KATA
PENGANTAR
Puji
Syukur kita haturkan kepada Tuhan yang maha Esa karena dengan Rakmat dan
Hidayahnya, kita semua diberikan kemudahan dan kelancaran untuk menyelesaikan
tugas menyusun makalah mata kuliah Pendidikan Pancasila dengan Judul “Makalah
Persamaan dan Perbedaan Ideologi Pancasila, Komunisme, Liberalisme, Sosialisme,
Fasisme dan Faham Agama”.
Kami
ucapkan banyak terima kasih kepada Dosen Pengampu mata kuliah Pendidikan
Pancasila karena telah memberikan pengajaran, hal yang berkaitan dengan
Pendidikan Pancasila sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat
waktu.
Selanjutnya
semoga dengan penyusunan Makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, umumnya
bagi seluruh civitas Akademika universitas Brawijya dan khususnya seluruh
Mahasiswa Fakultas perikanan dan Ilmu kelautan Universitas Brawijaya. Mohon
maaf jika dalam penyusunan makalah ini
terjadi banyak kekuraangan atau kesalahan yang disengaja ataupun tidak
disengaja.
Penyusun
A.
Latar Belakang
Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara,
Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta
nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum
membentuk negara. Dengan kata lain, unsur-unsur yang merupakan materi Pancasila
diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri. Ideologi pancasila
pada hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran
seseorang atau kelompok seperti ideologi-ideologi lain di dunia. Pancasila
diambil dari nilai-nilai luhur budaya dan nilai religius bangsa Indonesia.
Pancasila berkedudukan sebagai ideologi bangsa dan negara. Dengan demikian,
pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia berakar pada pandangan
hidup dan budaya bangsa dan bukannya mengangkat atau mengambil ideologi dari
negara lain.
Ideologi erat sekali hubungannya dengan filsafat.
Karena filsafat merupakn dasar dari gagasan yang berupa ideology. Filsafat
memberikan dasar renungan atas ideologi itu sehingga dapat dijelmakan menjadi
suatu gagasan untuk pedoman bertindak. Dari sudut etimologinya, filsafat
berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua buah kata, yaitu (filos)
berarti cinta dan (Sophia) berarti kebenaran atau kebijaksanaan. Jadifilsafat
berarti cinta akan kebenaran atau kebijaksanaan. Arti kata inilah yang kemudian
dirangkumkan menjadi suatu makna bahwa filsafat adalah suatu renungan atau
pemikiran yang sedalam-dalamnya untuk mencari kebenaran.
Karena filsafat itu tersusun dalam suatu
keseluruhan, kebulatan, dan sistematis maka pemikiran filsafat harus
berdasarkan kejujuran dalam penemuan hakikat dari suatu obyek yang menjadi
titik sentral pemikiran. Terdapat banyak ideologi yang berkembang di dunia
seperti Ideologi
Pancasila, Komunisme, Liberalisme, Sosialisme, Fasisme dan Faham Agama, dan
tentunya masing-masing ideology memiliki pandangan yang berbeda-beda. Persamaan
dan perbedaan masing – masing ideology ini menarik untuk di pelajari lebih
lanjut.
B.
Rumusan Masalah
Beberapa
Rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut;
1.
Bagaimana
konsep dari Ideologi Pancasila, Komunisme, Liberalisme,
Sosialisme, Fasisme dan Faham Agama?
2.
Bagaimanakah
persamaan dana perbedaan Ideologi Pancasila, Komunisme,
Liberalisme, Sosialisme, Fasisme dan Faham Agama?
C.
Tujuan Pembahasan
Tujuan
dari penulisan Makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk
mengetahui konsep dari Ideologi Pancasila, Komunisme,
Liberalisme, Sosialisme, Fasisme dan Faham Agama
2.
Untuk
mengetahui persamaan dana perbedaan Ideologi Pancasila,
Komunisme, Liberalisme, Sosialisme, Fasisme dan Faham Agama.
BAB
II. PEMBAHASAN
2.1 Ideologi Pancasila
Pancasila
sebagai ideologi terbuka karena pancasila dapat menyesuaikan dan
diterapkan dari dinamika di Indonesia dan didunia. Tetapi tidak merubah
nilai-nilai dasar Pancasila itu sendiri. Sehinga pancasila dapat digunakan dan
diterapkan dalam berbagai zaman.
2.1.1
Syarat- Syarat Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka
Pancasila
dikatakan sebagai ideologi terbuka, karena telah memenuhi syarat-syarat sebagai
Ideologi terbuka antara lain sebagai berikut...
·
Nilai Dasar, adalah nilai dasar yang
terdapat dalam pembukaan UUD 1945 yang tidak berubah
·
Nilai
Instrumen, ialah nila-nilai dari nilai dasar yang dijabarkan
lebih kreatif dan dinamis ke bentuk UUD 1945, ketetapan MPR, dan peraturan
perundang-undangan lainnya
·
Nilai
Praktis, adalah nilai-nilai yang dilaksanakan di kehidupan
sehari-hari, baik di masyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai praktif bersifat
abstrak, seperti mengormati, kerja sama, dan kerukunan. Hal ini dapat
dioperasionalkan ke bentuk sikap, perbuatan, dan tingkah laku sehari-hari.
2.1.2
Dimensi Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka
Ideologi
Pancasila memiliki 3 dimensi penting yaitu sebagai berikut...
·
Dimensi Realitas adalah
mencerminkan kemampuan ideologi untuk mengadaptasika nilai-nilai hidup dan
berkembang dalam masyarakat
·
Dimensi Idealisme adalah
idealisme yang ada dalam ideologi mampu menggugah harapan para
pendukugnya
·
Dimensi Pendukung adalah
mencerminkan atau menggambarkan kemampuan suatu ideologi untuk memengaruhi dan
menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
2.1.3
Ciri-Ciri Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka
Dalam
fungsinya sebagai Ideologi, pancasila menjadi dasar seluruh aktivitas bangsa
Indonesia. Sehingga pancasila tercermin dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Ciri-ciri pancasila sebagai Ideologi terbuka adalah sebagai berikut;
·
Pancasila mempunyai pandangan hidup,
tujuan dan cita-cita masyarakat Indonesia yang berasal dari kepribadian
masyarakat Indonesia sendiri.
·
Pancasila memiliki tekat dalam
mengembangkan kreatifitas dan dinamis untuk mencapai tujuan nasional
·
Pengalaman sejarah bangsa Indonesia
Terjadi atas dasar keinginan bangsa (masyarakat) Indonesia sendiri tanpa dengan
campur tangan atau paksaan dari sekelompok orang.
·
Isinya tidak operasional
·
Dapat menginspirasi masyarakat untuk
bertanggung jawab sesuai nilai-nilai Pancasila
·
Menghargai pluralitas, sehingga diterima
oleh semua masyarakat yang berlatakng belakang dan budaya yang berbeda.
2.1.4
Faktor Pendorong Pemikiran Pancasila Sebagai
Ideologi Terbuka.
Menurut
Moerdiono bahwa terdapat faktor-faktor atau bukti yang mendorong pemikiran
Pancasila sebagai ideologi terbuka antara lain sebagai berikut;
·
Proses pembagunan nasional berencana,
dinamika mayarakat indonesia yang berkembang sangat cepat. Sehingga tidak semua
permasalahan kehidupan dapat ditemukan jawabannya secara ideologis.
·
Runtuhnya Ideologi tertutup, seperti marxisme-leninisme/komunisme.
·
Pengalaman sejarah politik terhadap
pengaruh komunisme sangat penting, karena dari pengaruh ideologi komunisme yang
bersifat tertutup, Pancasila pernah merosot dan kaku. Pancasila tidak tampil
sebagai pedoman, tetapi sebagai senjata konseptual untuk menyerang lawan-lawan
politik. Kebijaksanaan pemerintah disaat itu menjadi absolute. Akibatnya,
perbedaan-perbedaan menjadi alasan untuk secara langsung dicap sebagai anti
Pancasila.
·
Tekad untuk menjadikan Pancasila sebagai
satu-satunya asas dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
2.1.5
Arti Ideologi
Pancasila
Arti
rumusan akhir Pancasila yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam
sidang PPKI merumuskan sebagai berikut :
·
Ketuhanan
Yang Maha Esa
Sebagai
hasil refleksi terhadap hidup manusia Indonesia sejak zaman kumo, khususnya
dalam hidup masyarakat desa, para pendiri negara kita sampai pada kesimpulan:
manusia Indonesia mengakui Tuhan yang satu adanya, entah dengan adanya, entah
dengan sebutan Tuhan, Widi, Widi, Wasa, Sang Hyang Hana, Gusti atau Allah.
Adanya dunia dengan segala isinya mendorong manusia ke dalam keyakinan: ada
suatu realitas, yang tertinggi, yang menjadi sumber adanya seluruh realitas di
dunia sebagai sebab yang pertama, sebagai causa prima. Bagaimana orang-orang
menghayati keyakinannya, bagaimana mereka bertaqwa, mengabdi kepada Tuhan,
tergantung pada pribadi masing-masing. Maka di Indonesia ada kebebasan
beragama. Indonesia bukan negara “teokratis”, bukan negara agama yaitu negara
yang dalam penyelenggaraan kehidupan berpemerintahan berdasarkan kekuasaan
(kratia) Tuhan (Theos) menurut ajaran agama tertentu. Para pemeluk agama dan
para penganut kepercayaan bebas dalam menghayati dan melaksanakan keyakinan mereka,
saling menerima serta saling menghargai dengan penuh toleransi dan dengan
semangat kerjasama yang serasi.
·
Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab
Bangsa
Indonesia mempunyai gambaran atau citra manusia sendiri. Setiap manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan yang dianugerahi budi dan karsa merdeka, dihargai dan
dihormati sesuai dengan martabatnya. Semua manusia adalah sama derajatnya
sebagai manusia. Semua manusia sama hak dan kewajibannya. Pada dasarnya manusia
dibedakan atas dasar ras, agama, adat atau keturunan atau jenis kelamin.
Manusia adalah makhluk rohani sekaligus makhluk jasmani, adalah makhluk pribadi
sekaligus makhluk sosial. Hal ini disebut untuk mempergunakan istilah Prof.
Notonagoro: monodualitas. Setiap manusia diharapkan mendapat apa yang menjadi
haknya. Maka dirumuskan: “Kemanusiaan yang adil”.124 Di sini kita menemukan
dasar hak-hak asasi manusia dalam pandangan hidup bangsa Indonesia. Disadari
pula bahwa dunia dengan isinya itu merupakan obyek bagi manusia. Dunia ini
merupakan obyek bagi pancaindera manusia: bagi mata, untuk dinikmati keindahan
alamnya; bagi telinga, dinikmati bermacam-macam suaranya. Manusia dapat
menangkap itu semua sehingga timbul getaran-getaran dalam jiwanya, dengan
bermacam-macam perasaan. Apa yang dialami dalam jiwanya dapat diekspresikan dan
dimanifestasikan dalam bermacam-macam bentuk kesenian; umpamanya dalam bentuk
lagu, tari-tarian, atau lukisan. Tetapi dunia ini terutama merupakan obyek
untuk budinya dan karsanya. Manusia dengan jiwanya yang rohani bersifat transenden,
mengatasi struktur dan kondisi alam jasmani. Manusia dapat mengenal hukum-hukum
alam dapat menemukan potensi yang terkandung dalam alam; manusia mampu mengolah
dan mengubah alam dalam batas-batas tertentu. Transendensinya relatif dan
terbatas. Dengan demikian manusia mampu menciptakan kebudayaan. Ia mengolah
tanah, air, api dan logam yang didapatnya dalam alam. Hal ini dirumuskan dalam
istilah “yang beradab”.
