KATA
PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah
SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Pengerahan
dan Penindasan Versus Perlawanan ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa
shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW,
keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Makalah ini kami buat untuk melengkapi
tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia. Kami ucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah Pengerahan dan Penindasan
Versus Perlawanan ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan
dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan
menjadi bahan makalah.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga
penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih
banyak kekurangan dalam penulisan makalah Pengerahan dan Penindasan Versus
Perlawanan ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini
terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang
Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia.
Semoga makalah Pengerahan dan Penindasan Versus Perlawanan ini dapat bermanfaat
bagi kita semuanya.
Bekasi,
26 Januari 2022
Penyusun
2.1.1 Kebijakan di Bidang
Pertanian
2.1.2 Kebijakan di Bidang Ekonomi
2.2 Pengendalian di Bidang
Pendidikan dan Kebudayaan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Di
balik senyum manis dan propaganda yang menjanjikan, ternyata Jepang bertindak
kejam. Jepang telah mengerahkan semua potensi dan kekuatan yang ada untuk
menopang perang yang sedang mereka hadapi untuk melawan Sekutu. Jepang juga
menguras aset kekayaan yang dimiliki Indonesia untuk memenangkan perang dan
melanjutkan industri di negerinya.
Pada
saat berkobarnya PD II, Indonesia benar-benar menjadi sasaran perluasan
pengaruh kekuasaan Jepang. Bahkan, Indonesia kemudian menjadi salah satu
benteng pertahanan Jepang untuk membendung gerak laju kekuatan tentara Serikat
dan melawan kekuatan Belanda. Setelah berhasil menguasai Indonesia, Jepang
mengambil kebijakan dalam bidang ekonomi yang sering disebut self help. Hasil
perekonomian di Indonesia dijadikan modal untuk mencukupi kebutuhan
pemerintahan Jepang yang sedang berkuasa di Indonesia.
Kebijakan
Jepang itu juga sering disebut dengan Ekonomi Perang. Untuk lebih jelasnya
perlu dilihat bagaimana tindakan-tindakan Jepang dalam bidang ekonomi di
Indonesia. Ekonomi uang yang pernah dikembangkan masa pemerintahan Belanda
tidak lagi populer.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di dalam makalah
tentang Pengerahan dan Penindasan Versus Perlawanan ini adalah sebagai berikut:
·
Apa yang dimaksud dengan ekonomi perang?
·
Bagaimana pengendalian di bidang pendidikan
dan kebudayaan oleh Jepang?
·
Bagaimana upaya pengerahan romusa yang
dilakukan oleh Jepang?
1.3
Tujuan
Adapun
tujuan dalam penulisan makalah tentang Pengerahan dan Penindasan Versus
Perlawanan ini adalah sebagai berikut:
·
Untuk menganalisis ekonomi perang pada
masa penjajahan Jepang.
·
Untuk menganalisis pengendalian di bidang
pendidikan dan kebudayaan oleh Jepang.
·
Untuk menganalisis upaya pengerahan romusa
yang dilakukan oleh Jepang.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Ekonomi Perang
Selama masa pendudukan Jepang di Indonesia,
diterapkan konsep “Ekonomi perang”. Artinya, semua kekuatan ekonomi di
Indonesia digali untuk menopang kegiatan perang. Perlu dipahami bahwa sebelum
memasuki Perang Dunia II, Jepang sudah berkembang menjadi negara industri dan
sekaligus menjadi kelompok negara imperialis di Asia. Oleh karena itu, Jepang
melakukan berbagai upaya untuk memperluas wilayahnya. Sasaran utamanya antara
lain Korea dan Indonesia. Dalam bidang ekonomi, Indonesia sangat menarik bagi
Jepang. Sebab Indonesia merupakan kepulauan yang begitu kaya akan berbagai
hasil bumi, pertanian, tambang, dan lain-lainnya. Kekayaan Indonesia tersebut
sangat cocok untuk kepentingan industri Jepang. Indonesia juga dirancang
sebagai tempat penjualan produk-produk industrinya. Meletusnya PD II pada hakikatnya
merupakan wujud konkret dari ambisi dan semangat imperialisme masing-masing
negara untuk memperluas daerah kekuasaannya.
Sementara itu, bidang perkebunan di masa
Jepang mengalami kemunduran. Hal ini berkaitan dengan kebijakan Jepang yang
memutuskan hubungan dengan Eropa (yang merupakan pusat perdagangan dunia).
