Iman tanpa amal itu hampa, sedangkan amal tanpa iman itu sia-sia.
Ada saja Muslim yang hanya mengaku beriman, tapi lalai menger jakan amal saleh.
Padahal, jika memang benar-benar beriman, seharusnya melaksanakan ibadah dan
amal kebaikan lainnya secara berkelanjutan.
Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia, yang tidak
akan memberatkan. Namun, bukan berarti penganutnya dapat menggampangkan urusan
agama dengan alasan yang dibuat-buat sendiri.
Dalam buku berjudul Kesepaduan Iman dan Amal Saleh, Abdul Malik
Karim Amrullah atau Buya Hamka menegaskan bahwa pertanda kosongnya jiwa serta
binasa nya hati. Yaitu, ketika seorang Muslim sekadar mengaku beriman, tapi
enggan mengerjakan amal saleh secara berkelanjutan.
Hal itu sesuai dengan kondisi sekarang. Keimanan hanya dijadikan
‘topeng’ untuk meraih keuntungan tertentu, seperti halnya dalam politik. Namun,
untuk mengerjakan amal saleh mereka lalai.
Padahal, iman dan amal saleh merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Karena, apabila salah satunya hilang, kesungguhan menjalankan Islam
menjadi tidak sempurna. Iman tanpa amal itu hampa, sedangkan amal tanpa iman itu
percuma.
Hal ini terlihat dari sabda Nabi SAW: Allah tidak menerima iman
tanpa amal perbuatan dan tidak pula menerima amal perbuatan tanpa iman. (HR
ath-Thabrani). Dalam karyanya ini, Buya Hamka menjelaskan tentang bagaimana
seharusnya menempatkan porsi iman dan amal saleh secara tepat sesuai tuntunan
syariat.
Bukti kita percaya kepada-Nya tentu kita ikuti perintah-Nya.
Kita mengikuti perintah-Nya adalah karena kita percaya, kata Buya
Hamka. Pada zaman modern ini, sebagian masyarakat mungkin masih banyak yang
beranggapan bahwa shalat tidak harus berupa ritual ibadah. Perempuan tidak
harus menutup aurat, yang penting adalah menjaga hati, dan lain sebagainya.
Anggapan semacam itu sangat bertolak belakang dengan ajaran agama Islam.
Rasulullah sangat tekun melaksanakan ibadah dan amal saleh.
Saat mengerjakan shalat, kaki Rasulullah bahkan sampai bengkak.
Uangnya pun tak pernah tersimpan lama di rumahnya karena langsung disedekahkan.
Allah menjadikan manusia sebagai makhluk teristimewa.
Allah menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi sehingga
malaikat dan iblis pun disuruh sujud padanya. Sementara, manusianya sendiri
justru banyak yang mengabaikan perintah-Nya.
Melihat fenomena semacam itu, Buya Hamka pun tergugah un tuk
menyusun tulisan-tulisannya berke naan dengan keimanan yang lekat dengan amal
saleh. Jika me ngaku Islam, menurut Hamka, umat sudah selayaknya menger jakan
ibadah dan amal saleh lainnya.
Namun, sebaliknya amal saleh tanpa iman juga tidak dibenarkan dalam
agama. Banyak orang yang kelihatan berbuat baik, padahal ia tak beriman. Ia
banyak beramal, tapi hal yang dilakukannya tidak berlandaskan iman.
Padahal, Allah telah menegaskan dalam Alquran bahwasanya amal
seseorang menjadi sia-sia jika mempersekutukan Allah dengan yang lain (Surah
al-An’am ayat 88). Karena itu, umat mem butuhkan iman agar amal saleh nya
diterima oleh Allah.
Menurut Buya Hamka, iman yang baik akan menimbulkan amal yang baik.
Sedangkan, amal yang baik ti dak akan ada kalau imannya ti dak ada. Hal ini
sesuai dengan hadis Nabi SAW: Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan
dan tidak pula menerima amal perbuat an tanpa iman. (HR ath- Thab rani).
Hamka juga mengatakan, suatu amal yang timbul bukan dari iman pada
hakikatnya adalah menipu diri sendiri. Mengerjakan kebaikan tidak dari hati
adalah dusta. Jika manusia menegakkan kebaikan tidak dari iman, akan telantar
di tengah jalan. Lantaran tidak ada semangat suci yang men dorongnya.
Jika seseorang telah mengakui percaya kepada Allah dan rasul- Nya,
niscaya kepercayaan itu akan mendorongnya berbuat baik. Tujuannya tentu untuk
menggapai ridha Allah. Hubungan antara iman dan amal adalah antara budi dan
perangai.
Suatu budi yang tinggi hendaklah dilatih terus agar menjadi
perangai dan kebiasaan. Islam dan iman yang sebe narnya adalah pertalian di
antara iman dan amal saleh. Menurut Buya Hamka, tidak ada satu ayat pun dalam
Alquran yang hanya menyebut perkara iman.
Pasti diikuti dengan menyebut amal saleh. Sumber konten Buku ini
disusun dari karyakarya Buya Hamka yang pernah diterbitkan dalam majalah
ataupun dari karangannya yang pernah disampaikan dalam seminar.