·
Persatuan
Indonesia
Ketika
Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 tampil pada sidang paripurna BPUPKI atas
permintaan ketuanya, dr. Radjiman Wedyodiningrat, ia menegaskan:
“Saya mengerti apakah
Paduka Tuan Ketua kehendaki Paduka Tuan minta dasar, minta philosophisce
grondslag... Dasar pertama yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia,
ialah dasar KEBANGSAAN. Kita mendirikan satu negara Kebangsaan Indonesia.
Tetapi saya minta kepada saudarasaudara, janganlah saudara-saudara salah faham,
jikalau saya katakan, bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar
KEBANGSAAN. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi
saya menghendaki satu nationale staat. Bangsa Indonesia, natie Indonesia,
bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan “le désir d’ètre
ensemble” di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau
Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia
yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah tinggal di kesatuannya
semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian!”
Persatuan
Indonesia atau kebangsaan Indonesia diilhami oleh kata-kata pujangga Empu
Tantular pada jaya-jayanya Majapahit dahulu, yang sekarang tercantum dalam
lambang negara; “Bhineka Tunggal Ika”: walaupun beraneka ragam adalah satu!
Indonesia memang terdiri atas bermacam-macam suku atau kelompok etnik: orang
Jawa, Timor, Madura, Batak, Aceh, Bali, Bugis dan seterusnya, masing-masing
dengan bahasa daerah, adat, kesenian, dan watak kebiasaan mereka masing-masing.
Terdapat bermacam-macam agama dan kepercayaan. Tetapi sukusuku atau
kelompok-kelompok etnik, yang selama berabad-abad telah mengalami nasib yang
sama, bertekad hendak bersatu. Bersama-sama sudah menderita dijajah oleh kaum
kolonialis; hasrat keinginannya hanya satu; tetap bersatu. Nasionalisme ini
tidak boleh menjadi satu chauvinisme.127 Oleh karena itu sila II ini tidak
boleh lepas dari sila III. Artinya, sila Kebangsaan atau Persatuan Indonesia
dijiwai oleh sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; kebangsaan yang ingin
berhubungan secara serasi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
·
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan
Sejak
dahulu, bahkan pada zaman Majapahit (1293-1517) orang mengenal adat kebiasaan
cara khusus mengadakan perundingan, yang disebut “musyawarah untuk mufakat”.
Cara melakukan segala sesuatu bersama di desa-desa Indonesia juga terungkap
dalam prosedur, yang ditempuh oleh para sesepuh dalam mengambil keputusan. Pada
umumnya di Nusantara orang mengenal musyawarah. Setiap anggota sidang dapat
berbicara, setiap orang berhak agar gagasannya didengarkan dan bahwa orang lain
juga harus memperhitungkannya. Setelah mengadakan pembicaraan,
timbang-menimbang maka akhirnya diambil keputusan. Dalam keputusan itu tak
tercantumkan keinginan siapa saja dan tak seorang pun boleh memaksakan kehendak
pribadinya. Dalam musyawarah dan memutuskan secara bersama - sama, kepala desa
memegang pimpinan. Keputusan terakhir disebut mufakat yaitu konsensus,
kesepakatan bersama.128 Jadi keputusan mufakat adalah langkah terakhir dari
musyawarah yang berlangsung lama. Pada waktu mempertimbangkan dan bersepakat
kepala desa tidak dibenarkan bertindak selaku pembesar dalam arti selaku orang
yang mendikte, akan tetapi sebagai kepala sosial suatu keluarag besar, seorang
bapak bagi seluruh persekutuan.
Cara
berunding musyawarah untuk mufakat ini dilaksanakan bukan hanya dalam rapat dan
rembug desa, tetapi juga dalam forum sidang MPR, DPR pusat sampai dengan DPRD
tingkat II. Musyawarah untuk mufakat merupakan suatu bentuk dan proses
berunding yang tidak mengenal adanya usaha untuk saling menghantam atau saling
menjebak dengan akal muslihat supaya akhirnya dapat tampil sebagai pemenang
yang unggul dalam perdebatan. Musyawarah untuk mufakat merupakan suatu metode
dengan tukar pikiran, menyumbangkan gagasan-gagasan berusaha untuk bersama-sama
dapat menemukan kebenaran dan kebaikan.
Dalam
musyawarah orang boleh saja adu argumentasi dan berdiskusi. Hal ini oleh
Sukarno dikemukakan juga ketika ia berbicara tentang asas musyawarah mufakat
dalam sidang paripurna BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 yang dikenal dengan
sebutan “Lahirnya Pancasila”:
“Dalam perwakilan, nanti
ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada suatu staat yang hidup betul-betul
jikalau dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah
Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya.”
Demokrasi
Indonesia memang tidak mengenal oposisi, dalam arti kelompok atau partai yang a
priori menentang pendirian orang yang sedang berkuasa. Tetapi perbedaan
pendapat mempunyai tempat dalam demokrasi Pancasila.129 Orang boleh saja
mengemukakan pendapat dan pendiriannya yang berbeda dengan pendapat orang yang
berkuasa, asal caranya menurut aturan permainan yang benar. Dalam perundingan
orang jangan menuruti emosinya atau jangan memaksakan kehendaknya sendiri,
melainkan supaya berbicara dengan bijaksana. Kebebasan memang dijunjung tinggi,
tetapi kebebasan yang bertanggung jawab.
·
Keadilan
Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
Di
dekat kota Palembang ada sebuah batu dengan prasasti “Kedukan Bukit” (683).
Menurut Prof. Muhammad Yamin batu itu merupakan peninggalan Gründungsakt
kerajaan Sriwijaya. Tulisannya berbunyi: “Marwuat wanua Sriwijaya jaya
siddhayatra subbiksa”. Oleh M. Yamin diterjemahkan: “Mereka mendirikan negara
Sriwijaya agar jaya sejahtera sentosa”. Jadi negara Sriwijaya didirikan bukan
untuk keagungan dinasti Syailendra, melainkan untuk kesejahteraan rakyatnya.130
Kata siddhayatra adalah “sejahtera” dalam bahasa Indonesia. Ideologi Pancasila
jelas bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya kesejahteraan rakyat. Prof.
Djojodiguno menulis:
“Kita ini rakyat yang
terikat secara sosial dan tradisional; kita masing-masing bertindak atau
bertingkah laku seperti semua orang lain, tiap orang bersifat komunal.”
Rumusan
inilah yang kemudian dijadikan dasar negara, hingga sekarang bahkan hingga
akhir perjalanan Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bertekad bahwa Pancasila
sebagai dasar negara tidak dapat dirubah oleh siapapun, termasuk oleh MPR hasil
pemilu. Jika merubah dasar negara Pancasila sama dengan membubarkan negara
hasil proklamasi (Tap MPRS No. XX/MPRS/1966).
2.2 Ideologi
Komunis
2.2.1
Pengertian
Ideologi Komunisme
Ideologi
komunis atau komunisme merupakan perlawanan besar pertama dalam abad ke-20
terhadap sistem ekomomi yang kapitalis dan liberal. Komunisme adalah sebuah
paham yang menekankan kepemilikan bersama atas alat-alat priduksi (tanah,
tenaga kerja, modal) yang bertujuan untuk tercapainya masyarakat yang makmur,
masyarakat komunis tanpa kelas dan semua orang sama. Komunisme ditandai dengan
prinsip sama rata sama rasa dalam bidang ekomomi dan sekularisme yang radikal
tatkala agama digantikan dengan ideologi komunias yang berseifat doktriner.
Jadi, menurut ideologi komunis, kepentingan-kepentingan individu tunduk kepada
kehendak partai, negara dan bangsa (kolektivisme).
2.2.2
Ciri-ciri Ideologi
Komunisme
·
Ajaran komunisme adalah sifatnya yang
ateis, tidak mengimani Allah. Orang komunis menganggap Tuhan tidak ada, kalau
ia berpikir Tuhan tidak ada. Akan tetapi, kalau ia berpikir Tuhan ada, jadilah
Tuhan ada. Maka, keberadaan Tuhan terserah kepada manusia.
·
Sifatnya yang kurang menghargai manusia
sebagai individu. terbukti dari ajarannya yang tidak memperbolehkan ia
menguasai alat-alat produksi.
·
Komunisme mengajarkan teori perjuangan
(pertentangan) kelas, misalnya proletariat melawan tuan tanah dan kapitalis.
·
Salah satu doktrin komunis adalah the
permanent atau continuous revolution (revolusi terus-menerus). Revolusi itu
menjalar ke seluruh dunia. Maka, komunisme sering disebut go international.
·
Komunisme memang memprogramkan tercapainya
masyarakat yang makmur, masyarakat komunis tanpa kelas, semua orang sama.
Namun, untuk menuju ke sana, ada fase diktator proletariat yang bertugas membersihkan kelas-kelas lawan komunisme,
khususnya tuan-tuan tanah yang bertentangan dengan demokrasi.
·
Dalam dunia politik, komunisme menganut
sistem politik satu partai, yaitu partai komunis. Maka, ada Partai Komunis Uni
Soviet, Partai Komunis Cina, PKI, dan Partai Komunis Vietnam, yang merupakan
satu-satunya partai di negara bersangkutan. Jadi, di negara komunis tidak ada
partai oposisi. Jadi, komunisme itu pada dasarnya tidak menghormati HAM.
No |
Komunisme |
Pancasila |
Liberalisme |
1. |
Atheis |
Monotheisme |
Sekuler |
2. |
HAM diabaikan |
HAM dilindungi tanpa melupakan kewajiban asasi |
HAM dijunjung secara mutlak |
3. |
Nasionalisme ditolak |
Nasionalisme dijunjung tinggi |
Nasionalisme diabaikan |
4. |
Keputusan ditangan pimpinan partai |
Keputusan melalui musyawarah mufakat dan voting
(pemungutan suara) |
Keputusan melalui voting (pemungutan suara) |
5. |
Dominasi partai |
Tidak ada dominasi |
Dominsi mayoritas |
6. |
Tidak ada oposisi |
Ada oposisi dengan alasan |
Ada oposisi |
7. |
Tidak ada perbedaan |
Ada perbedaan pendapat-pendapat |
Ada perbedaan pendapat |
8. |
Kepentingan negara-negara |
Kepentingan seluruh rakyat |
Kepentingan mayoritas |
2.3 Ideologi Sosialisme
2.3.1
Pengertian
sosialisme
Istilah
sosialisme pertama kali muncul di Perancis sekitar tahun 1830, yakni adanya
keinginan agar alat-alat produksi dimiliki secara bersama untuk melayani semua
kebutuhan masyarakat, bukan monopoli atas kaum kapitalis. Sosialisme atau sosialism
(Inggris) secara etimologi berasal dari bahasa Perancis, yaitu berarti
kemasyarakatan. Dalam arti di atas ada empat macam aliran yang dinamakan
sosialisme: pertama, sosial demokrasi; kedua, komunisme; ketiga
anarkhisme; dan keempat sindikalisme
(Elisa,2009).
Sosial Demokrat : Sosial demokrat merupakan gerakan
sosialisme yang semula berdasarkan Marxisme. Sejak timbulnya revisionisme yang
dikemukan oleh Edward Bernstein (1850-1932) dan dipertahankan oleh Karl J.
Kautsky (1854-1938), kemudian gerakan ini semakin melepaskan ajaran Marx yang
bercorak revolusioner. Sosial demokrat berpegang teguh pada asas demokrasi dan
menentang diktatur kaum proletariat yang ada pada komunisme. Menurut penganut
sosial demokrat, masyarakat harus dikepalai oleh satu pemerintah yang dipilih
bersama-sama secara demokratis, tidak hanya pada lingkup politik tetapi
termasuk di bidang ekonomi karena semua proses dalam sebuah negara tidak dapat
dilepaskan dari diperlukannya ketertiban ekonomi.