Karena tidak perlu memperdagangkan hasil perkebunan yang laku di pasaran dunia,
seperti tebu (gula), tembakau, teh, dan kopi, maka Jepang tidak lagi
mengembangkan jenis tanaman tersebut. Bahkan tanah-tanah perkebunan diganti
menjadi tanah pertanian sesuai dengan kebutuhan Jepang. Tanah-tanah itu diganti
dengan tanaman padi untuk menghasilkan bahan makanan dan bahan-bahan lain yang
sangat dibutuhkan, misalnya jarak. Tanaman jarak waktu itu sangat dibutuhkan
karena dapat digunakan sebagai minyak pelumas mesin-mesin, termasuk mesin
pesawat terbang. Tanaman kina juga sangat dibutuhkan, yaitu untuk membuat obat
antimalaria, sebab penyakit malaria sangat mengganggu dan melemahkan kemampuan
tempur para prajurit.
Pabrik obat yang sudah ada di Bandung
sejak zaman Belanda terus dihidupkan. Tanaman tebu di Jawa juga mulai
dikurangi. Pabrik-pabrik gula sebagian besar mulai ditutup. Penderesan getah
karet di Sumatera mulai dihentikan. Tanaman-tanaman tembakau, teh, dan kopi di
berbagai tempat dikurangi. Oleh karena itu, pada masa Jepang ini, hasil-hasil
perkebunan sangat menurun. Produksi karet juga turun menjadi seperlimanya
produksi tahun 1941. Pada tahun 1943 produksi teh turun menjadi sepertiganya dari
zaman Hindia Belanda. Beberapa pabrik tekstil juga mulai ditutup karena
pengadaan kapas dan benang begitu sulit. Dalam bidang transportasi, Jepang
merasakan kekurangan kapal-kapal. Oleh karena itu, Jepang terpaksa mengadakan
industri kapal angkut dari kayu. Jepang juga membuka pabrik mesin, paku, kawat,
dan baja pelapis granat, tetapi semua usaha itu tidak berkembang lancar karena
kekurangan suku cadang.
Kebutuhan pangan untuk menopang perang
semakin meningkat, sehingga kegiatan penanaman untuk menghasilkan bahan pangan
terus ditingkatkan. Dalam hal ini, organisasi Jawa Hokokai giat melakukan
kampanye untuk meningkatkan usaha pengadaan pangan terutama beras dan jagung.
Tanah pertanian baru, bekas perkebunan dibuka untuk menambah produksi beras. Di
Sumatra Timur, daerah bekas perkebunan yang luasnya ribuan hektar ditanami
kembali sehingga menjadi daerah pertanian baru. Di tanah Karo juga dibuka lahan
pertanian baru dengan menggunakan tenaga para tawanan.
Di Kalimantan dan Sulawesi juga dibuka
tanah pertanian baru untuk menambah hasil beras. Untuk kepentingan penambahan
lahan pertanian ini, Jepang melakukan penebangan hutan secara liar dan
besar-besaran. Di Pulau Jawa dilakukan penebangan hutan secara liar sekitar
500.000 hektar. Penebangan hutan secara liar dan berlebihan tersebut
mengakibatkan hutan menjadi gundul, sehingga timbullah erosi dan banjir pada
musim penghujan. Penebangan hutan secara liar tersebut juga berdampak pada
berkurangnya sumber mata air. Dengan demikian, sekalipun tanah pertanian semakin
luas, tetapi kebutuhan pangan tetap tidak tercukupi.
2.1.1
Kebijakan di Bidang Pertanian
Pemerintahan Jepang juga membuat berbagai
kebijakan dalam bidang pertanian. Kebijakan itu di antaranya yaitu kebijakan
untuk “wajib serah padi”. Kebijakan ini menjadikan Jawa sebagai “Lingkungan
Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”. Kebijakan ini melibatkan seluruh Asia
Tenggara serta Asia Timur. Juga kebijakan dalam penanaman jenis-jenis tanaman
baru, seperti kapas, yute-rosela, rami, dan jarak. Keadaan ini semakin menambah
beban bagi pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia. Untuk mengatasi keadaan
ini kemudian pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan beberapa ketentuan yang
sangat ketat yang terkait dengan produksi padi.
Padi berada langsung di bawah pengawasan
pemerintah Jepang. Hanya pemerintah Jepang yang berhak mengatur untuk produksi,
pungutan dan penyaluran padi serta menentukan harganya. Dalam kaitan ini Jepang
telah membentuk badan yang diberi nama Shokuryo Konri Zimusyo (Kantor
Pengelolaan Pangan).
Penggiling dan pedagang padi tidak boleh
beroperasi sendiri, harus diatur oleh Kantor Pengelolaan Pangan.