Tidak hanya itu, buku ini juga dilengkapi dengan beberapa nasihat
Buya Hamka yang pernah ditayangkan di salah satu stasiun televisi nasional
sekitar tahun 1975. Buku ini juga mencantumkan ayat Al Qur’an ataupun hadist
untuk memperkuat tema pembahasan.
Hal ini menunjukkan bahwa Buya Hamka dalam menyampaikan
pandangannya selalu berlandaskan kitab suci dan sabda nabi. Pandangan Buya
Hamka dalam buku penuh dengan makna yang dapat menggugah kesadaran nurani umat
Islam. Walaupun, penyampaian bahasa dalam buku harus sedikit diulang-ulang
untuk memahaminya.
Bagi umat yang masih menganggap bahwa beribadah kepada- Nya
tidaklah penting, Buya Hamka menyarankan agar berkumpul dengan sahabat yang
bisa mengantarkan pada jalan yang diridhai-Nya. Teladanilah sunah Rasulullah
SAW.
Lawanlah segala bentuk pertentangan hati dari hal buruk yang hanya
membawa pada kesesatan dunia dan akhirat. Selain itu, tekanlah nafsu dalam
mengejar nikmat dunia yang fana. Jangan hanya mendamba surga tanpa bersusah
payah menggapai ridha-Nya. Ingatlah selalu bahwa perintah maupun larangan-Nya
adalah kebaikan bagi umat Islam itu sendiri.
Suatu waktu orang-orang badui Bani Asad menemui Nabi SAW kemudian
menyatakan diri bahwa mereka telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika
itu pula turunlah wahyu, “Orang-orang badui itu berkata, ‘Kami telah beriman.’
Katakanlah, ‘Kamu belum beriman, tapi katakanlah, ‘Kami telah ber-Islam,’
karena iman belum masuk ke dalam hatimu.” (QS al-Hujurat [49]: 14).
Ibn Katsir menjelaskan, berdasarkan ayat tersebut, iman itu lebih
khusus daripada Islam. Dengan demikian, patut setiap jiwa memeriksa ke dalam,
apakah dirinya telah benar-benar beriman atau masih sebatas ber- Islam?
Ibn Hajar berpendapat bahwa secara bahasa, iman berarti tashdiq.
Sedangkan secara syar’i, iman adalah membenarkan semua yang dibawa oleh Rasul
dari Rabbnya. Iman meliputi perkataan, perbuatan, bisa bertambah, dan bisa
berkurang. Bertambah dengan ketaatan, berkurang dengan kemaksiatan.
Hal itu menunjukkan bahwa menanamkan keimanan dalam diri kemudian
senantiasa meningkatkannya benar-benar perkara paling inti dari kehidupan
seorang Muslim, sebab keimanan senantiasa menuntut pembuktian. Alquran pun
menjelaskan bahwa orang yang benar-benar beriman adalah yang hatinya mencintai
Allah, Rasul, dan jihad lebih utama dari apa pun yang ada di dunia ini.
“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudarasaudara,
istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan
yang kamu khawatir kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih
kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS at-Taubah [9]: 24).
Artinya, iman adalah bukti cinta kepada Allah dan Rasul serta jihad
di jalan-Nya. Barang siapa merasa dirinya telah beriman dengan hanya ibadah
ritual tetapi tidak benar-benar peduli dengan keadaan tetangga, keadaan sesama
Muslim, dan karena itu enggan untuk bersedekah apalagi berjihad di jalan-Nya,
bahkan orientasi hidupnya sesungguhnya tidak mencari ridha- Nya, maka keimanan
itu belum benar-benar tertanam dengan kokoh di dalam hatinya.
Rasulullah SAW bersabda, “Telah merasakan lezatnya iman seseorang
yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai dinnya, dan Muhammad sebagai
rasulnya.” (HR Muslim).
Hal itu menunjukkan bahwa seorang Muslim yang telah beriman
benar-benar memiliki daya tahan tangguh dalam menghadapi rintangan dan
tantangan menggapai ridha Allah dan Rasul-Nya sehingga pantang baginya su rut
ke belakang dalam hal mempertahankan keimanan.
Hidupnya diorientasikan untuk mendapatkan ridha- Nya daripada
kesenangan dunia dalam segala rupa dan bentuknya. Seperti yang diteladankan
oleh Nabi Yusuf kala mesti memilih tetap menjaga iman atau lepas dari ke
sengsaraan. Namun, dengan tegas putra Nabi Ya’kub Alaihissalam itu mengatakan,
“Ya Rabb! Penjara lebih aku sukai daripada apa yang mereka serukan kepadaku.”
(QS Yusuf : 33).
Dengan demikian, mari terus berupaya mening kat kan iman, terlebih
di dalam Alquran Allah sering me manggil orang-orang beriman. Tinggal kita
tengok hati sendiri, adakah diri merasa terpanggil atau tidak sama sekali.
Ketentraman, sesuatu yang sangat diinginkan oleh setiap insan.
Tanpanya hidup akan terasa tersiksa, sempit dan diliputi kekalutan. Apalagi
jika kekalutan itu menyebabkan penderitaan yang tiada akhirnya. Sungguh
menakutkan. Lalu ketentraman manakah yang diharapkan oleh seorang hamba selain
ketentraman hati di dunia dan selamat dari jilatan api neraka di akhirat kelak.