Menurut
asas sosial demokrat klasik, assosiasi-assosiasi sukarelawan di luar negara
cenderung dicurigai dan dianggap keburukannya lebih banyak dibandingkan
kebaikannya. Asosiasi-asosiasi sukarelawan cenderung tidak professional,
serampangan, serta merendahkan pihak yang berhubungan dengannya. Dalam
perkembangannya, sosial demokrat klasik direvisi oleh Anthony Giddens dengan
"Jalan Ketiga" (demokrasi sosial), berusaha mempertahankan inti
kepedulian pada keadilan sosial dan lepas dari sekedar perbedaan antara aliran
"kiri" maupun "kanan". Persamaan dan kebebasan individual
bagi Giddens memang bertentangan, namun langkah-langkah egaliter dapat
memperluas serta membuka rentang kebebasan setiap individu. Kebebasan dalam
aliran ini berarti adanya otonomi atas tindakan yang dilakukan manusia disertai
tuntutan keterlibatan komunitas sosial yang lebih luas. Lebih jelasnya dapat
dilihat dari mottonya: tak ada hak tanpa tanggung jawab dan tak ada otoritas
tanpa demokrasi.
·
Perbedaaan
sosialisme dgn komunisme (Marx) :
Sosialisme
merupakan sebuah masyarakat yang langsung timbul dari kapitalisme sebagai
bentuk pertama dari masyarakat baru dan dalam kerjanya tidak menerima bantuan
dari kapitalisme, termasuk hal yang bersifat sosial. Sedangkan komunisme adalah
masyarakat yang lebih tinggi, di mana hanya dapat berkembang jika sosialisme
mempunyai kedudukan yang kuat. Apabila dalam masyarakat sosialis penghisapan
manusia atas manusia lainnya sudah berakhir, alat-alat produksi dimiliki
sepenuhnya oleh kaum buruh, serta setiap manusia memberi menurut kemampuaannya
dan menerima sesuai dengan bobot pekerjaannya sebagi wujud usahanya untuk
menwujudkan masyarakat tanpa kelas; tidak ada kelas yang menghisap dan dihisap.
Sedangkan pada masyarakat komunis, setia manusia memberi menurut kemampuannya
dan menerima sesuai dengan kebutuhannya.
2.3.2
Prinsip Dasar
Sosialisme
Menurut
Elisa (2009), Walaupun banyak terdapat aliran atau pengertian sosialisme,
tetapi ada sejumlah prinsip dasar dari sosialisme itu sendiri, yaitu :
1. Semua
bentuk Marxisme dapat diketegorikan sosialisme, tetapi tidak sebaliknya.
2. Meskipun
tidak mudah merumuskan dengan persis apa itu sosialisme, paling tidak ada dua
hal yang mempersatukan segala macam aliran revolusioner, egalitarian, anarkis,
utopis, reformis, teknokrat, religius, dan sebagainya itu yang dinamakan
dirinya sosialis.
3. Keyakinan
etis bahwa perekonomian harus diarahkan pada kesejahteraan segenap orang, bukan
untuk keuntungan segelintir orang.
4. Sumber
ketidakadilan sosial adalah hak milik pribadi (atas alat-alat produksi).
5. .
Sosialisme adalah cita-cita etis tentang masyarakat yang solider dan tuntutan
penghapusan hak milik pribadi .
2.3.3
Konsep Tokoh
Sosialisme
Sosialisme Karl Marx.
Cita-cita
kolektivitas, kepemilikan bersama, atau apa yang dikenal saat ini dengan nama
sosialisme kurang lebih di abad ke-5 SM sebenarnya sudah ada sebagaimana
dideskripsikan oleh Jambulos, yakni adanya sebuah "negeri matahari"
di mana disana segala-galanya dimiliki bersama, tak terkecuali para istri.
Secara historis, pelbagai aliran sosialis sering dikaitkan ke era sebelum Karl
Marx (18181883), bahkan kepada filosof yunani kuno, Plato (427-347).
Jauh
sebelum Marx mengembangkan dan menjadikan sebagai cita-cita perjuangan menuju
revolusi proletariat. Tokoh yang dapat dianggap pioneer dari cita-cita
sosialisme secara sistematis dapat dirujukkan kepada Francois-Noel Babeuf
(1760-1797). Kemudian Saint Simon (1760), Auguste Blanqui (1805-1881), Weitling
(1808-1871) Pierre-Joseph Proudhon (1809-1865), Louis Blane (1811-1882), Moses
Hess (1812-1875).
Dalam
Sosialisme Karl Marx, paling tidak ada 3 (tiga) pemikiran yang mempengaruhi
Karl Marx, yaitu ajaran Hegel, filsafat materialisme Feuerbach, dan teori
revolusioner Perancis (terutama gagasan-gagasan para sosialisme utopis)
Ajaran G.W.F Hegel (1770-1831)
: Metode untuk mendekati, memahami, dan mempelajari gejala alam, Marx mengambil
dari materialisme, dialektika Hegel. Materialisme dialeketika Hegel menjadi
inspirasi materialisme dialektika Marx yang dikembangkan menjadi materialisme
historis sebagai puncak prestasi ilmiahnya. Bagi Hegel, alam adalah proses mengelar
pikiran-pikiran yang menimbulkan proses alam, sejarah manusia, organisme, dan
kelembagaan masyarakat. Materi baginya kurang rill dibandingkan jiwa. Pikiran
atau jiwa menurut Hegel esensi alam. Marx menolak idealisme Hegel tersebut
dengan membalikkan filsafatnya dan mengatakan materi pokok dari alam, bukan
jiwa atau pikiran. Pada organisasi ekonomi masyarakat misalnya, disini jelas
menurut Marx bahwa cara-cara produksi (materi) menentukan kelembagaan politik
dan sosial yang ada.
Dalam
dialektika Hegel, dunia berada pada sebuah proses perkembangan atau perubahan
yang bersifat dialektika. Perubahan-perubahan tersebut berlangsung melalui
tahap afirmasi (tesis), pengingkaran (anti tesis), dan akhirnya sampai pada
tahap integrasi (sintesis). Marx kemudian menggagas materialis dialektikanya
berdasarkan materi dari materialisme dialektika Hegel. Jika bagi Hegel dan kaum
idealis pada umumnya alam merupakan buah hasil dari roh, sedangkan bagi Marx
dan Engels semua yang bersifat rohani merupakan hasil dari materi.
Bagi
Marx, kekuatan material (modal) menentukan dalam masyarakat, termasuk
perkembangan evolusi serta fenomena lain, onorganik, organic atau manusia;
kebiasaan dan tradisi politik, sosial dan agama. Yang menentukan sejarah
menurut Marx adalah produksi dan kelahiran manusia. Keterpesonaan terhadap
filsafat Hegel, Marx kemudian mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang
mengerakkan bagaimana membebaskan manusia dari penindasan sistem politik
reaksioner.
Secara
filosofis, rakitan dari materialisme dialektika Hegel tersebut ditemukan
persepsi yang sama pada literatur kaum Marxist, yaitu ada tiga dalil (1) dalil
perubahan pada kuantitas dapat menimbulkan perubahan kualitas, (2) dalil
kesatuan dan pertentangan dari lawannya, atau hukum kontradiksi yang lazim
disebut dengan hukum "interpenetration of opposities", kelanjutan
bagian dari dalil pertama sebelumnya, dan (3) pengingkaran terhadap
pengingkaran (the law of the negation of negation).
Ludwig Feuerbach
: Pemikiran Marx semakin berkembang setelah berkenatan dengan filsafat klasik
Jerman, yaitu materialisme Ludwig Feuerbach. Menurut Feuerbach, manusia
merupakan sesuatu yang abstrak. Adapun gagasan menurut Feuerbach adalah
"renungan" dari "kenyataan material" yang menentukan kegiatan
manusia.
Menurut
Marx, dengan memposisikan manusia sebagai yang abstrak, Feuerbach tidak hanya
menurunkan manusia menjadi orang saleh tetapi juga gagal melihat bahwa hal itu
sendiri merupakan produk sosial. Filsafat Feuerbach berhenti pada menempatkan
gagasan sebagai renungan dari kenyataan material, padahal antara kesadaran dan
praksis manusia terdapat suatu hubungan timbal batik. Ketika Feuerbach
memperlakukan "kenyataan materil" sebagai yang menentukan kegiatan
manusia, Feurbach menurut Marx tidak melakukan analisis modifikasi dunia
"obyektif dan subyektif yaitu terhadap kegiatan manusia.
Revolusi Perancis
: Kendatipun Marx banyak mengkritik materialisme Feuerbach, namun
dipertahankannya (juga Engels) dan dijadikan teori filsafatnya. Ketika
menjelaskan hal-hal yang rohani dari jasmani serta mencurahkan segala perhatian
kepada pembebasan manusia dari keterasingan dirinya sendiri, antara Marx dengan
Feuerbach tidak terdapat perbedaan. Akan tetapi Marx tidak hanya sampai di situ
ia kemudian melacak asal keterasingan tersebut hingga menemukannya setelah
berjumpa dengan kaum sosialis radikal di Paris, yaitu berlangsung dalam proses
pekerjaan manusia. Menurut Marx, masyarakat sosialis akan segera terwujud dalam
masyarakat yang menganut sistem Kapitalisme. Sejak abad ke-19, ideologi
kapitalismeliberalisme sebenarnya telah popular sebagaimana pertama tumbuh dan
berkembang di Amerika dan hampir di semua negara Eropa Barat.
Kapitalisme
sendiri memiliki karakteristik antara lain pekerjaan yang seharusnya sebagai
wujud perealisasian diri menjadi de-realisasi diri, manusia tidak memiliki
kebebasan dalam melakukan pekerjaannya, sehingga "kehilangan dirinya
sendiri", dan manusia berada di bawah kekuasaan kekuatan obyektif asing
(kekuasaan, sosial, dan politik), Oleh karena itu, menurut Marx, manusia hanya
dapat dibebaskan dari jerat kapitalisme, bila hak milik pribadi atas alat-alat
produksi dihapus melalui revolusi kaum buruh. Inilah yang merupakan substansi
dari sosialisme klasik.
Dalam
sosialisme klasik ini, Karl Marx mengemukakan bahwa untuk mencapai masyarakat
komunis tanpa klas, dapat dicapai melalui 5 (lima) tahap dalam Sistem Produksi,
yaitu :
1. Sistem
komunisme primitive sebagai tingkatan ekonomi awal yang bercirikan, kepemilikan
secara kolektif. Pada tahap ini teknologi belum ada dan masyarakat hidup damai.
2. Sistem
produksi kuno yang didasarkan atas perbudakan serta bercirikan telah lahirnya hak milik pribadi. Disinilah sistem
pertanian dan pengembalaan menggantikan perburuan sebagai sarana hidup.
Akibatnya, ketika kelompok minoritas mengusasi sarana hidup, maka pertarungan
kepentinganpun mulai timbul.
3. Tahap
dimana kelompok-kelompok feodal sudah menguasai penduduk. Seluruh kelebihan
hasil yang dimiliki penduduk dikuasai oleh para feudal. Masyarakat hanya dapat
hidup secara sangat sederhana.
4. Lahir
sistem borjuis/kapitalis dengan ciri meningkatnya perdagangan, produksi, dan
pembagian kerja. Sistem pabrik ini akhirnya melahirkan industrialis kapitalis yang menjadi sebagai pemilik modal
sekaligus pengontrol alat-alat produksi.
5. Sistem
sosialisme.
Argumen
yang diajukan Karl Marx terhadap tahap-tahap tersebut yang dilalui melalui
revolusi sosial adalah :
1. Berdasarkan
hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat, pilihan revolusi kaum buruh
merupakan kesimpulan yang tidak terelakkan (sosilisme ilmiah: tidak hanya
bersandar dan didorong oleh cita-cita moral, tetapi juga berdasarkan
pengetahuan ilmiah tentang hukum-hukum perkembangan masyarakat.