Para petani harus menjual hasil produksi
padinya kepada pemerintah sesuai dengan kuota yang telah ditentukan dengan
harga yang telah ditetapkan pemerintah Jepang. Begitu juga padi harus
diserahkan ke penggilingan padi yang sudah ditunjuk pemerintah Jepang. Dalam
hal ini, berlaku ketentuan hasil keseluruhan produksi, petani berhak 40%,
kemudian 30% disetor kepada pemerintah melalui penggilingan yang telah
ditunjuk, dan 30% sisanya untuk persiapan bibit dengan disetor ke lumbung desa.
Selama pendudukan Tirani Jepang kehidupan
petani semakin merosot. Mereka tidak bisa menikmati hasil jerih payahnya
sebagai petani. Karena hasil pertaniannya harus dijual dengan harga yang sudah
ditentukan Jepang (boleh dikatakan diserahkan kepada penguasa Jepang), sehingga
kehidupannya menjadi semakin menderita. Sebelum panen petani harus melaporkan
kepada kucho (kepala desa). Kucho inilah yang menjadi ujung tombak pengumpulan
hasil panen dari petani. Hasil panen itu ditimbang dengan ukuran “kintalan”
(atau kuintal yang sama dengan 100 kg), pada hal sebelumnya menggunakan ukuran
dacin ( satu dacin kira-kira 65 kg) (Her Suganda, Rengasdengklok, 2009).
2.1.2
Kebijakan di Bidang Ekonomi
Dalam rangka mengendalikan kebijakan di
bidang ekonomi, maka semua objek vital dan alat-alat produksi dikuasai oleh
Jepang dan di bawah pengawasan yang sangat ketat. Pemerintah Jepang juga
mengeluarkan peraturan untuk menjalankan perekonomian di bidang perkebunan.
Perkebunan-perkebunan diawasi dan dipegang sepenuhnya oleh pemerintah Jepang.
Banyak perkebunan yang dirusak dan diganti dengan tanaman yang sesuai untuk
keperluan biaya perang. Rakyat dilarang menanam tebu dan membuat gula. Beberapa
perusahaan swasta Jepang yang menangani pabrik gula adalah Meiji Seito Kaisya.
Akibat kebijakan Jepang ini, tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia terus
merosot.
Dengan diterapkannya kebijakan ekonomi
perang itu, ekonomi uang yang pernah dikembangkan masa pemerintahan Hindia
Belanda tidak begitu populer. Bahkan bank-bank yang pernah dikembangkan
pemerintah Hindia Belanda dilikuidasi. Semua aset bank disita. Selanjutnya,
pada bulan April 1942, diumumkan suatu banking-moratorium tentang adanya
penangguhan pembayaran kewajiban-kewajiban bank. Beberapa bulan kemudian,
pimpinan tentara Jepang untuk Pulau Jawa, yang berada di Jakarta, mengeluarkan
ordonansi berupa perintah likuidasi untuk seluruh bank Belanda, Inggris, dan
beberapa bank Cina. Ordonansi serupa juga dikeluarkan oleh komando militer
Jepang di Singapura untuk bank-bank di Sumatera, sedangkan kewenangan likuidasi
bank-bank di Kalimantan dan Great East diberikan kepada Navy Ministry di Tokyo.
Fungsi dan tugas bank-bank yang
dilikuidasi tersebut, kemudian diambil alih oleh bank-bank Jepang, seperti
Yokohama Specie Bank, Taiwan Bank, dan Mitsui Bank, yang pernah ada sebelumnya
dan ditutup oleh Belanda ketika mulai pecah perang. Sebagai bank sirkulasi di
Pulau Jawa, Javache Bank dilikuidasi dibentuklah Nanpo Kaihatsu Ginko yang
melanjutkan tugas tentara pendudukan Jepang dalam mengedarkan invansion money yang
dicetak di Jepang dalam tujuh denominasi, mulai dari satu hingga sepuluh
gulden. Uang Belanda kemudian digantikan oleh uang Jepang.
2.2
Pengendalian di Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Pemerintah Jepang mulai membatasi kegiatan
pendidikan. Jumlah sekolah juga dikurangi secara drastis. Jumlah sekolah dasar
menurun dari 21.500 menjadi 13.500 buah. Sekolah lanjutan menurun dari 850
menjadi 20 buah. Kegiatan perguruan tinggi boleh dikatakan macet. Jumlah murid
sekolah dasar menurun 30% dan jumlah siswa sekolah lanjutan merosot sampai 90%.
Begitu juga tenaga pengajarnya mengalami penurunan secara signifikan. Muatan
kurikulum yang diajarkan juga dibatasi. Mata pelajaran bahasa Indonesia
dijadikan mata pelajaran utama, sekaligus sebagai bahasa pengantar. Kemudian,
bahasa Jepang menjadi mata pelajaran wajib di sekolah.
