BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Perkembangan perekonomian, perdagangan dan perindustrian yang semakin meningkat memberikan
kemudahan yang luar biasa bagi konsumen
karena terdapat beragam variasi produk barang dan jasa yang dapat dikonsumsi oleh konsumen yang ditawarkan oleh pelaku usaha3. Globalisasi perdagangan
tersebut didukung oleh teknologi informasi dan
telekomunikasi yang memberi
ruang yang sangat bebas dan leluasa dalam setiap transaksi
perdagangan sehingga konsumen
dengan mudahnya dapat memperoleh barang/jasa dari dalam dan luar negeri
yang dipasarkan sesuai
diinginkan dan kebutuhannya.
Globalisasi perdagangan menyebabkan dunia menjadi sebuah perkampungan besar, sehingga batas-batas negara menjadi sangat
kabur. Sementara itu, ekonomi global mengikuti logikanya sendiri. Dalam proses tersebut, dunia dimanfaatkan serta
terjadi intensifikasi kesadaran terhadap dunia sebagai satu kesatuan utuh. Namun demikian, proses globalisasi yang
memungkinkan adanya arus informasi bebas hambatan melalui internet, peningkatan lalu lintas arus barang dan personalia secara internasional serta keanggotaan di dalam berbagai
organisasi dunia, secara
potensial memunculkan persoalan-persoalan hukum yang berdampak bagi masyarakat, yang mau tidak mau harus ditangani
oleh para ahli hukum. Berbagai permasalahan yang dimunculkan oleh teknologi informasi
dan harus dihadapi
oleh hukum semestinya telah cukup jelas dan dapat
diduga.
Perkembangan transaksi perdagangan secara elektronik (e- commerce)
tidak terlepas
dari laju pertumbuhan internet karena e- commerce
berjalan melalui jaringan internet. John Nielson salah seorang pimpinan
perusahaan Microsoft, menyatakan dalam kurun waktu 30 tahun 30 % transaksi
penjualan kepada konsumen
dilakukan melalui e- commerce.
Pertumbuhan pengguna internet
yang sedemikian pesatnya
merupakan Kenyataan yang membuat internet menjadi salah satu media yang efektif bagi pelaku usaha untuk memperkenalkan dan menjual barang atau jasa ke calon konsumen dari
seluruh dunia. E-commerce merupakan model bisnis modern yang non-face
(tidak menghadirkan pelaku bisnis secara fisik) dan
non-sign (tidak memakai tanda tangan asli)9. Hadirnya
e-commerce memungkinkan terciptanya persaingan yang sehat antara pelaku usaha kecil, menengah, dan besar dalam
merebut pangsa pasar.
Dalam transaksi e-commerce diciptakan transaksi bisnis yang
lebih praktis tanpa kertas
(paperless) dan dalam transaksi e-commerce dapat tidak bertemu secara langsung (face to face) para pihak yang
melakukan transaksi, sehingga
dapat dikatakan e-commerce menjadi penggerak ekonomi baru dalam bidang teknologi.
Selain keuntungan tersebut, aspek negatif dari pengembangan ini adalah berkaitan
dengan persoalan keamanan dalam bertransaksi dengan
menggunakan media e-commerce. Munculnya bentuk penyelewengan-penyelewengan yang cenderung merugikan konsumen dan menimbulkan
berbagai permasalahan hukum dalam melakukan
transaksi e-commerce.
Realitas dari fenomena tersebut memiliki tantangan positif
karena memberikan manfaat
bagi konsumen untuk memilih dan memiliki kebebasan menentukan jenis dan kualitas
barang/jasa yang diinginkannya Dalam penerapannya transaksi jual beli melalui e-commerce dipilih dan
dilakukan oleh pelaku usaha sebagai pengedar
barang/jasa dan konsumen sebagai pengguna layanan barang
atau jasa bermanfaat dalam penggunaan
e-commerce antara lain:
1. Dapat meningkatkan market exposure (pangsa
pasar)
2. Menurunkan biaya
operasional (operating cost).