2. Manusia
tidak akan dapat mengembangkan dirinya secara utuh karena terpecah ke dalam
kelas-kelas sosial. Penyebab keterpecahan tersebut adalah sistem struktur,
bukan sekadar masalah kehendak buruk sekelompok orang yang membeku dalam modal
dengan hukum-hukum yang menguasainya. (sistem kapitalis).
3. Bukan
kesadaran sosial yang menentukan keadaan sosial, tapi sebaliknya. Adapun factor
determinannya adalah produksi, sebab keadaan ekonomi seseorang sangat
menentukan cara pandangnya terhadap persoalan-persoalan hidupnya.
Menurut
Karl Marx, ada 2 (dua) tingkatan revolusi dalam masyarakat yang terdiri dari :
1. Tingkatan
peralihan, yaitu periode kediktatoran dari kaum proletar. Di masa ini orang
mengadakan perubahan yang revolusioner. Kelas - kelas di dalam masyarakat
hilang dengan sendirinya seiring dihilangkannya hak milik pribadi atas sarana
produksi, distribusi, dan pertukaran.
2. Tingkat
kedua adalah tingkat kelima atau tipe terakhir dari sistem produksi, yaitu
terciptanya "masyarakat tanpa kelas" atau komunisme murni. Alat-alat
produksi telah manjadi milik masyarakat, yaitu negara, di mana sejarah umat
manusia telah ditutup dengan suatu negara bahagia, sintesa dari dua zaman
sebelumnya yaitu sosilisme (tesa) dan kapitalisme (antitesa).
Menurut
Septyo (2008), kapitalisme dan sosialisme dibentuk di atas landasan nilai
(value) yang samayaitu matrealisme-hedonisme yaitu segala kegiatan manusia
dilatar belakangi dan dipresentasikan kepada sesuatu yang bersifat duniawi, dan
dibangun di atas pandangandunia yang sekuler yaitu memisahkan hal-hal yang
bersifat spiritual dan material (agamadengan dunia). Sosialisme bahkan memiliki
pandangan yang negatif terhadap agama.Menurut meraka agama adalah sesuatu yang
tidak realistis, berwujud material. Bahkanagama sesungguhnya adalah rekayasa
kelompok yang berkuasa untuk memperkokohkepentingan mereka sendiri. Salah satu
ungkapan Marx yang popular adalah ;”Kritikterhadap agama adalah syarat yang
pertama atas segala kritik” (Hendrie Anto, 2003: 356)dan Marx sendiri memandang
agama adalah sebagai candu bagi rakyat, jika terhadapTuhan saja mereka
berpendirian begitu kejamnya apalagi terhadap agama. (AbdullahZakiy, 2002: 51).
Seiring
dengan perkembangan kapitalisme di Eropa barat dan Amerika, dibelahan dunia
lain (Rusia, China dan Eropa Timur) juga berkembang sosialisme, padaabad ke-19,
di mana orang-orang sosialis mati-matian memerangi pandangan alirankapitalis
yang memakai sistem liberalis. Aliran ini disebut sistem Ekonomi
Sosialis.Munculnya sosialisme ini adalah akibat kezaliman yang diderita oleh
masyarakat karenasistem ekonomi kapitalis serta berbagai kekeliruan yang
terjadi didalamnya. Merekamelihat bahwa kezaliman ini terjadi karena tidak
meratanya kepemilikan individu diantara manusia. Oleh karena itu, mereka
berpendapat perlunya persamaan secara riildalam kepemilikan.
Mazhab
sosialis ini berpendapat bahwa terjadinya kezaliman akibat adanya (hak)kepemilikan,
sehingga hak kepemilikan harus dihapus, baik secara mutlak (sosialismekomunis)
atau hanya penghapusan kepemilikan terhadap kekayaan produktif, yang
biasadisebut kapital, seperti tanah, pabrik, lintasan kereta api, pertambangan,
dan lainnya.Artinya, seseorang dilarang memiliki secara individu setiap barang
yang mengahasilkansesuatu. Tidak boleh memiliki rumah untuk disewakan, begitu
juga dengan pabrik, tanahdan sebagainya. Namun mereka memberikan kepemilikan
kepada individu terkait denganbarang-barang konsumsi (consumer goods) seperti
mobil untuk dipakai sendiri, tidakboleh disewakan. Tanah boleh dimiliki jika
hasil pertanian tersebut untuk dikonsumsisendiri. Ini adalah doktrin sosialis
kapitalis. Doktrin ini diterapkan di Rusia menurutkonsep Karl Marx (1818-1883)
dalam bukunya ‘Das Capital’ tahun 1848, yangditerapkan kemudian oleh Nikolai
Lenin dan Joseph Stalin lalu Nikita Khrushchev.Mengenai kapitalis dan
sosialisme ini, Nabhani mengatkan : “Sosialisme ini semuanyarusak, dan telah
ditinggalkan Negara-negara penganutnya, Rusia telah runtuh, Jerman Timur
(sekarang Jerman) akan kembali menerapkan sistem kapitalis, meninggalkansistem
sosialis. Sistem ekonomi sosialis, termasuk di antarnya komunisme,
mempunyaipandangan yang bertolak belakang dengan sistem ekonomi kapitalis” (Gus
Fahmi, 2002:47-48 dalam Septyo 2008).
Sosialisme
sebagai falsafah hidup yang mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan
individu, sama tuanya dengan aliran klasik bahkan lebih tua lagi.Tetapi kalau
yang dimaksudkan sosialisme yang mendasarkan suatu doktrin ekonomiserta politik
tertentu maka tidak lain yang dimaksudkan ialah sistem ekonomi sosialis.Seperti
dikemukakan oleh Jakob Oser bahwa aliran ini adalah aliran yang
menentangprinsip-prinsip ekonomi klasik yaitu: menolak ide laissef dan menolak
adanya pernyataanbahwa akan terjadi kepentingan yang harmonis di antara
kelas-kelas yang berbeda. Disamping itu aliran ini menjadi pembela dan pelopor
tindakan-tindakan yang mengarahpada kepemilikan perusahaan yang bersifat publik
untuk memperbaiki kondisimasnyarakat, pemilikan ini bisa diselenggarakan oleh
pemerintah pusat ataupunpemerintah daerah atau perusahaan yang bersifat
koperatif.
2.4
Ideologi
Liberalisme
2.4.1
Sejarah ideologi
Liberal
Paradigma
Liberalisme merupakan salah satu paradigma dalam studi Ilmu Hubungan
Internasional selain realisme. Pada awal perkembangannya, banyak pemikir yang
mengidentifikasi liberalisme cenderung kepada sebuah ideologi politik dan
ekonomi dengan prinsip penting yaitu akan pentingnya kebebasan individu dan hubungan yang damai serta
teratur antar individu.25 Beberapa tokoh yang mengemukakan ide mengenai
konsep-konsep liberalisme klasik pada abad ke-17 dan 18 adalah Imamnuel Kant,
John Locke, Adam Smith dan Thomas Jefferson.26 Akan tetapi, salah satu tokoh
yang menjadi dasar dalam pemikiran mengenai liberalisme dalam segi politik
adalah Immanuel Kant. Pada tahun 1795, ia menulis essay yang berjudul
‗Perpetual Peace‟. Dari essay tersebut, pemikiran Kant kemudian berkembang dan
mempengaruhi perkembangan apa yang disebut dengan liberalisme dalam ilmu
Hubungan Internasional saat ini (Avianto,2013).
Inti
dari pemikiran Kant adalah dunia yang menghormati konstitusi dan bisa membangun
'perdamaian abadi' di dunia. Untuk mencapai perdamaian tersebut, dibutuhkan
perwakilan demokrasi dari semua negara, adanya hukum internasional, dan
pergerakan manusia dan perdagangan yang bebas. Kant menekankan liberalisme pada
kemajuan, perkembangan dan perdamaian abadi. Pemikiran-pemikiran Kant tersebut
kemudian berkembang dan dipakai oleh Woodrow Wilson pada pasca Perang Dunia
Pertama. Hal tersebut kemudian menjadi salah satu pemikiran liberal yang
pertama kali dalam dalam studi Ilmu Hubungan Internasional. Wilson berpendapat
bahwa penyebab terjadinya ketidakstabilan dan konflik adalah ―undemocratic nature of international
politics‖.
Inti
dari pemikiran Kant adalah dunia yang menghormati konstitusi dan bisa membangun
'perdamaian abadi' di dunia. Untuk mencapai perdamaian tersebut, dibutuhkan
perwakilan demokrasi dari semua negara, adanya hukum internasional, dan
pergerakan manusia dan perdagangan yang bebas. Kant menekankan liberalisme pada
kemajuan, perkembangan dan perdamaian abadi. Pemikiran-pemikiran Kant tersebut
kemudian berkembang dan dipakai oleh Woodrow Wilson pada pasca Perang Dunia
Pertama. Hal tersebut kemudian menjadi salah satu pemikiran liberal yang
pertama kali dalam dalam studi Ilmu Hubungan Internasional. Wilson berpendapat
bahwa penyebab terjadinya ketidakstabilan dan konflik adalah ―undemocratic
nature of international politics‖.28 Ide tentang bagaimana dunia harus
berkembang yang tampaknya telah terinspirasi oleh Immanuel Kant ‘Perpetual
Peace‘. Kant menyarankan bahwa ketika negara menjadi republik dan warga negara
mereka diberi kesempatan untuk membuat keputusan, mereka cenderung memilih
untuk tidak berperang, karena itu adalah mungkin untuk berpendapat bahwa
sebagai negara lebih menjadi republik dan demokrasi menyebar maka kemungkinan
perang antara negara menjadi lebih kecil sampai akhirnya semua bangsa melihat
perang sebagai kemenangan tidak rasional dan perdamaian atas konflik.
2.4.2
Prinsip Ideologi
Liberalis
Menurut
Avianto (2013), liberalisme memiliki pandangan positif terhadap sifat dasar
manusia. Individu bisa mengendalikan dirinya, sehingga untuk mencapai kepentingannya
individu akan saling bekerja sama tanpa perlu terlibat dalam konflik. Kerja
sama yang dilakukan akan memberikan kemajuan bagi kualitas individu itu
sendiri. Kaum liberalis sangat percaya bahwa konflik dan
kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dapat disatukan dengan cara saling
berkomunikasi atau adanya pertukaran informasi yang jelas. Dengan saling
berkomunikasi tersebut, dapat menciptakan tatanan sosial, politik, dan ekonomi
untuk menguntungkan semua orang dan menjamin kebebasan individu dan material
economic prosperity. Sehingga dapat dikatakan bahwa liberalisme memandang
hubungan internasional lebih bersifat kooperatif yang memungkinkan adanya
kerjasama, bukanlah cenderung konfliktual.
Menurut
Hosang (2011), liberalisme memandang kooperasi sebagai suatu hal yang penting
dandiperlukan. Hal ini bila dipadukan dengan pendekatan pilhan rasional
akanmembentuk sebuah premis ‘tujuan akan lebih mudah dan lebih baik
dicapaibersama-sama daripada dilakukan sendiri’. Pendekatan seperti itulah
yangkemudian mendasari analisis APSC melalui teori neoliberal
institusionalismedengan pendekatan pilihan rasional. Jadi, pertama-tama akan
dikaji apakah benarbahwa APSC merupakan pilihan rasional bila dibandingkan
dengan usaha soliter masing-masing negara atau entitas collective defense.