Allah ta’ala yang Maha bijaksana dan Maha mengasihi hamba-hamba-Nya telah
menunjukkan bagaimanakah cara supaya ketentraman hakiki bisa diraih oleh
seorang hamba. Marilah kita buka lembaran Al Qur’an, niscaya permasalahan ini
sudah ada jawabannya.
Allah ta’ala berfirman:
الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ
أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu
adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al An’aam: 82)
Siapakah Mereka ?
Di dalam ayat ini Allah memberikan janji yang sangat menggiurkan.
Setiap insan tentu merasa ingin mendapatkan apa yang dijanjikan-Nya itu.
Keamanan dan ketentraman, dan juga karunia petunjuk. Allahu akbar, adakah
nikmat yang lebih manis dan lebih lezat daripada keduanya ? Akan tetapi
sadarilah nikmat agung ini hanya akan diberikan-Nya kepada hamba-hamba yang
memenuhi kriteria yang diberikan oleh-Nya, mereka bukan sembarang hamba.
Ingatlah, yang akan meraihnya adalah “orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman.”
Syaikh Hamad bin ‘Atiq rahimahullah mengatakan, “Mereka itu adalah
orang-orang yang mentauhidkan Allah dan tidak menodai tauhidnya dengan kesyirikan.
Mereka itulah yang mendapatkan keamanan. Sedangkan keamanan itu ada dua macam:
Keamanan Mutlak dan Keamanan Muqayyad. Yang pertama itu ialah keamanan dari
tertimpa azab. Keamanan ini diperuntukkan bagi orang yang meninggal di atas
tauhid dan tidak terus menerus berkubang dalam dosa-dosa besar. Adapun yang
kedua berlaku bagi orang yang meninggal di atas tauhid akan tetapi dia masih
dalam keadaan berkubang dalam dosa-dosa besar. Maka dia akan memperoleh
keamanan dari hukuman kekal di dalam neraka.” (Ibthalu Tandiid, hal. 19).
Dengan demikian, seorang muslim yang mati dalam keadaan bertauhid
(ini juga berarti dia tidak melakukan pembatal keislaman, red) dan tidak
berkubang dalam dosa-dosa besar niscaya akan meraih keamanan mutlak. Yaitu
terbebas dari siksaan. Sedangkan seorang muslim yang mati dalam keadaan
bertauhid akan tetapi bergelimang dalam dosa-dosa besar maka nilai keamanan
yang akan diperolehnya lebih rendah dari keamanan yang pertama. Kalau yang
pertama dia terbebas dari siksa, sedangkan yang kedua ini dia tidak akan
disiksa terus-menerus alias akhirnya juga akan masuk surga. Jadi dia tidak akan
kekal di dalam neraka, kalau Allah menyiksanya.
Bukankah Ayat Ini Umum ?
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Ibnu
Mas’ud mengatakan, “Ketika turun ayat, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka Itulah yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.’ (QS. Al
An’aam: 82). Maka hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mereka pun mengadu, ‘Wahai Rasulullah, siapakah diantara
kami ini orang yang tidak menzalimi dirinya?’ Maka beliau menjawab,
‘Sesungguhnya maksud ayat itu bukanlah sebagaimana yang kalian sangka. Tidakkah
kalian pernah mendengar perkataan seorang hamba yang shalih, ‘Wahai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya kesyirikan itu adalah
kezaliman yang sangat besar.’ (QS. Luqman: 13). Yang dimaksud dengan zalim
dalam ayat itu adalah syirik.’” (HR. Al Bukhari (32), Muslim (124), Imam Ahmad
(6/69/3589) cet. Ar Risalah, dikutip dari Ibthaalu Tandiid, hal. 19-20).
Inilah bukti kedalaman pemahaman para sahabat radhiyallahu ta’ala
‘anhum terhadap bahasa Arab. Di dalam bahasa Arab, apabila terdapat suatu kata
benda yang nakirah (indefinitif, bertanwin) dalam konteks kalimat negatif
(pe-nafian) seperti kata zulmin (kezaliman) di dalam ayat alladziina lam
yalbisuu iimaanahum bizulmin (Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman) ini maka kata tersebut berlaku
umum mencakup segala bentuk kezaliman. Baik kezaliman terhadap diri sendiri,
kepada orang lain maupun kezaliman terhadap hak Pencipta. Sehingga wajar
apabila turunnya ayat itu terasa berat bagi para sahabat, bukan karena mereka
tidak mau melaksanakan isi ayat itu. Akan tetapi karena mereka menyangka syarat
untuk bisa mendapatkan keamanan dan hidayah adalah harus bersih dari segala bentuk
kezaliman. Sehingga merekapun merasa tidak ada seorangpun diantara mereka yang
sanggup memenuhi syarat tersebut. Dengan spontan mereka berkata, “Wahai
Rasulullah, siapakah diantara kami ini orang yang tidak menzalimi dirinya?”
Namun kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menjelaskan
kepada mereka bahwa yang dimaksud kezaliman dalam ayat tersebut adalah syirik.