3. Melebarkan jangkauan
(global reach)
4. Meningkatkan costumer
loyalty
5. Meningkatkan supply
management
6. Memperpendek waktu produksi
Dengan alasan-alasan praktis
tersebut, e-commerce dianggap mampu
memberikan kemudahan kepada pelanggan untuk berbelanja atau melakukan transaksi selama 24 jam sehari
dari tempat, jarak, dan waktu yang tidak terbatas. Aplikasi e-commerce tidak hanya dilakukan mulai pada sektor ekonomi dan perdagangan,
tetapi juga masuk ke sektor ilmu pengetahuan
dan pendidikan, politik, sosial, budaya, hukum, pertahanan, dan keamanan.
Dampak negatif yang ditimbulkan dari e-commerce ini
kepentingan pelaku usaha memperoleh
laba dari transaksi dengan konsumen sering terjadi
hubungan yang tidak setara di antara keduanya. Posisi konsumen berada pada posisi tawar-menawar yang
lemah dan karena dapat menjadi sasaran
eksploitasi pelaku usaha yang secara sosial ekonomi memiliki posisi
yang kuat.
Transaksi elektronik sebagaimana dikemukakan Onno W. Purbo keamanan sistem
informasi berbasis internet menjadi suatu keharusan untuk diperhatikan karena jaringan komputer internet bersifat
publik dan global pada dasarnya tidak aman. Pada saat data dikirim dari suatu komputer ke komputer lainnya di dalam
internet data tersebut melewati sejumlah komputer
yang lain yang berarti
memberi kesempatan pada pengguna internet
lainnya untuk menyadap
atau mengubah data
tersebut. Risiko pembobolan data di internet hampir
setiap hari terjadi di seluruh dunia selain sangat dimungkin penyusup
(hacker) mengakses data-data di dalam jaringan
yang dilindungi. Jika hal ini terjadi ketidakamanan dalam jaringan komputer
menjadi suatu kejahatan yang sangat
serius untuk diperhatikan bagi konsumen yang posisinya dalam hal ini paling rentan.
Masalah hukum
lainya adalah perlindungan terhadap konsumen
yang melakukan transaksi
e-commerce dengan merchant
dalam satu negara atau berlainan
negara. Di dalam jual beli melalui internet,
seringkali terjadi kecurangan. Kecurangankecurangan tersebut dapat terjadi
yang menyangkut keberadaan pelaku usaha, barang yang dibeli, harga barang, dan pembayaran oleh konsumen. Kecurangan yang menyangkut pelaku
usaha, misalnya pelaku usaha (virtual store) yang bersangkutan merupakan toko yang fiktif.
Contoh lainnya, barang yang dikirimkan oleh pelaku usaha,
barang tersebut tidak dikirimkan kepada konsumen atau terjadi kelambatan pengiriman yang berkepanjangan, terjadi kerusakan atas barang yang dikirimkan atau barang yang dikirimkan cacat, dan lain-lain.
Menyangkut purchase dan pembayaran
oleh konsumen yang disangkal kebenarannya oleh pelaku usaha. Misalnya,
pelaku usaha hanya mengakui bahwa jumlah barang yang dipesan
kurang dari yang tercantum di dalam purchase
yang dikirimkan secara elektronik atau harga per unit dari barang yang dipesan oleh konsumen dikatakan
lebih tinggi dari pada harga
yang dicantumkan di dalam purchase. Dapat pula terjadi pelaku usaha mengaku belum menerima pembayaran
dari konsumen, padahal kenyataannya konsumen
sudah mengirim pembayaran untuk seluruh harga barang.
Luasnya akses pasar yang diperoleh konsumen sebagai akibat proses globalisasi ekonomi harus
tetap
menjamin peningkatan
kesejahteraan masyarakat serta kepastian
atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan jasa yang
diperjualbelikan melalui e-commerce. Paling tidak terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan terkait
perlindungan konsumen melalui
perdagangan e-commerce. Pertama, tanggung jawab produsen (baca: penjual) terhadap
barang yang dipasarkan yaitu berdaya saing tinggi. Kedua, barang/jasa yang ditawarkan/dijual
bermutu. Ketiga barang/jasa
tersebut bernilai tambah atau berdaya guna tinggi.