Para pelajar harus menghormati budaya dan
adat istiadat Jepang. Mereka juga harus melakukan kegiatan kerja bakti
(kinrohosyi). Kegiatan kerja bakti itu meliputi, pengumpulan bahan-bahan untuk
perang, penanaman bahan makanan, penanaman pohon jarak, perbaikan jalan, dan
pembersihan asrama. Para pelajar juga harus mengikuti kegiatan latihan jasmani
dan kemiliteran. Mereka harus benar-benar menjalankan semangat Jepang (Nippon
Seishin). Para pelajar juga harus menyanyikan lagu Kimigayo, menghormati
bendera Hinomaru dan melakukan gerak badan (taiso) serta seikerei.
Akibat keputusan pemerintah Jepang
tersebut, membuat angka buta huruf menjadi meningkat. Oleh karena itu, pemuda
Indonesia mengadakan program pemberantasan buta huruf yang dipelopori oleh
Putera. Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa kondisi
pendidikan di Indonesia pada masa pendudukan Jepang mengalami kemunduran.
Kemunduran pendidikan itu juga berkaitan dengan kebijakan pemerintah Jepang
yang lebih berorientasi pada kemiliteran untuk kepentingan pertahanan Indonesia
dibandingkan pendidikan. Banyak anak usia sekolah yang harus masuk organisasi
semimiliter sehingga banyak anak yang meninggalkan bangku sekolah. Bagi Jepang,
pelaksanaan pendidikan bagi rakyat Indonesia bukan untuk membuat pandai, tetapi
dalam rangka untuk pembentukan kader-kader yang memelopori program Kemakmuran
Bersama Asia Timur Raya. Oleh karena itu, sekolah selalu menjadi tempat
indoktrinasi kejepangan.
2.3 Pengerahan
Romusa
Berbagai kebijakan dan tindakan Jepang
seperti disebutkan di atas telah membuat penderitaan rakyat. Rakyat petani
tidak dapat berbuat banyak kecuali harus tunduk kepada praktik-praktik tirani
Jepang. Penderitaan rakyat ini semakin dirasakan dengan adanya kebijakan untuk
pengerahan tenaga romusa. Perlu diketahui bahwa untuk menopang Perang Asia
Timur Raya, Jepang mengerahkan semua tenaga kerja dari Indonesia. Tenaga kerja
inilah yang kemudian kita kenal dengan romusa. Mereka diperkerjakan di lingkungan
terbuka, misalnya di lingkungan pembangunan kubu-kubu pertahanan, jalan raya,
lapangan udara. Pada awalnya, tenaga kerja dikerahkan di Pulau Jawa yang padat
penduduknya, kemudian di kota-kota dibentuk barisan romusa sebagai sarana
propaganda. Desa-desa diwajibkan untuk menyiapkan sejumlah tenaga romusa.
Panitia pengerahan tersebut disebut Romukyokai, yang ada di setiap daerah.
Rakyat yang dijadikan romusa pada umumnya
adalah rakyat yang bertenaga kasar. Pada awalnya, rakyat Indonesia melakukan
tugas romusa secara sukarela, sehingga Jepang tidak mengalami kesulitan untuk
memperoleh tenaga. Sebab, rakyat sangat tertarik dengan propaganda tentara
Jepang sehingga rakyat rela membantu untuk bekerja apa saja tanpa digaji. Oleh
karena itu, di beberapa kota pernah terdapat beberapa romusa yang sifatnya
sementara dan sukarela. Romusa sukarela terdiri atas para pegawai yang bekerja
(tidak digaji) selama satu minggu di suatu tempat yang penting. Salah satu
contoh ada rombongan dari Jakarta dipimpin oleh Sukarno. Para pekerja sukarela
ini bekerja dalam suasana yang disebut “Pekan Perjuangan Mati-Matian”.Akan
tetapi, lama-kelamaan karena kebutuhan yang terus meningkat di seluruh kawasan
Asia Tenggara, pengerahan tenaga yang bersifat sukarela ini oleh pemerintah
Jepang diubah menjadi sebuah keharusan dan paksaan. Rakyat Indonesia yang
menjadi romusa itu diperlakukan dengan tidak senonoh, tanpa mengenal
perikemanusiaan. Mereka dipaksa bekerja sejak pagi hari sampai petang, tanpa
makan dan pelayanan yang cukup. Padahal mereka melakukan pekerjaan kasar yang
sangat memerlukan banyak asupan makanan dan istirahat. Mereka hanya dapat
beristirahat pada malam hari. Kesehatan mereka tidak terurus. Tidak jarang di
antara mereka jatuh sakit bahkan mati kelaparan.