Beliau pun berdalil dengan sebuah ayat yang menceritakan perkataan Luqman
kepada puteranya “Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezaliman yang sangat
besar.” Hal itu beliau lakukan supaya mereka mengerti bahwa bukanlah syarat
untuk bisa meraih ketentraman dan hidayah itu seseorang harus membersihkan
dirinya dari semua bentuk kezaliman. Bagaimana tidak, sedangkan Nabi Adam dan
Hawa ‘alaihimas salaam saja pernah melakukan kezaliman dan berdo’a kepada Allah
menyesali kezaliman mereka. Mereka berdua berdo’a “Rabbanaa zalamnaa anfusanaa
wa inlam taghfir lanaa wa tarhamnaa lanakuunannaa minal khaasiriin.” (Wahai
Rabb kami. Sesungguhnya kami ini telah berbuat zalim terhadap diri kami. Dan
apabila paduka tidak mengampuni dosa kami dan tidak merahmati kami niscaya kami
tergolong orang-orang yang merugi). (lihat QS. Al A’raaf: 23)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Hal yang membuat
para sahabat merasa berat ialah karena mereka menyangka bahwa kezaliman yang
dipersyaratkan harus dihilangkan di sini adalah kezaliman hamba terhadap
dirinya sendiri. Mereka mengira bahwa keamanan dan petunjuk tidak akan bisa
diraih oleh orang yang menzalimi dirinya sendiri. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pun menerangkan kepada mereka bahwa di dalam Kitabullah syirik juga
disebut sebagai kezaliman. Sehingga rasa aman dan petunjuk tidak akan diperoleh
orang-orang yang mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman jenis ini. Karena
sesungguhnya barangsiapa yang tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan
kezaliman ini (syirik) maka dia termasuk orang-orang yang berhak memperoleh
keamanan dan petunjuk…” (Fathul Majiid, hal. 34).
Sehingga dari sini kita juga bisa memetik sebuah kaidah tafsir “An
Nakiratu fi siyaaqi nafyi tufiidul ‘umuum” (kata benda nakirah dalam konteks
kalimat negatif memberikan makna umum) (lihat Al Qawa’id Al Hisan karya Syaikh
Abdurrahman bin Naashir As Sa’di rahimahullah, hal. 22-23). Bagaimana kaidah
ini bisa diambil dari kisah tersebut, bukankah Nabi menolak penafsiran para
sahabat?! Benar, Nabi memang menolak penafsiran mereka terhadap maksud zalim di
dalam ayat ini. Akan tetapi beliau tidak menolak kaidah mereka (kaidah bahasa
Arab). Apa yang beliau lakukan ialah memberikan tambahan informasi bahwa yang
dimaksud oleh ayat ini bukanlah keumuman lafaznya sebagaimana lafaz umum lain
yang ada di dalam ayat atau hadits, akan tetapi yang dimaksud adalah salah satu
kandungannya saja. Beliau tidak mengatakan, “Kaidah kalian itu salah” akan
tetapi beliau mengatakan “Sesungguhnya maksud ayat itu bukanlah sebagaimana
yang kalian sangka… Yang dimaksud dengan zalim dalam ayat itu adalah syirik.”
Lafaz semacam ini di dalam istilah ilmu ushul fiqih disebut dengan al ‘umum
urida bihi al khushush (lafazh umum tetapi maksud yang disimpan di baliknya
ialah makna yang khusus).
Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullah mengatakan, “Di dalam ayat
ini, kata zalim dalam keadaan nakirah dan berada di konteks kalimat negatif,
yaitu firman Allah ta’ala, ‘Dan mereka tidak mencampuradukkan.’ Ini menunjukkan
kepada seluruh macam kezaliman. Akan tetapi apakah lafaz umum di sini yang
dimaksud adalah lafaz umum yang mengalami pengkhususan (umum al makhsush) ataukah
ia termasuk lafaz umum tetapi makna yang dikehendaki adalah makna khusus (umum
uriida bihi al khushush). ….” Kemudian beliau mengatakan bahwa yang dimaksud
oleh penulis Kitab Tauhid tatkala membawakan ayat ini adalah umum uriida bihi
al khushush. Kemudian beliau berkata, “Memang benar, kata zalim dalam ayat ini
adalah nakirah dalam konteks pe-nafian (yaitu dengan adanya kata lam yang
artinya tidak), sehingga ia menunjukkan makna umum. Namun ia termasuk lafaz
umum yang menyimpan maksud makna khusus. Ia khusus hanya meliputi salah satu
macam kezaliman yaitu syirik. Dengan demikian, letak keumumannya beralih kepada
seluruh makna yang tercakup dalam macam-macam syirik, bukan pada segala bentuk
kezaliman. Sebab kezaliman itu meliputi:
Kezaliman hamba terhadap dirinya dengan berbuat maksiat,atau
kezalimannya terhadap orang lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang
melanggar hak orang lain,dan termasuk juga di dalamnya kezaliman hamba terhadap
hak Allah jalla wa ‘ala yaitu dengan melakukan syirik terhadap-Nya.