Ketiga hal tersebut
memiliki muatan tanggungjawab hukum (product
liability) yang berakibat pada sikap kehati-hatian (precoison) baik dalam menjaga kualitas produk, penggunaan
bahan maupun memenuhi apa yang telah di sepakati dalam perjanjian.
Pengaturan perjanjian antara pihak pelaku usaha dengan
konsumen dalam sistem hukum perdata terdapat pada Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa “suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan yang
dilakukan oleh satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Adapun yang dimaksudkan perjanjian menurut Sudikno Mertokusumo bahwa perjanjian
adalah hubungan hukum antara dua
belah pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dua pihak itu sepakat untuk
menentukan peraturan atau kaedah
hukum atau hak kewajiban yang
mengikat mereka untuk ditaati dan dijalankan. Kesepakatan itu menimbulkan akibat hukum dan bila kesepakatan dilanggar maka akibat hukumnya si pelanggar dapat dikenakan
akibat hukum atau sanksi.
Permasalahan yang terjadi
dalam transaksi jual beli
e- commerce banyak ditunjukkan dengan pelaku usaha yang tidak memberikan kewajibannya kepada konsumen dalam bertransaksi. Menurut pasal 1234 KUH Perdata, tahap ini
adalah ditunjukkan dengan adanya wanprestasi yaitu tidak dapat dipenuhinya kewajiban
dalam perjanjian yang dapat disebabkan oleh dua kemungkinan sebagai
berikut:
1 Debitur sama sekali tidak memenuhi perjanjian; debitur tidak memenuhi
kewajiban yang telah disanggupinya untuk dipenuhi dalam suatu perjanjian atau tidak memenuhi
kewajiban yang ditetapkan oleh undang- undang
2.
Debitur terlambat memenuhi
perjanjian; debitur memenuhi prestasi tetapi
tidak tepat waktu, waktu yang ditetapkan dalam perjanjian tidak dipenuhi
3.
Debitur keliru memenuhi prestasi;
debitur melaksanakan atau memenuhi
apa yang diperjanjikan atau apa yang ditentukan oleh undang-undang tetapi tidak sebagaimana mestinya
menurut kualitas yang telah ditentukan dalam perjanjian atau yang telah ditetapkan oleh undang–undang
4.
Debitur melakukan sesuatu yang menurut perjanjian atau tidak boleh dilakukan.
Perlindungan yang berasaskan manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan dan
keselamatan, serta kepastian hukum terhadap konsumen sebagai pengguna barang/jasa, maka dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UUPK menyebutkan bahwa “Perlindungan konsumen
adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.
1.2 BATASAN MASALAH
Berdasarkan hal tersebut
maka paper terbatas
ini menguraikan secara
ringkas Bagaimanakah perlindungan konsumen dan permasalahannya dalam e-commerce di Indonesia.?
BAB II PEMBAHASAN
Filosofi dari UUPK Tahun 1999 adalah sebuah sistem, penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen tidak dapat dilepaskan dari konteks pembangunan nasional. Adanya konsep
keterpaduan pada UUPK Tahun 1999 dalam penyelanggaraan perlindungan hukum bagi konsumen
jika dibandingkan dengan
konsiderans UUPK Tahun 1999 tentang
latar belakang perlindungan hukum bagi konsumen ini dilandasi motif-motif yang dapat
diabstraksikan sebagai berikut:
1.
Mewujudkan demokrasi ekonomi;
2.
Mendorong diversifikasi produk
barang dan atau jasa sebagai sarana
peningkatan kesejahteraan masyarakat luas pada era globalisasi, serta menjamin ketersediaannya;
3.
Globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat luas serta kepastian mutu, jumlah, keamanan barang dan atau jasa;
4.
Peningkatan harkat dan martabad konsumen
melalui hukum (UUPK) untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen
dan pelaku usaha dalam suatu perekonomian
yang sehat.