Untuk menutupi kekejamannya dan agar
rakyat merasa tidak dirugikan, sejak tahun 1943, Jepang melancarkan kampanye
dan propaganda untuk menarik rakyat agar mau berangkat bekerja sebagai romusa.
Untuk mengambil hati rakyat, Jepang memberi julukan mereka yang menjadi romusa
itu sebagai “Pejuang Ekonomi” atau “Pahlawan Pekerja”. Para romusa itu
diibaratkan sebagai orang-orang yang sedang menunaikan tugas sucinya untuk
memenangkan perang dalam Perang Asia Timur Raya. Pada periode itu sudah sekitar
300.000 tenaga romusa dikirim ke luar Jawa. Bahkan sampai ke luar negeri
seperti ke Birma, Muangthai, Vietnam, Serawak, dan Malaya. Sebagian besar dari
mereka ada yang kembali ke daerah asal, ada yang tetap tinggal di tempat kerja,
tetapi kebanyakan mereka mati di tempat kerja.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pada waktu Jepang mendarat di Indonesia
pada tahun 1942, ternyata tentara Hindia Belanda telah membumihanguskan
objek-objek vital yang ada di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar Jepang
mengalami kesulitan dalam upaya menguasai Indonesia. Akibat dari
pembumihangusan itu, keadaan perekonomian di Indonesia menjadi lumpuh pada awal
pendudukan Jepang. Sehubungan dengan keadaan tersebut, langkah pertama yang
diambil Jepang adalah melakukan pengawasan dan perbaikan prasarana ekonomi.
Beberapa prasarana seperti jembatan, alat
transportasi, telekomunikasi, dan bangunan-bangunan diperbaiki. Kemudian
beberapa peraturan yang mendukung program pengawasan kegiatan ekonomi
dikeluarkan termasuk ditetapkannya peraturan pengendalian kenaikan harga. Bagi
mereka yang melanggar, akan dijatuhi hukuman berat.
Penderitaan rakyat tidak berkurang tetapi
justru semakin bertambah. Kehidupan rakyat benar-benar menyedihkan. Bahan
makanan sulit didapatkan karena banyak petani yang menjadi pekerja romusa.
Gelandangan di kota-kota besar makin tumbuh subur, seperti di kota Surabaya,
Jakarta, Bandung, dan Semarang.
Tidak jarang mereka mati kelaparan di
jalanan atau di bawah jembatan. Penyakit kudis menjangkiti masyarakat. Pasar
gelap tumbuh di kota-kota besar. Akibatnya, barang-barang keperluan sulit
didapatkan dan semakin sedikit jumlahnya. Masyarakat hidup dalam kesulitan.
Uang yang dikeluarkan Jepang tidak ada jaminannya, bahkan mengalami inflasi
yang parah. Bahan-bahan pakaian sulit didapatkan, bahkan masyarakat menggunakan
karung goni sebagai bahan pakaian mereka. Obat-obatan juga sangat sulit
didapatkan. Penderitaan rakyat Indonesia semakin tidak tertahankan.
3.2
Saran
Belajar
sejarah Indonesia Pengerahan dan Penindasan Versus Perlawanan ini sangat
penting karena di samping mendapatkan pemahaman tentang berbagai perubahan
seperti dalam tata pemerintahan dan kemiliteran, tetapi juga mendapatkan
pelajaran tentang nilai-nilai keuletan dan kerja keras dari para pejuang,
pengorbanan, dan keteguhan untuk mempertahankan kebenaran dan hak asasi
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Taufik, dan A.B. Lapian. 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah jilid 6 (Perang dan
Revolusi). Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Benda,
Harry J., 1983. The Crescent and The Rising Sun: Indonesian Islam Under The
Japanese Occupation 1942–1945. Holland/USA: Faris Publications.
Boomgaard,
Peter dan Janneke van Dijk. 2001. Het Indie Boek. Zwolle: Waanders Drukkers.
Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata. 2007. Wisata Sejarah. Jakarta: Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata.
Elson,
R. E. 2009. The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta.
Kahin,
George Mc.Turnan. 2013. Nasionalisme & Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas
Bambu.
Margana,
Sri dan Widya Fitrianingsih (ed.). 2010. Sejarah Indonesia: Perspektif Lokal
dan Global. Yogyakarta: Ombak.
Notosusanto,
Nugroho. 1979. Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta:
Departemen Pertahanan dan Keamanan.
No comments:
Post a Comment