Nah, (syirik) inilah yang dimaksud dengan lafaz umum ini. Oleh
karenanya lafaz tersebut bersifat umum mencakup semua jenis kesyirikan…
Sehingga makna dari ayat ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan
iman mereka.’ ialah mereka tidak mencampuri tauhidnya dengan syirik jenis
apapun.” (lihat At Tamhiid, hal. 24).
Demikianlah tafsiran yang diberikan oleh para ulama salaf terhadap
ayat ini. Imam Ibnu Jarir membawakan sebuah riwayat dari Rabi’ bin Anas bahwa
yang dimaksud iman di sini adalah ikhlash (memurnikan ibadah) untuk Allah saja.
Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Mereka itu adalah orang-orang yang memurnikan
ibadah hanya untuk Allah saja. Mereka tidak mempersekutukan sesuatupun
dengan-Nya. Mereka itulah yang akan merasakan keamanan pada hari kiamat serta
memperoleh hidayah di dunia maupun di akhirat.” (lihat Fathul Majiid, hal. 34).
Pentingnya Peranan Rasulullah Dalam Menjelaskan Ayat
Dari sini kita bisa memahami betapa pentingnya kedudukan Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjelas kandungan ayat-ayat Al Qur’an.
Seandainya diantara para sahabat tidak ada beliau niscaya ayat ini akan sangat
sulit dimengerti oleh orang-orang. Namun inilah bukti kasih sayang Allah kepada
umat manusia. Allah tidak membiarkan akal-akal mereka bebas (liberal)
menafsirkan Al Qur’an menurut pemahaman mereka sendiri-sendiri. Akan tetapi
Allah mengutus seorang Rasul dari kalangan mereka guna menjelaskan ayat-ayat
yang diturunkan kepada mereka. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan Kami
telah menurunkan kepadamu (Muhammad) Adz Dzikra (wahyu) supaya engkau
menjelaskan kepada manusia wahyu yang diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan.” (QS. An Nahl: 44). Inilah salah satu peranan beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai penafsir ayat Al Qur’an. Dengan demikian
batillah dakwaan kaum yang mengaku hanya berpedoman dengan Al Qur’an tanpa Al
Hadits, mereka itulah yang disebut Al Qur’aniyyuun atau di dalam negeri lebih
kita kenal dengan nama Ingkarus Sunnah. Mereka racuni pemikiran para pemuda
dengan tafsiran ala mereka sementara di sisi lain mereka mencampakkan tafsiran
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, subhaanallah. Adakah tindakan congkak yang
melebihi kelakuan mereka ini?! Wallahul musta’aan.
Sempurnakan Tauhid, Niscaya Balasannya Juga Sempurna
Tauhid yang sempurna hanya bisa diraih dengan membersihkan diri
dari segala bentuk kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan (lihat Fathul Majiid,
hal. 56). Inilah yang disebut dengan tahqiq tauhid (merealisasikan tauhid).
Namun bukan berarti orang seperti ini tidak pernah berbuat dosa. Orang yang
berhasil mentahqiq tauhid adalah yang apabila terjatuh di dalam dosa dia segera
bertaubat dan kembali mentaati Allah subhanahu wa ta’ala. Dia bekerja keras
mengikis segala bentuk maksiat, karena baginya kemaksiatan itu akan mengurangi
kemurnian tauhidnya. Dia memandang dosa laksana sebuah gunung besar yang akan
roboh menimpa dirinya. Demikianlah sifat seorang mukmin sejati. Dia tidak
memandang kecilnya dosa. Akan tetapi yang selalu diperhatikannya ialah
keagungan dan kebesaran Dzat yang dosa itu tertuju kepadanya. Sehingga
pantaslah jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa beristighfar
dan bertaubat kepada Allah 70 kali sehari bahkan dalam riwayat lain disebutkan
100 kali. Inilah sosok manusia terbaik di muka bumi, inilah sosok pen-tahqiq
tauhid terhebat sepanjang zaman. Lalu bagaimanakah dengan kita yang mengaku
sebagai pengikut Nabi, bahkan mengaku salafi? Sudahkah istighfar dan taubat
menghiasi lisan dan hati kita? Ataukah hati dan lisan kita justru telah pekat
dengan rasa dengki dan kata-kata kotor lagi menjijikkan, bahkan lebih
menjijikkan daripada tindakan melahap bangkai saudaranya? Wahai jiwa, telitilah
dirimu sendiri dahulu…
Syaikhul Islam mengatakan, “Barangsiapa bisa menyelamatkan dirinya
dari ketiga macam kezaliman: berbuat syirik, menzalimi sesama hamba dan
menzalimi diri sendiri selain syirik maka dia berhak memperoleh rasa aman yang
sempurna dan petunjuk yang sempurna (al amnu al muthlaq dan al ihtida’ al
muthlaq). Sedangkan orang (bertauhid) yang tidak bisa menyelamatkan dirinya
dari perbuatan zalim terhadap dirinya sendiri maka dia hanya akan memperoleh
rasa aman dan petunjuk sekadarnya (tidak sempurna, disebut juga muthlaqul amn
dan muthlaqul ihtida’, red). Dalam artian dia pasti akan masuk surga.