Asas perlindungan hukum bagi konsumen pada Pasal 2 UUPK, yakni asas manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan, keselamatan konsumen,
serta kepastian hukum. Dapat dikatakan pembentuk undang- undang menyadari bahwa perlindungan hukum bagi konsumen
ibarat sekeping uang logam yang memiliki dua sisi yang berbeda, satu sisi merupakan konsumen, sedangkan sisi yang
lainnya pelaku usaha, dan tidak
mungkin hanya menggunakan satu sisi tanpa menggunakan kedua sisi sekaligus.
a. Konsumen dan Perlindungan Hak Konsumen
Konsumen (consumer) secara harfiah diartikan sebagai “orang
atau pelaku usaha yang membeli
barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu”; atau “sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan
atau sejumlah barang”. Ada juga yang mengartikan “setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”. Pengertian di atas
memperlihatkan
bahwa ada pembedaan antar konsumen sebagai orang alami atau pribadi kodrati dengan konsumen sebagai pelaku usaha
atau badan hukum pembedaan ini penting untuk membedakan apakah konsumen
tersebut menggunakan barang tersebut untuk dirinya sendiri atau untuk tujuan komersial (dijual, diproduksi
lagi).1421
UUPK Tahun 1999 mendefinisikan konsumen sebagai ... “Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Lihat Ketentuan Umum Pasal
1 Ayat 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Definisi
ini sesuai dengan pengertian bahwa konsumen adalah end user/pengguna terakhir, tanpa
konsumen merupakan pembeli dari
barang dan/atau jasa tersebut.
Berdasarkan hal tersebut
perlindungan hukum bagi hak-hak konsumen secara garis besar dibagi dalam 3
(tiga) hak yang menjadi prinsip
dasar, yaitu:
1.
hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen
dari kerugian, baik kerugian
personal, maupun kerugian
harta kekayaan;
2.
hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga wajar;
dan
3.
hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap
permasalahan yang dihadapi.
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) menjadi landasan
bagi sahnya perjanjian e-commerce selain KUH Perdata
Pasal 1313, Pasal 1338 dan Pasal 1320 KUH
Perdata.
c.
Ruang Lingkup dan pengaturan E-commerce
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) menjadi landasan
perdagangan elektronik di Indonesia. Julian Ding mendefinisikan e-commerce sebagai
berikut :
“Electronic or e-commerce as it is also known is a commercial transaction between a vendor and purchase or parties in similar contractual relationship for the supply of goods, services
or acquisition of right. This commercial transaction is executed or entered into electronic medium or digital
medium where the physical
presence of parties is not required and medium exist in a public network or system as opposed to
private network (closed system). The publish
network system must considered on
open system (e.g the internet
our world wide web). The transaction concluded
regardless of nation boundaries or local requirement”.
Terjemahan bebas pernyataan di atas adalah perdagangan
secara elektronik dikenal juga
sebagai transaksi komersial antara
vendor dan pembeli atau pihak dalam hubungan kontraktual yang sama untuk penyediaan barang,
jasa atau akuisisi
hak. Transaksi komersial
ini dijalankan atau dimasukkan ke dalam media elektronik atau media digital
di mana kehadiran fisik para pihak tidak diperlukan dan menengah yang ada di jaringan publik atau SISTEM sebagai
lawan jaringan pribadi (sistem tertutup).
Mempublikasikan jaringan SISTEM harus mempertimbangkan SISTEM terbuka (misalnya jaringan internet dunia yang luas).
Transaksi e- commerce disimpulkan tanpa mengenal batas negara atau kebutuhan lokal.
Hal terse but menjelaskan ecommerce merupakan suatu
transaksi komersial yang dilakukan antar penjual dan pembeli atau dengan
pihak lain dalam hubungan perjanjian
yang sama untuk mengirimkan sejumlah barang,
pelayanan atau peralihan hak. Transaksi komersial
ini terdapat di dalam media elektronik (media digital) yang secara fisik tidak memerlukan pertemuan para pihak yang
bertransaksi dan keberadaan media ini
di dalam jaringan publik atau sistem yang berlawanan dengan private
network (sistem tertutup). Dari definisi tersebut, e-
commerce
memiliki karakteristik yaitu adanya transaksi antar dua belah pihak, adanya pertukaran barang jasa atau informasi, dan internet merupakan medium utama dalam proses
atau mekanisme perdagangan.