Negara
bukanlah satu-satunya aktor dalam hubungan internasional
Dalam
liberalisme, aktor non-negara merupakan aktor yang juga ikut diperhitungkan
dalam hubungan internasional. Aktor non-negara tersebut bisa berupa individu,
kelompok kepentingan, perusahaan multinasional, ataupun organisasi baik itu
bersifat kepemerintahan maupun non-pemerintah. Hal ini tentunya berawal dari
asumsi liberal secara umum bahwa terdapat hak-hak tertentu dalam tiap individu.
Aktor negara maupun aktor non-negara bisa saling melengkapi dan mendukung satu
dengan yang lainnya. Selain itu, liberalis juga tidak menganggap bahwa negara
sebagai satu entitas yang satu utuh. Maksudnya disini adalah terdapat level
domestik yang juga ikut berpengaruh dalam proses pengambilan kebijakan suatu
negara. Hal ini tentu bertolak belakang dengan asumsi realisme yang hanya
menganggap adanya satu suara saja (yaitu suara pemerintah) yang mewakili suara
negara. Dengan demikian aktor non-negara dalam suatu negara juga turut berperan
di sini.
Liberalisme
menginginkan perubahan ke arah yang positif
Asumsi
ini didasari oleh kepercayaan bahwa setiap manusia itu pada dasarnya mempunyai
pandangan yang positif atau progresif. Pandangan progresif tersebut dalam
artian bahwa ada kemungkinan untuk mencapai perubahan yang positif dalam
hubungan internasional. Dengan kondisi seperti ini, maka secara rasional,
manusia atau yang dalam hal ini negara akan memikirkan kebijakan yang rasional
dengan cost yang paling minim. Karena perang dan konflik bukanlah kondisi yang
ideal dan akan memakan biaya yang sangat besar, maka tentunya kaum liberal akan
menghindari hal ini. Sebagai gantinya, kaum liberal memandang bahwa dengan
adanya kerjasama maka akan lebih menguntungkan satu dengan yang lainnya. Akan
tetapi, yang dimaksud dengan ‗ideal‘ di sini bukanlah kondis ideal yang
sesempurna kaum utopis yang terdapat perdamaian abadi dan tidak adanya konflik.
Adanya
ketergantungan dan keterkaitan antar-negara
Liberalis
tidak menganggap adanya perbedaan antara High Politics dan Low Politics dalam
isu hubungan internasional. Hal ini bertentangan dengan pandangan realis yang
menganggap bahwa hanya isu keamanan saja yang penting dalam hubungan
internasional. Isu ekonomi merupakan salah satu isu yang penting. Kaum liberal
percaya bahwa meskipun kondisi dunia internasional itu anarki, akan tetapi
sebenarnya setiap negara itu saling membutuhkan satu sama lain terutama
kebutuhan komoditas perekonomian masyarakat tiap negara. Konsekuensi dari
keadaan ini adalah adanya ketergantungan. Untuk mengatasi adanya ketergantungan
tersebut, maka kerjasama merupakan pilihan yang paling rasional.
2.5 Ideologi Fasisme
2.5.1
Sejarah Ideologi Fasisme
Fasisme adalah sebuah gerakan politik
penindasan yang pertama kali berkembang di Italia setelah tahun 1919 dan
kemudian di berbagai negara di Eropa, sebagai reaksi atas perubahan sosial
politik akibat Perang Dunia I. Nama fasisme berasal dari kata Latin ‘fasces’, artinya kumpulan tangkai yang
diikatkan kepada sebuah kapak, yang melambangkan pemerintahan di Romawi kuno.
Istilah “fasisme” pertama kali digunakan
di Italia oleh pemerintahan yang berkuasa tahun 1922-1924 pimpinan Benito
Mussolini dan gambar tangkai-tangkai yang diikatkan pada kapak menjadi lambang
partai fasis pertama. Setelah Italia, pemerintahan fasis kemudian berkuasa di
Jerman dari 1933 hingga 1945, dan di Spanyol dari 1939 hingga 1975. Setelah
Perang Dunia II, rezim-rezim diktatoris yang muncul di Amerika Selatan dan
negara-negara belum berkembang lain umumnya digambarkan sebagai fasis.
Untuk memahami falsafah fasisme, kita
dapat cermati deskripsi yang ditulis Mussolini untuk Ensiklopedi Italia pada
tahun 1932:
“Fasisme, semakin ia mempertimbangkan dan
mengamati masa depan dan perkembangan kemanusiaan secara terpisah dari berbagai
pertimbangan politis saat ini, semakin ia tidak mempercayai kemungkinan ataupun
manfaat dari perdamaian yang abadi. Dengan begitu ia tak mengakui doktrin
Pasifisme – yang lahir dari penolakan atas perjuangan dan suatu tindakan
pengecut di hadapan pengorbanan. Peranglah satu-satunya yang akan membawa
seluruh energi manusia ke tingkatnya yang tertinggi dan membubuhkan cap
kebangsawanan kepada orang-orang yang berani menghadapinya. Semua percobaan
lain adalah cadangan, yang tidak akan pernah benar-benar menempatkan manusia ke
dalam posisi di mana mereka harus membuat keputusan besar–pilihan antara hidup
atau mati…. (Kaum Fasis) memahami hidup sebagai tugas dan perjuangan dan
penaklukan, tetapi di atas semua untuk orang lain–mereka yang bersama dan
mereka yang jauh, yang sejaman, dan mereka yang akan datang setelahnya.”
Garis pemikiran serupa diungkapkan oleh
Vladimir Jabotinsky, yang dikenal luas sebagai wakil terpenting Yahudi Zionis,
dan pendukung hak radikal Israel, yang menyimpulkan ideologi fasistik dalam
pernyataannya pada tahun 1930-an:
“Sangatlah bodoh orang yang mempercayai
tetangganya, sebaik dan sepenuh kasih apa pun tetangga itu. Keadilan hanya ada
bagi orang-orang yang memungkinkannya terwujud dengan kepalan tangan dan sikap
keras kepala mereka…. Jangan mempercayai siapa pun, senantiasa berhati-hatilah,
bawalah selalu tongkatmu—inilah satu-satunya jalan untuk bertahan hidup dalam
pertarungan bagai serigala antara semua melawan semua ini.”
Ciri lainnya untuk diingat adalah bahwa
fasisme merupakan ideologi nasionalistik dan agresif yang didasarkan pada
rasisme. Nasionalisme semacam ini sama sekali berbeda dari sekadar kecintaan
pada negara. Dalam nasionalisme agresif pada fasisme, seseorang mencita-citakan
bangsanya menguasai bangsa-bangsa lain, menghinakan mereka, dan tidak menyesali
timbulnya penderitaan hebat terhadap rakyatnya sendiri dalam prosesnya. Selain
itu, nasionalisme fasistik menggunakan peperangan, pendudukan, pembantaian, dan
pertumpahan darah sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politis tersebut.
Sebagaimana halnya yang mereka lakukan
untuk menguasai bangsa-bangsa lain, rezim fasis juga menggunakan kekuatan dan
penindasan terhadap bangsa mereka sendiri. Dasar kebijakan sosial fasisme
adalah pemaksaan gagasan, dan keharusan rakyat menerimanya. Fasisme bertujuan
membuat individu dan masyarakat berpikir dan bertindak seragam. Untuk mencapai
tujuan ini, fasisme menggunakan kekuatan dan kekerasan bersama semua metode
propaganda. Fasisme menyatakan siapa pun yang tidak mengikuti
gagasan-gagasannya sebagai musuh, bahkan sampai melakukan genocide (pemusnahan
secara teratur terhadap suatu golongan atau bangsa), seperti dalam kasus Nazi
Jerman.
Prinsip
mendasar di balik fasisme masa kini adalah Darwinisme, yang dimunculkan
seakan-akan suatu teori ilmiah meski tidaklah demikian adanya. Namun,
Darwinisme, yang menyatakan klaim-klaim seperti “manusia adalah hewan yang telah berkembang sempurna”, “beberapa ras telah tertinggal dalam proses
evolusi”, dan “melalui seleksi alam, yang kuat akan bertahan dan yang lemah
tersingkir”, telah menjadi sumber bagi banyak ideologi berbahaya sepanjang
abad ke-20, terutama fasisme.
2.5.2
Fasisme di Abad
Ke-20
Segera setelah akhir Perang Dunia I, rezim
fasis pertama di abad ke-20 dibangun di Italia oleh Benito Mussolini. Ia
diikuti oleh Hitler di Jerman dan Franco di Spanyol. Pada tahun 1930-an,
fasisme menjadi sebuah ideologi politik yang populer, partai-partai fasis baik
besar ataupun kecil didirikan di banyak negara, dan kaum fasis berkuasa di
Austria dan Polandia, sehingga seluruh Eropa dipengaruhi oleh fasisme.
Ada banyak kesamaan antara fasisme di
Eropa, di mana contoh fasisme yang paling jelas terlihat, dengan fasisme di
Amerika Latin dan Jepang, yang gerakannya juga mengakar dan tumbuh subur.
Secara umum, fasisme memanfaatkan kondisi kekacauan dan ketidakstabilan dalam
sebuah negara untuk menunjukkan diri kepada rakyat sebagai ideologi penyelamat.
Begitu pemerintahan fasis terbentuk, rakyat dikendalikan dengan kombinasi
ketakutan, penindasan, dan teknik-teknik cuci otak.
Krisis Sosial: Lahan
Subur bagi Fasisme
Pada
dasarnya, kemiskinan Italia akibat perang Dunia I adalah faktor terpenting
dalam perkembangan kekuasaan fasisme. Lebih dari 600.000 orang Italia tewas
akibat perang itu, dan hampir setengah juta orang menjadi cacat. Bagian
terbesar dari populasi terdiri dari para janda yatim piatu. Negara itu tertekan
oleh resesi ekonomi dan angka pengangguran yang tinggi. Walau bangsa Italia
menderita kerugian besar dalam perang, mereka hanya mencapai sebagian kecil
dari tujuan mereka. Seperti halnya negara-negara lain yang lelah akibat perang,
bangsa Italia merindukan untuk memiliki kembali kehormatan dan keagungan mereka
sebelumnya.
Sebenarnya,
ini adalah sentimen yang telah membangun kekuatan sejak akhir abad ke-19.
Italia modern bernostalgia dengan kebesaran Kekaisaran Romawi, dan merasa
berhak atas wilayah Romawi dahulu. Lagi pula, Italia merasa bersaing dengan
kekuatan-kekuatan utama di dunia dan berharap untuk mengangkat dirinya ke
kedudukan mereka, atau, ke "posisi yang selayaknya". Karena pengaruh
cita-cita ini, bangsa Italia berharap untuk menjadi sekuat Inggris Raya,
Prancis dan Jerman.
Krisis
sosial, politik, dan ekonomi juga berperan penting dalam pembentukan Nazisme di
Jerman, yang telah kalah dalam Perang Dunia I. Pengangguran dan krisis keuangan
menambah kekecewaan akibat kekalahan itu. Inflasi meningkat hingga tingkat yang
jarang dapat disamai. Anak-anak kecil bermain dengan uang kertas bernilai
jutaan mark, karena uang, yang merosot nilainya dalam hitungan jam, menjadi tak
lebih dari selembar kertas nilainya. Bangsa Jerman ingin memulihkan harga diri
mereka yang hilang dan kembali ke taraf hidup yang lebih baik. Dengan janji
untuk memenuhi harapan-harapan seperti ini, Nazisme muncul dan memperoleh
dukungan.