Sebagaimana hal itu telah dijanjikan oleh Allah di dalam ayat lain. Dan Allah
pun menunjukkan kepadanya jalan yang lurus yang pada akhirnya juga akan
mengantarkannya menuju surga. Rasa aman dan petunjuk itu akan berkurang
berbanding lurus dengan penurunan iman yang terjadi karena perbuatan zalimnya
terhadap dirinya sendiri.”
Beliau melanjutkan, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, ‘Sesungguhnya (yang dimaksud zalim dalam ayat) itu adalah syirik’ itu
bukan berarti barangsiapa yang tidak berbuat syirik akbar pasti akan meraih
rasa aman yang sempurna dan petunjuk yang sempurna. Sebab terdapat banyak
sekali hadits serta nash-nash Al Qur’an yang menerangkan bahwa para pelaku dosa
besar dihadapkan dengan cekaman rasa takut. Mereka tidak bisa memperoleh
keamanan yang sempurna dan petunjuk yang sempurna; dua karunia yang bisa
membuat mereka mendapatkan hidayah menempuh jalan yang lurus, yaitu jalannya
orang-orang yang mendapatkan anugerah nikmat Allah, tanpa sedikitpun siksa yang
harus mereka terima. Akan tetapi mereka itu memiliki pokok petunjuk untuk
menempuh jalan yang lurus ini. Mereka juga memiliki pokok kenikmatan yang
dilimpahkan Allah kepada mereka, sehingga mereka juga pasti akan merasakan
masuk surga.” (Fathul Majiid, hal. 35).
Kemudian beliau rahimahullah juga menjelaskan, “Apabila yang
dimaksud dengan sabda Nabi, ‘Sesungguhnya yang dimaksud di sini adalah syirik’
adalah syirik akbar saja maka maksudnya ialah barangsiapa yang tidak melakukan
syirik akbar maka dia kelak akan mendapatkan rasa aman dari siksaan dunia dan
akhirat yang dijanjikan Allah untuk orang-orang musyrik (karena dengan terbebas
dari syirik akbar dia bukan termasuk golongan orang musyrik, red). Dan apabila
yang beliau maksud adalah jenis kesyirikan, maka perbuatan hamba dalam
menzolimi dirinya sendiri seperti bersikap kikir karena demikian besar cintanya
kepada harta sehingga tidak mau menunaikan kewajiban berinfak juga tergolong
syirik ashghar. Begitu pula kecintaannya kepada sesuatu yang dibenci oleh Allah
ta’ala sampai-sampai membuatnya lebih mendahulukan kepentingan hawa nafsunya di
atas kecintaan kepada Allah juga termasuk syirik ashghar, dan lain sebagainya.
Maka golongan orang semacam ini akan semakin kehilangan unsur keamanan dan
petunjuk sesuai dengan banyaknya syirik ashghar yang dilakukannya. Berdasarkan
sudut pandang inilah para ulama salaf dahulu juga mengkategorikan
perbuatan-perbuatan dosa (selain syirik) ke dalam jenis syirik ini.” Demikian
kata Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah.” (lihat Fathul Majiid, hal.
35).
Ketika mengomentari jawaban Nabi terhadap kemusykilan yang
dilontarkan oleh para sahabat, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menambahkan,
“Jawaban ini, demi Allah merupakan jawaban yang sangat memuaskan. Sesungguhnya
kezaliman mutlak lagi sempurna adalah kezaliman yang ada pada perbuatan syirik.
Sebab kesyirikan merupakan tindakan menempatkan ibadah bukan pada
tempat yang semestinya. Sedangkan keamanan dan petunjuk yang mutlak mencakup keamanan
di dunia dan akhirat serta petunjuk meniti jalan yang lurus. Maka kezaliman
yang mutlak lagi sempurna itulah yang menjadi sebab terangkatnya rasa aman dan
petunjuk yang mutlak lagi sempurna. Hal ini tidaklah menafikan adanya kezaliman
yang bisa menjadi sebab seorang hamba meraih sekedar rasa aman (muthlaqul amn)
dan sekedar petunjuk (muthlaqul huda). Maka cermatilah hal ini. Sekedar balasan
(rasa aman dan petunjuk) tetap akan didapatkan oleh orang yang masih memiliki
iman (tauhid yang tidak tercampuri syirik). Sedangkan balasan istimewa (yaitu
rasa aman dan petunjuk yang sempurna) akan didapatkan oleh orang yang istimewa
pula (yaitu yang tauhidnya bersih dari berbagai kezaliman).” Dinukil secara
ringkas. Demikian kata Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah. (lihat Fathul
Majiid, hal. 36, dengan sedikit penyesuaian redaksional).
Dari keterangan di atas jelaslah bagi kita bahwa kata zalim yang
dimaksud oleh Nabi tatkala menyebutkan ayat tersebut adalah kesyirikan.