Secara filosofis, Pasal 3 UU ITE Tahun
2008 mengatur bahwa setiap pemanfaatan teknologi informasi harus didasarkan pada asas “kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik dan netral teknologi”. Lebih lanjut, mengenai
pentingnya kepastian hukum ini tertuang
dalam Pasal 4 UU ITE yang mengatur
bahwa “transaksi elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan rasa aman, keadilan
dan kepastian hukum…”
Hal ini menyiratkan bahwa pelaku
usaha jual-beli dalam e-commerce harus mematuhi aturan hukum yang berlaku.
Mekanisme transaksi secara
e-commerce seperti di bawah ini :
1. Penjual (merchant), yaitu perusahaan/produsen yang menawarkan produknya
melalui internet. Untuk menjadi merchant,
maka seseorang harus mendaftarkan diri sebagai merchant account pada sebuah bank, tentunya ini dimaksudkan agar merchant dapat menerima pembayaran dari customer dalam bentuk
credit card.
2. Konsumen/
card holder, yaitu orang-orang yang ingin memperoleh
produk
(barang/jasa) melalui
pembelian secara online. Konsumen yang akan berbelanja di internet dapat berstatus perorangan atau perusahaan. Apabila
konsumen merupakan perorangan, maka yang perlu diperhatikan dalam transaksi
e-commerce adalah bagaimana sistem pembayaran yang digunakan, apakah pembayaran dilakukan
dengan mempergunakan credit card atau
dimungkinkan pembayaran dilakukan secara manual/cash. Hal ini penting untuk diketahui, mengingat
tidak semua konsumen yang akan
berbelanja di internet adalah pemegang kartu kredit. Pemegang kartu kredit
adalah orang yang namanya tercetak
pada
kartu kredit yang dikeluarkan oleh penerbit berdasarkan perjanjian yang dibuat.
3. Acquirer,
yaitu pihak perantara penagihan (antara penjual dan penerbit) dan perantara pembayaran
(antara pemegang dan penerbit).
Perantara pengaihan adalah pihak yang meneruskan penagihan kepada penerbit berdasarkan tagihan yang masuk kepadanya
yang diberikan oleh penjual barang/jasa. Pihak perantara
pembayaran antara pemegang dan penerbit adalah
bank di mana pembayaran kartu kredit dilakukan oleh pemilik kartu kredit/
card holder, selanjutnya bank yang menerima pembayaran ini akan mengirimkan uang
pembayaran tersebut kepada penerbit kartu kredit.
4. Issuer,
yaitu perusahaan credit card yang menerbitkan kartu. Di Indonesia ada beberapa
lembaga yang diijinkan
untuk menerbitkan kartu kredit,
yaitu:
a. Bank dan
lembaga keuangan bukan bank. Tidak semua bank
dapat menerbitkan credit card, hanya bank yang telah memperoleh ijin dari card international, dapat menerbitkan credit card, seperti Master dan Visa card.
b. Perusahaan non bank dalam hal ini PT. Dinner Jaya Indonesia International yang membuat
perjanjian dengan perusahaan yang ada di luar negeri.
c. Perusahaan
yang membuka cabang dari perusahaan induk yang ada di luar negeri, yaitu American
Express.
5. Certification Authorities yaitu pihak ketiga yang netral yang memegang hak untuk mengeluarkan sertifikasi kepada merchant,
kepada issuer dan dalam
beberapa hal diberikan kepada card holder.
Apabila transaksi e-commerce tidak sepenuhnya dilakukan
secara online dengan kata lain hanya proses transaksinya saja yang online sementara pembayaran tetap dilakukan secara manual/cash, maka
pihak
acquirer, issuer dan certification authority tidak terlibat di dalamnya. Disamping pihak- pihak tersebut diatas,
pihak lain yang keterlibatannya tidak
secara langsung dalam transaksi e- commerce yaitu jasa pengiriman (ekspedisi).
Berdasarkan definisi tersebut,
dapat dianalogikan bahwa dalam setiap transaksi jual beli antara pelaku
usaha dengan konsumen dilakukan suatu perjanjian yang menurut pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan
mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.