Negara
lain yang sangat dipengaruhi oleh fasisme adalah Jepang. Pada masa Jepang
pra-fasis, lapisan masyarakat yang lebih tinggi sangat kuatir dengan
perkembangan Marxisme di kalangan anak muda. Tetapi mereka tak mampu menentukan
bagaimana menyingkirkan ideologi yang merusak itu. Selain itu,
perubahan-perubahan sosial seperti itu sangat membingungkan bagi masyarakat
yang begitu terikat dengan tradisinya. Ikatan kekeluargaan melonggar, angka
perceraian meningkat, rasa hormat kepada kaum tua terkikis, adat dan tradisi
ditinggalkan, kecenderungan individualis mulai muncul, kemerosotan di kalangan
pemuda mencapai tingkat yang menyedihkan, dan angka bunuh diri mengalami
peningkatan yang mengkhawatirkan. Dalam kondisi-kondisi seperti ini, stabilitas
masyarakat Jepang di masa depan dianggap dalam bahaya. Semua hal di atas
membawa mereka kepada kenangan masa lalu. Kerinduan akan masa-masa kejayaan
dahulu dan usaha-usaha untuk membangkitkannya, merupakan jebakan awal bagi
rakyat yang membawa mereka terjerat sepenuhnya oleh rezim fasis.
Mangsa Empuk bagi
Fasisme: Kaum tidak Terpelajar
Faktor
lain yang membuka jalan bagi fasisme adalah kebodohan dan rendahnya pendidikan
dalam banyak masyarakat. Pendidikan mengalami kemunduran hebat selama kekacauan
Perang Dunia I. Banyak sekali kaum muda terpelajar yang tewas dalam medan
perang. Pada umumnya, hal ini mengakibatkan kemunduran tingkat kebudayaan dalam
masyarakat. Sebagian besar pendukung fasisme adalah kaum tak terpelajar, mereka
berjuang atas nama fasisme, dan menjadi pion bagi kebijakan-kebijakan
chauvinistiknya. Karena, ide-ide fundamental yang mendasari fasisme (yakni
rasisme, nasionalisme romantik, chauvinisme, dan fantasi) hanya dapat diterima
luas oleh kalangan tak terpelajar, yang mudah terbujuk oleh slogan-slogan
mentah dan sederhana.
Orang-orang
seperti itu, karena menganggap diri mereka terperangkap, mencari jalan keluar
yang mudah. Mereka merangkul para pemimpin fasis, seakan-akan mereka adalah
sabuk pengaman, sebagaimana diungkapkan Eric Hoffer dalam bukunya The True
Believer:
”Tentang orang-orang yang terjun tanpa pikir panjang ke dalam usaha
perubahan besar, mereka pastilah mengalami ketidakpuasan yang sangat selain
kemiskinan, dan mereka pastilah memiliki perasaan bahwa dengan memegang suatu
doktrin yang kuat, pemimpin yang sempurna, atau teknik-teknik baru, mereka
memiliki akses ke sumber kekuatan yang menarik. Mereka pastilah juga mempunyai
gambaran yang berlebih-lebihan tentang kemungkinan dan kemampuan di masa depan.
Akhirnya, mereka pastilah tidak mengetahui sama sekali kesulitan-kesulitan yang
tersimpan dalam usaha perubahan besar mereka.”
Teknik-Teknik
Pencucian Otak
Ada
sebuah kekhasan yang sangat buruk pada fasisme dan Nazi Jerman: usaha untuk
mencuci otak rakyatnya. Program ini dibangun dengan dua unsur dasar, yakni edukasi
dan propaganda.
Dalam
Mein Kampf, Hitler menulis, "Propaganda adalah sebuah alat, dan
karenanya harus dinilai dengan melihat tujuannya… Propaganda dalam Perang ini
merupakan suatu alat untuk mencapai sebuah tujuan, dan tujuan itu adalah
perjuangan demi eksistensi rakyat Jerman; karenanya, propaganda hanya dapat
dinilai sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku untuk perjuangan ini. Dalam
hal ini, senjata-senjata yang paling kejam menjadi beradab bila mereka mampu
membawa kemenangan yang lebih cepat… Semua propaganda haruslah bersifat umum
dan tingkat intelektualnya harus disesuaikan dengan kecerdasan terendah di
antara sasaran propaganda. Maka dari itu, semakin besar massa yang ingin
diraih, harus semakin rendah tingkat intelektual."
Hitler
memang sangat efektif dalam memanfaatkan propaganda. Sebagai contoh, sutradara
terkenal Leni Riefenstahl diminta untuk membuat sebuah film propaganda Nazi, Olympia.
Dalam Triumph of Will, film lain karya Riefenstahl, Hitler digambarkan
hampir seperti dewa. Ideologi pagan Nazi diagung-agungkan dalam film-film ini,
dan akhirnya memesona masyarakat. Olympia adalah salah satu pusat dalam budaya
pagan Yunani kuno. Kota Olympia, dengan patung Zeus-nya yang terkenal, adalah
simbol yang tepat bagi ideologi pagan Nazisme.
2.6 Ideologi
Pancasila dan Agama
2.6.1
Pengertian
Ideologi pancasila dan Agama
Pancasila
yang di dalamnya terkandung dasar filsafat hubungan negara dan agama merupakan
karya besar bangsa Indonesia melalui The Founding Fathers Negara
Republik Indonesia. Konsep pemikiran para pendiri negara yang tertuang dalam
Pancasila merupakan karya khas yang secara antropologis merupakan local
genius bangsa Indonesia (Ayathrohaedi dalam Kaelan, 2012). Begitu
pentingnya memantapkan kedudukan Pancasila, maka Pancasila pun mengisyaratkan
bahwa kesadaran akan adanya Tuhan milik semua orang dan berbagai agama. Tuhan
menurut terminologi Pancasila adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang tak terbagi,
yang maknanya sejalan dengan agama Islam, Kristen, Budha, Hindu dan bahkan juga
Animisme (Chaidar, 1998: 36).
Menurut
Notonegoro (dalam Kaelan, 2012: 47), asal mula Pancasila secara langsung salah
satunya asal mula bahan (Kausa Materialis) yang menyatakan bahwa “bangsa
Indonesia adalah sebagai asal dari nilai-nilai Panasila, …yang digali dari
bangsa Indonesia yang berupa nilai-nilai adat-istiadat kebudayaan serta
nilai-nilai religius yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari bangsa
Indonesia”. Sejak zaman purbakala hingga pintu gerbang (kemerdekaan) negara
Indonesia, masyarakat Nusantara telah melewati ribuan tahun pengaruh
agama-agama lokal, (sekitar) 14 abad pengaruh Hinduisme dan Budhisme, (sekitar)
7 abad pengaruh Islam, dan (sekitar) 4 abad pengaruh Kristen (Latif, 2011: 57).
Dalam buku Sutasoma karangan Empu Tantular dijumpai kalimat yang kemudian dikenal
Bhinneka Tunggal Ika. Sebenarnya kalimat tersebut secara lengkap
berbunyi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrua, artinya walaupun
berbeda, satu jua, sebab tak ada agama yang mempunyai tujuan berbeda (Hartono,
1992: 5).
Kuatnya
faham keagamaan dalam formasi kebangsaan Indonesia membuat arus besar pendiri
bangsa tidak dapat membayangkan ruang publik hampa Tuhan. Sejak dekade 1920-an,
ketika Indonesia mulai dibayangkan sebagai komunitas politik bersama, mengatasi
komunitas cultural dari ragam etnis dan agama, ide kebangsaan tidak terlepas
dari Ketuhanan (Latif, 2011: 67). Secara lengkap pentingnya dasar Ketuhanan
ketika dirumuskan oleh founding fathers negara kita dapat dibaca pada
pidato Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945, ketika berbicara mengenai dasar negara (philosophische
grondslag) yang menyatakan, “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia
ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya
sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam
menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut
kitab kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya
Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya
dengan leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan. Secara kebudayaan yakni
dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang
ber-Tuhan” (Zoelva, 2012). Pernyataan ini mengandung dua arti pokok. Pertama
pengakuan akan eksistensi agama-agama di Indonesia yang, menurut Ir. Soekarno,
“mendapat tempat yang sebaik-baiknya”. Kedua, posisi negara terhadap agama, Ir.
Soekarno menegaskan bahwa “negara kita akan ber- Tuhan”. Bahkan dalam bagian
akhir pidatonya, Ir. Soekarno mengatakan, “Hatiku akan berpesta raya, jikalau
saudara saudara menyetujui bahwa Indonesia berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Hal ini relevan dengan ayat (1) dan (2) Pasal 29 UUD 1945 (Ali, 2009: 118).
Jelaslah
bahwa ada hubungan antara sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dengan
ajaran tauhid dalam teologi Islam. Jelaslah pula bahwa sila pertama Pancasila
yang merupakan prima causa atau sebab pertama itu (meskipun istilah prima
causa tidak selalu tepat, sebab Tuhan terus-menerus mengurus makhluknya),
sejalan dengan beberapa ajaran tauhid Islam, dalam hal ini ajaran tentang tauhidus-shifat
dan tauhidul-af’al, dalam pengertian
bahwa Tuhan itu Esa dalam sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Ajaran ini juga diterima oleh agama-agama
lain di Indonesia (Thalib dan Awwas, 1999: 63).
Prinsip
ke-Tuhanan Ir. Soekarno itu didapat dari - atau sekurang-kurangnya diilhami
oleh uraian-uraian dari para pemimpin Islam yang berbicara mendahului Ir.
Soekarno dalam Badan Penyelidik itu, dikuatkan dengan keterangan Mohamad Roem.
Pemimpin Masyumi yang terkenal ini menerangkan bahwa dalam Badan Penyelidik itu
Ir. Soekarno merupakan pembicara terakhir; dan membaca pidatonya orang mendapat
kesan bahwa pikiranpikiran para anggota yang berbicara sebelumnya telah
tercakup di dalam pidatonya itu, dan dengan sendirinya perhatian tertuju kepada
(pidato) yang terpenting. Komentar Roem, “Pidato penutup yang bersifat
menghimpun pidato-pidato yang telah diucapkan sebelumnya” (Thalib dan Awwas,
1999: 63).
Prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa manusia Indonesia harus mengabdi
kepada satu Tuhan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan mengalahkan ilah-ilah atau
Tuhan-Tuhan lain yang bias mempersekutukannya. Dalam bahasa formal yang telah
disepakati bersama sebagai perjanjian bangsa sama maknanya dengan kalimat
“Tiada Tuhan selain Tuhan Yang Maha Esa”. Di mana pengertian arti kata Tuhan
adalah sesuatu yang kita taati perintahnya dan kehendaknya. Prinsip dasar
pengabdian adalah tidak boleh punya dua tuan, hanya satu tuannya, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa. Jadi itulah yang menjadi misi utama tugas para pengemban risalah
untuk mengajak manusia mengabdi kepada satu Tuan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa
(Kitab Ulangan 6:4-5, Matius 6:24, Lukas 16: 13, Quran surat: Al Mu’minun [23]:
23 dan 32) (Mulyantoro, 2012).
2.6.2
Perkembangan Paham
Agama Pasca Kemerdekaan
Pada
saat kemerdekaan, sekularisme dan pemisahan agama dari negara didefinisikan
melalui Pancasila. Ini penting untuk dicatat karena Pancasila tidak memasukkan
kata sekularisme yang secara jelas menyerukan untuk memisahkan agama dan
politik atau menegaskan bahwa negara harus tidak memiliki agama. Akan tetapi,
hal-hal tersebut terlihat dari fakta bahwa Pancasila tidak mengakui satu agama
pun sebagai agama yang diistimewakan kedudukannya oleh negara dan dari
komitmennya terhadap masyarakat yang plural dan egaliter. Namun, dengan hanya
mengakui lima agama (sekarang menjadi 6 agama: Islam, Kristen Katolik, Kristen
Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu) secara resmi, negara Indonesia membatasi
pilihan identitas keagamaan yang bisa dimiliki oleh warga negara.