Sehingga makna ayat tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Shalih
Alusy Syaikh bahwa makna “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan
iman mereka” ialah mereka tidak mencampuri tauhidnya dengan syirik jenis
apapun.” (lihat At Tamhiid, hal. 24). Ketentraman dan hidayah inilah yang
disebut dengan al amn al muthlaq dan al ihtida’ al muthlaq (lihat Al Qaul Al
Mufid I/35-36). Artinya seorang yang bertauhid dan tidak berbuat syirik pasti
memperoleh hidayah dan rasa aman. Hidayah di dunia dengan ditunjuki meniti
jalan yang lurus (mendapat taufik untuk memeluk dan mengamalkan Islam sampai
mati dan tidak melakukan pembatal keislaman). Sedangkan hidayah di akhirat
berupa bimbingan untuk masuk surga. Adapun rasa aman di dunia berupa rasa
tentram di dalam hati dan tidak bersedih karena selain Allah. Dan akhirnya
adalah rasa aman di akhirat, yaitu diselamatkan dari terus menerus dalam
siksaan api neraka (lihat At Tamhiid, hal. 25 dan Al Qaul Al Mufid, hal. 35-36)
Inilah balasan yang akan didapatkan oleh semua orang yang bertauhid.
Perbedaan Kadar Rasa Aman dan Petunjuk
Sementara apabila dilihat dari sudut pandang balasan yang
didapatkan hamba, maka rasa aman dan petunjuk itu ada dua macam:
Pertama; rasa aman dan petunjuk yang
sempurna, atau dengan istilah lain bisa juga disebut memperoleh keamanan dan
petunjuk dalam kadar yang maksimal. Balasan ini hanya akan didapatkan
orang-orang khusus di kalangan orang-orang yang bertauhid. Keistimewaan mereka
dibandingkan sesama muwahhid lainnya adalah karena mereka bisa membersihkan
dirinya dari segala bentuk syirik, bid’ah dan maksiat. Karena di dalam bid’ah
dan maksiat itu sendiri juga terkandung unsur syirik yaitu ketika pelakunya
lebih mendahulukan kepentingan hawa nafsu di atas kecintaan kepada aturan
Allah. Maka apabila yang dimaksud rasa aman ialah rasa aman yang sempurna maka
makna kezaliman yang tepat ialah yang mencakup segala macam kezaliman, bukan
hanya syirik. Sehingga semakin sempurna tauhid dalam diri seorang hamba maka
semakin sempurna pulalah ketentraman dan hidayah yang didapatkannya.
Sebaliknya, apabila semakin banyak kezaliman yang dilakukannya maka semakin
berkuranglah kadar ketentraman dan hidayah yang bisa diraihnya.
Kedua; rasa aman dan petunjuk yang
sekadarnya. Atau dengan istilah lain bisa juga disebut memperoleh keamanan dan
petunjuk dalam kadar yang minimal. Inilah yang disebut dengan muthlaqul amn dan
muthlaqul ihtida’. Balasan ini akan didapatkan oleh setiap hamba yang
bertauhid, meskipun dia mati dalam keadaan masih berkubang dengan dosa-dosa
besar (selain syirik). Yang demikian itu dikarenakan dia masih memiliki modal
dasar keimanan atau tauhid yang lurus, sehingga dia tetap berhak untuk
menikmati surga di akhirat kelak. Oleh karena itu apabila yang dimaksud dengan
rasa aman adalah terbebas dari kekal di neraka maka makna kezaliman yang tepat
ialah kesyirikan dan dosa-dosa lain yang setingkat dengannya. Dan inilah yang
dimaksudkan oleh ayat dan diterangkan Nabi kepada para sahabat.
Dengan penjelasan ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa sebenarnya
tidak terdapat pertentangan antara mereka yang menafsirkan zalim dalam ayat ini
dengan syirik maupun yang tetap membiarkannya berlaku umum meliputi semua macam
kezaliman. Tergantung dari sudut pandang mana mereka menafsirkannya. Sebab pada
dasarnya mereka semua sepakat semua ahli tauhid pasti masuk surga, dan pelaku
dosa-dosa besar mendapatkan ancaman siksa di dalam neraka meskipun mereka juga
bertauhid. Seorang muwahhid yang terjerumus dalam syirik kecil juga akan
mengalami penurunan kadar rasa aman dan hidayah sebanyak kesyirikan yang
dilakukannya. Sebagaimana seorang muwahhid yang berbuat maksiat akan mengalami
penurunan kadar rasa aman dan hidayah sebanyak maksiat yang dilakukannya.
Sebagaimana seseorang yang mengeluarkan dirinya dari barisan kaum muwahhidin
kelak akan merasa menyesal karena telah kehilangan seluruh rasa aman dan
petunjuk dari-Nya. Lalu sekarang siapakah yang akan merasa aman dan
membusungkan dada seraya berkata “Inilah saya, seorang muwahhid!”
Bahkan tinta sejarah dan pena wahyu telah membuktikan fenomena sebaliknya
yang sangat mengagumkan dan luar biasa. Sehingga Al Imam Al Mujaddid Muhammad
bin Abdul Wahhab rahimahullah pun menorehkan ayat ini di dalam Bab Al Khauf
minasy Syirk (merasa takut terjerumus dalam syirik) dalam Kitab Tauhid beliau.