Pengertian perjanjian di atas belumlah lengkap dan terlalu
luas, belum lengkap karena perumusan
diatas hanya mengenai
perjanjian sepihak saja dan
dikatakan terlalu luas karena cakupan rumusan diatas bias saja keluar dari maksud perjanjian dalam KUH Perdata yakni
pada lapangan hukum kekayaan.
Sehingga pasal 1313 KUHPerdata tidak dapat diajukan acuan dalam memperoleh pengertian perjanjian. Abdulkadir Muhammad menyatakan, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang
atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai
harta kekayaan. Maka untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat sebagaimana yang disebut dalam pasal
1320 KUH Perdata yakni:
1.
Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya
2. Capak untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab
yang halal
Kaitannya dengan transaksi e-commerce antara pihak
e- merchant (pihak yang menawarkan barang atau jasa melalui internet)
dengan e-customer (pihak yang membeli
barang atau jasa melalui internet)
yang terjadi di dunia maya atau di internet pada umumnya berlangsung secara paperless transaction, sedangkan dokumen yang digunakan
dalam transaksi tersebut bukanlah paper document, melainkan dokumen
elektronik (digital document). Kontrak online dalam
e-
commerce memiliki banyak
tipe dan variasi
berdasarkan sarana yang digunakan untuk membuat kontrak, yaitu :
1. Kontrak melalui
chatting dan video conference
2. Kontrak melalui
e-mail
3. Kontrak melalui web
Jika dikaitkan permasalahan penegakan hukum dalam transaksi
e- commerce di Indonesia,
berdasarkan Penjelasan umum atas Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen
dalam perdagangan adalah tingkat kesadaran
konsumen masih amat rendah yang selanjutnya diketahui terutama disebabkan oleh
rendahnya pendidikan konsumen. Hal ini
diperlukan suatu upaya serius dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia
mengenai sosialisasi peraturan hukum
dan pengetahuan dalam transaksi e-commerce yang sebagaimana untuk mencegah terjadinya perkembangan pidana dalam transaksi e- commerce yang berlangsung di dunia maya tersebut.
Pada hakikatnya sepanjang
pelaksanaan e-commerce dilakukan secara legal dan tidak melanggar
ketentuan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia tidak ada
alasan bagi Aparat Penegak Hukum melakukan tindakan
hukum apapun terhadap
pelaku usaha nakal dalam transaksi e-commerce ini.
Hal yang berkaitan langsung dengan pidana dalam praktik
bisnis e- commerce dalam UU
ITE terkait informasi
bohong atau menyesatkan terhadap konsumen (Pasal 28 ayat [1])
dan perbuatan memproduksi atau memperdagangkan
perangkat keras atau perangkat lunak yang digunakan untuk memfasilitasi perbuatan
pidana UU ITE (Pasal 34 ayat [1]).
Bunyi lengkap Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1) UU
ITE adalah sebagai berikut:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.”
Pasal 34 ayat (1) UU ITE sebagai berikut:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum memproduksi, menjual,
mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan atau memiliki:
a. Perangkat
keras atau perangkat lunak komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 sampai dengan pasal 33 UU ITE”
b. Sandi lewat komputer, kode akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar sistem
elektronik menjadi dapat diakses
dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal
27 sampai dengan pasal 33.”
Pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (1) UU ITE tersebut
dapat dikenai pidana penjara paling
lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Sedangkan, pelanggaran terhadap Pasal 34 ayat (1) UU ITE dapat dikenai pidana paling lama 10 tahun dan
denda paling banyak 10 miliar rupiah. Dalam hal
terdapat dugaan tindak pidana transaksi elektronik, penyidik
pejabat polisi berwenang
untuk melakukan penyidikan, penggeledahan, penyitaan terhadap
sistem elektronik, penangkapan maupun penahanan. Di sisi lain, secara perdata, apabila terdapat
pihak yang merasa dirugikan atas
kegiatan perdagangan yang menggunakan sistem
elektronik, pihak tersebut dapat menggugat terhadap pihak yang menyelenggarakan transaksi elektronik tersebut.
