tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang
bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari
Kekhalifahan Bani Umayyah meminta dikirimkan dai yang bisa menjelaskan Islam
kepadanya.
B.
Saran
Kita perlu mempelajari sejarah
kerajaan-kerajaan Islam. Dan kita perlu mengembangkan wawasan kita tentang
sejarah. Karena itu termasuk hal penting.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Taufik. 1996. Islam dan Pluralisme di Asia Tenggara. Jakarta: LIPI.
Azra,
Azyumardi. 2002. Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan
Aktor Sejarah. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
Badrika,
I Wayan. 2006. Sejarah untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga.
Hasymy,
A. 1989. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Medan:
Penerbit Alma’arif.
No comments:
Post a Comment