Inilah perkataan seorang pengibar bendera tauhid kelas satu, Ibrahim ‘alaihis
salaam, “(Tuhanku) Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan
arca-arca. Duhai Tuhanku, sesungguhnya mereka itu telah menyesatkan banyak
manusia.” (QS. Ibrahim: 35-36). Lalu bagaimanakah rasa takut yang seharusnya
menghinggapi hati orang yang kelasnya jauh di bawah Ibrahim? Sehingga salah
seorang tokoh generasi tabi’in Ibrahim At Taimi rahimahullah mengatakan sesudah
membaca ayat ini, “Lantas, siapakah orangnya yang merasa aman dari bencana
(syirik) setelah Ibrahim?!!” (HR. Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim sebagaimana
tercantum dalam Ad Durr Al Mantsur 5/46, dinukil dari At tamhiid, hal. 50).
Allahumma inni a’udzu bika an usyrika bika wa ana a’lam wa
astaghfiruka lima la a’lam. Walhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin.
Kata Islam, iman, serta rukunnya tidaklah asing bagi muslim.
Perbedaan makna keduanya penting dipahami demi mendalami Quran – Hadits hingga
tidak mudah mengkafirkan sesama mukmin dan salah mengambil hukum.
Pengertian Iman dan Islam
Jika ditanya apa definisi keduanya, sebagian kita akan menjawab
antara 3 ;
·
Islam
itu iman, iman adalah Islam,
·
Islam
adalah syahadat. Iman artinya yakin dan percaya,
·
Islam
spesifik nama agama, iman sifatnya umum.
Jadi yang mana kah yang benar?
Secara umum para ulama punya kaidah khusus terkait pengertian iman
dan Islam ini :
إذا اجتمعا افترقا و إذا افترقا اجتمعا
“Bermakna sama (sinonim) saat terpisah, dan berbeda makna saat
bersama.”
Maksudnya ;
Jika kata “iman” dan “Islam” ditemukan dalam satu ayat al-Quran
maupun riwayat hadits, maka masing-masing memiliki makna tersendiri.
Tapi kalau disebut dalam kalimat berbeda, apalagi beda halaman,
beda matan, maka bersinonim. Iman artinya Islam dan Islam adalah iman.
Begitu pula turunan kata keduanya : muslim, mukmin, muslimin, mukminin,
muslimat dan mukminat.
Jadi, Islam dan iman adalah dua hal berbeda dalam satu kesatuan.
Dengan kata lain, bagai jasad dengan ruh, jiwa dengan raga, lahir-batin. Saling
melengkapi.
Keduanya terhubung meski berbeda. Bayangkan betapa ganas,
menakutkan dan kuatnya harimau, tapi kalau udah mati, jadi kulit atau
diawetkan, siapa takut!
Definisi Iman dan Mukmin
Iman berdasarkan bahasa artinya percaya.
Menurut istilah, iman adalah percaya dengan hati, ikrar dengan
lisan dan beramal dengan seluruh anggota badan. Sedangkan mukmin artinya orang
beriman.
Jadi, ada keselarasan antara hati, lisan dan sikap.
Di sinilah titik sorot orang munafik, antara hati, lisan serta
sikap saling betolak-belakang.
Iman memiliki akar kata yang sama dengan aman dan amanah (أ م ن). Maka secara filosofis, orang beriman
adalah orang yang teguh amanah dan menghadirkan rasa aman bagi orang lain.
Rasul bersabda :
لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ
Tidak beriman orang yang tidak amanah. (Ahmad, Ibu Hibban)
لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ، وَلَا
يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ، وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ
الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Tidak sah iman sebelum hatinya lurus, tidak akan lurus hatinya
selama lisannya tidak baik. Tidak akan masuk surga siapa yang tetangganya tidak
aman dari kejahatannya. (Ahmad)
Jadi, seorang mukmin tidak boleh dan tidak mungkin jadi teroris,
pelaku bom bunuh diri dsb.
Definisi Islam dan Muslim
Islam dan muslim berasal dari kata dasar, aslama – yuslimu (أسلم – يسلم), artinya tunduk, menyerah dan patuh. Kata
dasar ini menurunkan kata salam dan salamah, diserap bahasa Indonesia jadi
“selamat”.
Menurut syairat, Islam adalah agama yang Allah turunkan kepada
Rasulullah Muhammad secara khusus, dan 124 ribu nabi-rasul secara umum. Adapun
muslim artinya orang Islam atau orang beragama Islam.
Dengan definisi yang disarikan dari bebagai dalil nash, maka
beragama islam maknanya berserah diri, tunduk kepada Allah dengan mengikuti
Muhammad –shallallahu alaihi wa sallam– demi keselamatan dunia-akhirat.
Islam secara gamblang digunakan oleh Allah sebagai nama agama yang
Ia turunkan.
إن الدين عند الله الإسلام
Sungguh hanya Islam, agama yang Allah terima … (Ali Imran : 19)
… ورضيت لكم الإسلام دينا
…
dan telah Ku-ridai Islam sebagai agama bagimu. … (al-Maidah : 3)
Bahkan Allah sendiri yang menamakan pemeluk agama-Nya dengan
sebutan muslim.
هو سماكم المسلمين من قبل
Allah menamakan kalian “muslim” sejak dahulu. (al-Hajj : 78)
Tidak heran jika sejumlah tokoh dan rasul menyatakan dirinya
seorang muslim.
Sumber : SUMBARTODAY