Dalam penerapan UU PK Tahun 1999 diperhatikan asas- asas yang dijelaskan dalam pasal 2 UUPK yang
menyebutkan “perlindungan konsumen berasaskan masnfaat, keadilan, serta keseimbangan, keamanan
dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum”.
Asas- asas tersebut dijelaskan dalam penjelasan pasal 2
UUPK yang menyebutkan perlindungan konsumen
diselenggarakan sebagai
usaha bersama
berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan
nasional, yaitu:
1. Asas manfaat
dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus
memberi manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan
dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antar kepentingan konsumen, pelaku usaha,
dan pemerintah dalam arti materiil
maupun spiritual.
4. Asas keamanan
dan keselamatan konsumen
dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas kesamaan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian
hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin
kepastian hukum.
Untuk menginterpretasikan asas-asas
tersebut, maka perlu diketahui
hak- hak dan kewajiban antara konsumen dan pelaku usaha. Hak- hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh konsumen dan
pelaku usaha tercantum di dalam Pasal
4 sampai dengan Pasal 7 UUPK Tahun 1999.
Di dalam pasal 5 UUPK, diatur tentang kewajiban konsumen yaitu:
1. Membaca
atau mengikuti
petunjuk informasi
dan
prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/
jasa, demi
keamanan dan keselamatan
2. Beritikad baik
dalam melakukan
transaksi pembelian
barang dan/
jasa
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
4. Mengikuti upaya penyelesaian
hukum sengeketa perlindungan
konsumen secara patut
Di dalam pasal
6 UUPK, diatur tentang hak pelaku usaha yaitu:
1. Hak untuk
menerima pembayaran
yang
sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/ atau
jasa
yang diperdagangkan
2.
Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari
tindakan
konsumen beritikad tidak baik
3.
Hak
untuk mendapatkan
pembelaan diri
sepatutnya
di dalam
penyelesaian hukum sengketa
konsumen
4.
Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/
atau jasa yang diperdagangkan
5.
Hak- hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan
lainnya.
Di dalam pasal 7 UUPK,
diatur tentang
kewajiban
pelaku usaha
1. Beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya
2. Memberikan informasi
yang
benar, jelas
dan
jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/
atau jasa
serta
memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
3. Memperlakukan atau
melayani konsumen secara benar dan jujur dan tidak diskriminatif
4. Menjamin mutu barang dan atau/atau jasa yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar
mutut barang dan/ atau jasa yang berlaku
5. Memberikan konsumen
untuk menguji dan/ atau mencoba
barang dan/ atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/ atau garansi
atas barang yang dibuat dan/ atau yang diperdagangkan
6. Memberikan
kompensasi, ganti rugi, dan / atau penggantian
apabila barang dan/ atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Untuk dapat dikatakan
sebagai Perbuatan Melawan
Hukum berdasar Pasal 1365 KUHPerdata, suatu perbuatan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
a. Adanya perbuatan melawan hukum;
b.
Adanya unsur kesalahan;
c.
Adanya kerugian;
d. Adanya hubungan
sebab akibat yang menunjukkan bahwa adanya kerugian
disebabkan oleh kesalahan
seseorang.
e. Adanya unsur melawan hukum dimana suatu perbuatan melawan
hukum memenuhi unsur-unsur berikut :
(1) Bertentangan dengan hak orang lain; (2) Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri; (3)
Bertentangan dengan kesusilaan; (4) Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.
Selain itu, dalam penerapan hak dan kewajiban
yang harus dilakukan
oleh konsumen dan pelaku usaha, terdapat aturan yang terdapat dalam UUPK yang mengatur
perbuatan yang dilarang bagi para pelaku
usaha diatur dalam Bab IV UUPK yang terdiri dari 10 pasal, dimulai dari pasal 8 sampai dengan pasal 17 yang diperuntukkan agar terjadinya
pertanggungjawaban
hukum apabila terjadi kerugian yang dialami oleh konsumen akhir.