Pandangan
yang dominan terhadap Pancasila sebagai dasar negara Indonesia secara jelas
menyebutkan tempat bagi orang yang menganut agama tersebut, tetapi tidak bagi
mereka yang tidak menganutnya. Pemahaman ini juga memasukkan kalangan sekuler
yang menganut agama tersebut, tapi tidak memasukkan kalangan sekuler yang tidak
menganutnya. Seperti yang telah ditelaah Madjid, meskipun Pancasila berfungsi
sebagai kerangka yang mengatur masyarakat di tingkat nasional maupun lokal,
sebagai individu orang Indonesia bisa dan bahkan didorong untuk memiliki
pandangan hidup personal yang berdasarkan agama (An-Na’im, 2007: 439).
Gagasan
asas tunggal menimbulkan pro dan kontra selama tiga tahun diundangkan dalam
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang
mengharuskan mendaftar ulang bagi semua ORMAS dan sekaligus mengharuskan semua
ORMAS menerima asas tunggal yang diberi batas akhir sampai tanggal 17 Juli
1987. Golongan yang kontra bukan menolak Pancasila dan UUD 1945, melainkan ada
kekhawatiran bahwa dengan menghapuskan asas “Islam”, Pancasila akan
menjadi“agama baru” (Moesa, 2007: 123-124).
Dalam
perkembangannya, kyai yang tergabung dalam organisasi NU yang pertama kali
menerima Pancasila sebagai Asas Tunggal. KH. As’ad Syamsul Arifin menegaskan
bahwa sebagian besar kyai dan umat Islam Indonesia berpendapat bahwa menerima
Pancasila hukumnya wajib (Moesa, 2007: 124) .
Dalam
hubungan antara agama Islam dan Pancasila, keduanya dapat berjalan saling
menunjang dan saling mengokohkan. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh
dipertentangkan. Juga tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang
dan menanggalkan yang lain. Selanjutnya Kiyai Achamd Siddiq menyatakan bahwa
salah satu hambatan utama bagi proporsionalisasi ini berwujud hambatan
psikologis, yaitu kecurigaan dan kekhawatiran yang datang dari dua arah (Zada
dan Sjadzili (ed), 2010: 79).
Agama-agama
dimandatkan oleh GBHN 1988 bahwa semua golongan beragama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara terus-menerus dan bersamasama meletakkan
landasan moral, etika dan spiritual yang kokoh bagi pembangunan nasional
sebagai pengalaman Pancasila (Soetarman, 1996: 64). Dalam konteks pelaksanaan
mandat GBHN ini (meskipun GBHN secara formal sudah tidak berlaku tapi spirit
hubungan agama dan pembangunan masih sesuai), maka agama-agama harus mampu
mengembangkan kerja sama dalam rangka menghadapi masalah-masalah yang dihadapi
bersama (Soetarman, 1996: 65).
Pancasila
dan agama dapat diaplikasikan seiring sejalan dan saling mendukung. Agama dapat
mendorong aplikasi nilai-nilai Pancasila, begitu pula Pancasila memberikan
ruang gerak yang seluas-luasnya terhadap usaha-usaha peningkatan pemahaman,
penghayatan dan pengamalan agama (Eksan, 2000). Abdurrahman Wahid (Gusdur) pun
menjelaskan bahwa sudah tidak relevan lagi untuk melihat apakah nilai-nilai
dasar itu ditarik oleh Pancasila dari agama-agama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, karena ajaran agama-agama juga tetap menjadi referensi
umum bagi Pancasila, dan agamaagama harus memperhitungkan eksistensi Pancasila
sebagai “polisi lalu lintas” yang akan menjamin semua pihak dapat menggunakan
jalan raya kehidupan bangsa tanpa terkecuali (Oesman dan Alfian, 1990:
167-168).
Moral
Pancasila bersifat rasional, objektif dan universal dalam arti berlaku bagi
seluruh bangsa Indonesia. Moral Pancasila juga dapat disebut otonom karena
nilainilainya tidak mendapat pengaruh dari luar hakikat manusia Indonesia, dan
dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis. Tidak dapat pula diletakkan
adanya bantuan dari nilai-nilai agama, adat, dan budaya, karena secara de
facto nilai-nilai Pancasila berasal dari agama-agama serta budaya manusia
Indonesia. Hanya saja nilai-nilai yang hidup tersebut tidak menentukan
dasar-dasar Pancasila, tetapi memberikan bantuan dan memperkuat (Anshoriy,
2008: 177). Sejalan dengan pendapat tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) menyatakan dalam Sambutan pada Peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada 1
Oktober 2005.
Bangsa
kita adalah bangsa yang relijius; juga, bangsa yang menjunjung tinggi,
menghormati dan mengamalkan ajaran agama masing-masing. Karena itu, setiap umat
beragama hendaknya memahami falsafah Pancasila itu sejalan dengan nilai-nilai
ajaran agamanya masing-masing. Dengan demikian, kita akan menempatkan falsafah
negara di posisinya yang wajar. Saya berkeyakinan dengan sedalam-dalamnya bahwa
lima sila di dalam Pancasila itu selaras dengan ajaran agama-agama yang hidup
dan berkembang di tanah air. Dengan demikian, kita dapat menghindari adanya
perasaan kesenjangan antara meyakini dan mengamalkan ajaran-ajaran agama, serta
untuk menerima Pancasila sebagai falsafah negara (Yudhoyono dalam Wildan
(ed.),2010: 172).
Dengan
penerimaan Pancasila oleh hampir seluruh kekuatan bangsa, sebenarnya tidak ada
alasan lagi untuk mempertentangkan nilai-nilai Pancasila dengan agama mana pun
di Indonesia. Penerimaan sadar ini memerlukan waktu lama tidak kurang dari 40
tahun dalam perhitungan Maarif, sebuah pergulatan sengit yang telah menguras
energi kita sebagai bangsa. Sebagai buah dari pergumulan panjang itu, sekarang
secara teoretik dari kelima nilai Pancasila tidak satu pun lagi yang dianggap
berlawanan dengan agama. Sila pertama berupa “Ketuhanan Yang Maha Esa” dikunci
oleh sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” dari sudut
pemahaman saya sebagai seorang Muslim, sejalan dan senyawa dengan doktrin
tauhid yang menuntut tegaknya keadilan di muka bumi (Maarif, 2012).
Kaelan
(dalam Wahyudi (ed.), 2009: 243-246) memetakan persoalan yang menyangkut
hubungan agama dengan Pancasila, yang dikelompokkan dalam tiga tahap, yaitu:
·
Pertama, terjadi ketika kaum “nasionalis”
mengajukan Pancasila sebagai dasar filsafat negara menjelang kemerdekaan
Indonesia. Para tokoh pendiri negara dari kelompok nasionalis Islam dan
nasionalis terlibat perdebatan tentang dasar filsafat dan ideologi Negara
Indonesia yang akan didirikan kemudian.
·
Kedua, respon umat Islam terhadap
Pancasila tatkala pada tahun 1978 pemerintah Orde Baru mengajukan P-4 untuk disahkan.
Dalam hubungan ini pada awalnya banyak tokoh-tokoh Islam merasa keberatan,
namun kemudianmenerimanya. Ketiga, ketika tahun 1985 pemerintah mengajukan
Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua organsiasi politik dan kemasyarakatan
di Indonesia. Kebijakan ini banyak mendapatkan tantangan dari umat Islam bahkan
terdapat beberapa ormas yang dibekukan karena asas tersebut. Namun untuk
menengahi permasalahan tersebut, Abdurrahman Wahid (Oesman dan Alfian (ed),
1990: 167-168) secara gamblang menyatakan bahwa “agama tetap menjadi referensi
umum bagi Pancasila, dan agama-agama harus memperhitungkan eksistensi Pancasila
sebagai “polisi lalu lintas” yang menjamin semua pihak dapat menggunakan jalan
raya kehidupan bangsa tanpa terkecuali”. Sejalan dengan pendapat tersebut,
tokoh Masyumi, Muhammad Roem, berpendapat bahwa kita sepakat tentang dasar
negara mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa, berarti bahwa masing-masing percaya
kepada Tuhan menurut agamanya sendiri-sendiri, dengan kesadaran bahwa bersama
kita dapat mendirikan Negara yang kuat sentosa karena esensi dari agama, ialah
hidup berbakti, menjunjung keadilan, cinta dan kasih saying terhadap sesama
makhluk (Roem dan Salim, 1977: 116).
Bilamana
dirinci, maka hubungan negara dengan agama menurut NKRI yang berdasarkan
Pancasila adalah sebagai berikut (Kaelan, 2012: 215-216):
·
Negara adalah berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa.
·
Bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa
yang ber- Ketuhanan yang Maha Esa. Konsekuensinya setiap warga memiliki hak
asasi untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama masingmasing.
·
Tidak ada tempat bagi atheisme dan
sekularisme karena hakikatnya manusia berkedudukan kodrat sebagai makhluk
Tuhan.
·
Tidak ada tempat bagi pertentangan agama,
golongan agama, antar dan inter pemeluk agama serta antar pemeluk agama.
·
Tidak ada tempat bagi pemaksaan agama
karena ketakwaan itu bukan hasil peksaan bagi siapapun juga.
·
Memberikan toleransi terhadap orang lain
dalam menjalankan agama dalam negara.
Segala
aspek dalam melaksanakan dan menyelenggatakan negara harus sesuai dengan
nilainilai Ketuhanan yang Maha Esa terutama norma-norma Hukum positif maupun
norma moral baik moral agama maupun moral para penyelenggara negara.
Negara pda hakikatnya
adalah merupakan “…berkatrahmat Allah yang Maha Esa”.
Berdasarkan
kesimpulan Kongres Pancasila (Wahyudi (ed.), 2009: 58), dijelaskan bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang religius. Religiusitas bangsa Indonesia ini,
secara filosofis merupakan nilai fundamental yang meneguhkan eksistensi negara
Indonesia sebagai Negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha
Esa merupakan dasar kerohanian bangsa dan menjadi penopang utama bagi persatuan
dan kesatuan bangsa dalam rangka menjamin keutuhan NKRI. Karena itu, agar
terjalin hubungan selaras dan harmonis antara agama dan negara, maka negara
sesuai dengan Dasar Negara Pancasila wajib memberikan perlindungan kepada
agama-agama di Indonesia.
Rodee
dkk (1995: 54) menyatakan bahwa homogenitas kebudayaan adalah suatu kekuatan
luar biasa yang bekerja atas nama identitas nasional. Pada paparan selanjutnya,
secara implisit Rodee menyatakan bahwa identitas nasional akan berpengaruh
terhadap kestabilan negara. Realitas negara dan bangsa Indonesia teramat
heterogen secara budaya, bahkan paling heterogen di dunia, lebih dari itu
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Kondisi tersebut mensyaratkan
hadirnya ideology negara yang dihayati dan diamalkan oleh seluruh komponen
bangsa.
Implikasinya,
fungsi ideologi negara bagi bangsa Indonesia amat penting dibandingkan dengan
pentingnyaideologi bagi negara-negara lain terutama yang bangsanya homogen.
Bagi bangsa Indonesia, ideologi sebagai identitas nasional merupakan prasyarat
kestabilan negara, karena bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen.
Hadirnya ideologi Pancasila tersebut, paling tidak akan berfungsi untuk: 1)
menggambarkan cita-cita bangsa, kearah mana bangsa ini akan bergerak; 2)
menciptakan rasa kebersamaan dalam keluarga besar bangsa Indonesia sesuai
dengan sesanti Bhinneka Tunggal Ika; dan 3) menggairahkan seluruh komponen
bangsa dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan negara Republik Indonesia. Ada
ha-hal yang amat penting dalam melaksanakan ideologi negara Pancasila, agar
ideologi tidak disalahgunakan terutama dijadikan alat untuk memperoleh atau
mempertahankan kekuasaan oleh elit politik. Maka untuk itu, bangsa Indonesia
harus melaksanakan nilai-nilai instrumental ideologi Pancasila yaitu taat asas
terhadap nilai-nilai dan ketentuan-ketentuan yang ada pada Pembukaan UUD 1945
dan Pasal-Pasal dalam UUD 1945.