Pasal 8 UUPK meliputi perbuatan larangan kegiatan usaha
dalam melaksanakan kegiatan produksi
dan/atau perdagangan barang dan jasa yang:
1. Tidak memenuhi
atau tidak sesuai dengan standar
yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. Tidak
sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan jumlah dalam htungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
etiket barang tersebut;
3. Tidak
sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
4. Tidak sesuai dengan kondisi,
jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/ atau jasa tersebut;
5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya mode, atau penggunaan tertentu
sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/ atau
jasa tersebut;
6. Tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/ atau jasa tersebut;
7. Tidak
mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut;
8. Tidak mengikuti
ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
9. Tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat/ isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan,
nama
dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menyurut
ketentuan harus dipasang/ dibuat;
10. Tidak
mencantumkan informasi dan/ atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila pelaku usaha dalam
menjalankan usahanya melanggar larangan-
larangan dan atau menumbulkan kerusakan, pencemaran dan/ atau kerugian
kepada konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/ atau jasa yang diperjual belikan
maka pelaku usaha tersebut bertanggung jawab memberikan ganti rugi. Ganti rugi tersebut
dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang
dan atau jasa sejenis atau secara
nilainya atau perawatan kesehatan dan/ atau
pemberian santunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pemberian
ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)
hari setelah tanggal transaksi (lihat pasal 19 UUPK).
Disamping itu pelaku usaha periklanan juga bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut
(Pasal 20 UUPK Tahun 1999).
Apabila telah terjadi
suatu sengketa yang terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen terkait pemberian
sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu sebagaimana diatur dalam pasal 1233 Jo 1234 KUH Perdata atau dapat pula berbagai
kombinasi dari prestasi tersebut. Objek sengketa konsumen
dalam hal ini dibatasi
hanya menyangkut produk konsumen
yaitu barang atau jasa yang pada umumnya digunakan untuk keperluan rumah
tangganya dan tidak untuk tujuan komersial.
Pasal 23 UUPK Tahun 1999 menyebutkan bahwa apabila pelaku usaha pabrikan dan/ atau pelaku usaha distributor menolak dan/ atau tidak memberi tanggapan
dan/ atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen,
maka konsumen diberikan
hak untuk menggugat
pelaku
usaha dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau
dengan cara mengajukan gugatan kepada peradilan di tempat kedudukan
konsumen tersebut.
Pernyataan tersebut
sejalan dengan Pasal 45 UUPK:
1. Setiap konsumen
yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di lingkungannya;
2. Penyelesaian sengketa
konsumen dapat ditempuh
melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela pihak
yang bersengketa;
3. Penyelesaian sengketa
di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada angka (2) tidak
menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang;
4. Apabila telah dipilih upaya sengketa konsumen
di luar pengadilan gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila
upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak
atau oleh para pihak yang
bersengketa.
BAB III PENUTUP Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut
diatas, kesimpulan yang diperoleh adalah,
konsumen merupakan posisi yang rentan karena perjanjian yang ditawarkan merupakan perjanjian baku, dimana posisi yang tidak seimbang
antara konsumen dan pelaku usaha. Selain itu menimbulkan permasalahan dalam transaksi e-commerce di Indonesia
yang harus diselesaikan seperti penggunaan domain
name, alat bukti, pembajakan internet
(Internet piracy) berkaitan dengan HKI, perlindungan konsumen dalam transaksi
e-commerce, pajak atas transaksi
e-commerce yang dilakukan
oleh para pihak,
pilihan hukum (choice
of forum) yaitu
pilihan
mengenai pengadilan
mana yang berwenang menyelesaikan
sengketa di antara para pihak yang melakukan transaksi e-commerce.
Saran
Peningkatan SDM dan prinsip kehati-hatian konsumen serta
penerapan tanggungjawab produk harus selalu di kedepankan dalam penyelesaian
masalah perlindungan konsumen secara e-commerce selain diperlukan peningkatan SDM dan profesionalitas kinerja aparat
penegak hukum dalam mencegah dan menegakkan hukum perlindungan konsumen terkait dengan hukum Cyber yaitu
UU ITE Tahun 2008 dan produk
peraturan UU HKI di Indonesia. Hal lainnya penegakan hukum seharusnya memberikan rasa keadilan,
kepastian, dan kemanfaatan bagi masyarakat khususnya
bagi konsumen akhir selaku korban.
No comments:
Post a Comment