2.7 Perbedaan
Ideologi Pancasila Dengan Yang Lain
Ideologi Pancasila mendasarkan pada hakikat sifat kodrat manusia
sebagai makhuk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu dalam ideologi
Pancasila mengakui atas kebebasan atas hak-hak masyarakat. Selain itu bahwa
manusia menurut Pancasila mempunyai kodrat sebagai makhluk pribadi dan sebagai
mahluk Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga nilai-nilai ketuhanan senantasa mnjiwai
kehidupan manusia dalam hidup Negara dan masyarakat. Dengan demikian ideologi
Pancasila mempunyai perbedaan-perbedaan dengan ideologi lainnya. Berikut ini
akan disampaikan perbedaan-perbedaanya dari berbagai aspek antara lain sebagai
berikut:
2.7.1
Bidang Politik Hukum
·
Pancasila : Demokrasi
Pancasila, Hukum untuk menjunjung tinggi keadilan dan keberadaan individu dan
masyarakat.
·
Sosialisme: Demokrasi untuk
kolektivitas, diutamakan kebersamaan, masyarakat sama dengan Negara.
·
Komunisme: Demokrasi rakyat,
berkuasa mutlak satu parpol, hukum untuk melanggengkan komunis.
·
Liberalisme : Demokrasi
Liberal, Hukum untuk melindungi individu,dalam politik mementingkan individu.
·
Fasisme : Hukum untuk
melindungi penguasa.
2.7.2
Bidang Ekonomi
·
Pancasila : Peran Negara ada
untuk tidak terjadi monopoli dan lain-lain yang merugikan rakyat.
·
Sosialisme : Peran Negara
kecil, kapitalisme, monopolisme.
·
Komunisme : Peran Negara
dominan, demi kolektivitas berarti demi Negara, monopoli Negara.
·
Liberalisme : Peran Negara
kecil, swasta mendominasi, kapitalisme, monopolisme, persaingan bebas.
·
Fasisme : Peran Negara
sangat kecil, Kapitalisme dan Monopolisme.
2.7.3
Agama
·
Pancasila : Bebas memilih
agama, Agama harus menjiwai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
·
Sosialisme : Agama harus
mendorong berkembangnya kebersamaan, diutamakan kebersamaan.
·
Komunisme : Agama harus
dijauhkan dari masyarakat, atheis.
·
Liberalisme : Agama urusan
pribadi, bebas beragama ( memilih agama/atheis).
·
Fasisme
: Menolak konsep persamaan tradisi yahudi kristen (dan juga Islam) yang
berdasarkan aspek kemanusiaan, dan menggantikan dengan ideologi yang
mengedepankan kekuatan.
2.7.4
Pandangan Terhadap Individu Dan Masyarakat
·
Pancasila : Individu diakui
keberadaanya, hubungan individu dan masyarakat dilandasi 3s ( selaras, serasi,
dan seimbang).
·
Sosialisme : Masyarakat
lebih penting daripada individu.
·
Komunisme : Individu tidak
penting- masyarakat tidak penting, kolektivitas yang dibentuk Negara lebih
penting.
·
Liberalisme : Individu lebih
enting dariada masyarakat, masyarakat diabdikan bagi individu
·
Fasisme : Masyarakat tidak penting,
sosial budaya ditentukan oleh propaganda penguasa sehingga daya kritis
masyarakat menjadi mundur.
2.7.5 Ciri Khas Ideologi
·
Pancasila : Demokrasi
Pancasila, bebas memilih agama.
·
Sosilisme: Kebersamaan,
Akomodasi.
·
Komunisme : Atheisme,
dogmatis, otoriter, ingkar HAM.
·
Liberalisme : Penghargaan
atas HAM, demokrasi, Negara hokum, menolak dogmatis.
·
Fasisme : Pemerintahan
bersifat otoriter dan totaliter, Sistem pemerintahan satu partai, negara
dijadikan alat permanen untuk mencapai tujuan negara, mempercayai adanya
perbedaan antara orang yang memerintah dan yang diperintah, antara elite dan
massa, membenci kemerdekaan berbicara dan berkumpul.
2.8 Persamaan Ideologi Pancasila Dengan Yang Lain
Pengertian
ideologi secara umum adalah suatu kumpulan gagasan, ide, keyakinan serta
kepercayaan yang bersifat sistematis yang mengarahkan tingkah laku seseorang
dalam berbagai bidang kehidupan seperti:
1. Bidang
politik, termasuk bidang hokum, pertahanan, dan keamanan.
2. Bidang
sosial.
3. Bidang
kebudayaan.
4. Bidang
keagamaan.
Dari kelima ideologi
tersebut semuanya sama-sama dijadikan sebagai ideology atau dasar sebuah negara
DAFTAR PUSTAKA
Avianto,Dicky
. 2013 . Pandangan Realisme, Liberalisme Dan Konstruktivisme Terhadap Mercosur
Sebagai Institusi Perdagangan Regional Di Amerika Selatan . Fakultas Ilmu
Sosial Dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Hubungan Internasional . Depok
Elisa,2009 . Teori
Politik Sosialisme – Komunis . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik .
Jogjakarta .
Hosang,Christian
. 2011 . Pandangan Paradigma Realisme, Liberalisme,Dan Konstruktivisme Terhadap
Asean Politicalsecurity Community 2015 Sebagai Kerjasamakeamanan Di Kawasan
Asia Tenggara . FISIP UI . Depok
Septyo,
Boris . 2008 . Pemikiran Karl Marx Tentang Ekonomi Perspektif Islam . Fakultas
Agama Islam UMS . Surakarta.
Syarbani, H. Syahrial. 2012. Pancasila Dan Liberalisme, Komunisme Serta Agama. Modul Ajar
Pancasila.
Yahya, Harun.
2013. Fasisme:Ideologi Berdarah
Darwinisme. Buku cetakan ke-2.
Apa Perbedaan antara
Ideologi Pancasila dengan ideologi liberalisme, ideologi kapitalisme, ideologi
komunisme, ideologi sosialisme, ideologi fasisme ?
2. Sebutkan ciri
masing-masing ideologi dan Negara yang menganut ideologi tersebut !
Jawaban :
1. Perbedaan masing-masing
ideologi dapat dikelompokan sebagai berikut :
Ditinjau dari Agama
Pancasila : Masalah agama
adalah hak pribadi (berhak memilih kepercayaan masing-masing).
Liberalisme : Masalah
ketuhanan adalah masalah pribadi, Negara tidak mencapai urusan agama warga
Negaara bebas beragama atau tidak beragama.
Komunisme : Penganut
demokrasi ini tidak percaya kepada Tuhan, kehidupan manusia berdasarkan suatu
evolusi ditentukan oleh hukum-hukum kehidupan tertentu.
Fasisme : Menolak konsep
persamaan tradisi yahudi kristen (dan juga Islam) yang berdasarkan aspek
kemanusiaan, dan menggantikan dengan ideologi yang mengedepankan kekuatan.
Sosialisme : Warga negara
bebas beragama, bebas tidak beragama dan bebas pula untuk propaganda anti-
agama.
Kapitalisme : Paham
kapitalisme ini secara jelas dicela dalam Islam dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah memberikan suatu deskripsi yang sangat brilian mengenai kapitalisme ini,
secara jelas tergambar dalam QS. Al-Qalam:17-33
Ditinjau dari Hukum
Pancasila : Warga Negara
menganut aturan sesuai dengan UUD 1945.
Liberalisme : Warga Negara
mempunyai kebebasan yang luas untuk bertindak, asal tidak melanggar hukum.
Komunisme : Hukum yang
berlaku disana kurang ketat, sehingga keadaan kaum ada batasan-batasan
tertentu.
Fasisme : Hukum untuk
melindungi penguasa.
Sosialisme : Demokrasi
kolektivitas diutamakan masyarakat sama dengan negara.
Kapitalisme : ideologi dimana kekuasaan ada di tangan
kapital atau pemilik modal.
Ditinjau dari Ekonomi
Pancasila : Sistem
perekonomian melibatkan pemerintah. Para pengusaha swasta dan seluruh rakyat
baik golongan ekonomi lemah maupun golongan ekonomi aktif/kuat. Dalam usaha
mencapai kemakmuran bangsa saling membantu kegiatan ekonomi.
Liberalisme : Dalam
perekonomian membuka persaingan sekuat-kuatnya, akumulasi modal berada pada
beberapa kelompok kecil masyarakat.
Komunisme : Sistem ekonomi
diatur sentralistis atau penguasaan oleh pusat atau Negara kalau ada ekonomi
swasta ia sangat terbatas.
Fasisme : Peran Negara
sangat kecil, Kapitalisme dan Monopolisme.
Sosialisme : Sistem sosialisme
berpandangan kemakmuran individu hanya mungkin tercapai bila berpondasikan
kemakmuran bersama dan merupakan faktor-faktor produksi yang merupakan
kepemilikan sosial.
Kapitalisme : sistem ekonomi
bebas tanpa batas yang didasarkan pada keuntungan, di mana masyarakat bersaing
dalam batasan-batasan ini.
Ditinjau dari pandangan
terhadap individu dan masyarakat..
Pancasila : Individu diakui
keberadaannya.
Liberal : Individu lebih
penting daripada masyarakat.
Komunis : Masyarakat
diabaikan untuk individu, individu tidak penting dan masyarakat tidak penting.
Fasisme : Masyarakat tidak
penting, sosial budaya ditentukan oleh propaganda penguasa sehingga daya kritis
masyarakat menjadi mundur.
Sosialisme : Kolektivitas
yang dibentuk negara lebih penting, masyarakat lebih penting dari individu,
individu tidak penting.
Kapitalisme : Setiap
individu bukanlah bagian dari masyarakat, tetapi merupakan suatu pihak yang
harus berjuang untuk kepentingan sendiri. Dalam perjuangan ini, faktor
penentunya adalah produksi. Produsen unggul akan tetap bertahan, dan produsen
lemah akan tersingkir.
2. Berikut macam-macam
ideologi beserta ciri dan Negara yang menganutnya, yaitu :
Ideologi Pancasila
A. Ciri-ciri ideologi
Pancasila, antara lain sebagai berikut :
a. Bidang politik : politik
berdasarkan demokrasi Pancasila.
b. Bidang ekonomi : sistem
ekonomi yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
c. Bidang sosial budaya :
pola kehidupan sosial adalah kekeluargaan dan kegotong royongan.
B. Ciri-ciri ideologi
Pancasila sebagai Ideologi Terbuka, yaitu :
a. Merupakan cita-cita yang
hidup dalam masyarakat
b. Hasil Musyawarah dan
konsensus masyarakat
c. Nilai dan cita-citanya
berasal dari orang itu sendiri
d. Bersifat Dinamis dan
Reformis
Ideologi Pancasila ini
dianut oleh Negara Indonesia
Ideologi Liberalisme
Ciri-ciri Ideologi
Liberalisme sebagai berikut :
1). Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang
lebih baik.
2). Anggota masyarakat
memiliki kebebasan intelektual penuh, termasukkebebasan berbicara
3). Pemerintah hanya
mengatur kehidupan masyarakat secara terbatas. Keputusanyang dibuat hanya
sedikit untuk rakyat sehingga rakyat dapat belajar membuatkeputusan untuk diri
sendiri.
4). Kekuasaan dari seseorang
terhadap orang lain merupakan hal yang buruk.Oleh karena itu pemerintahan
dijalankan sedemikian rupa sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah.
5). Suatu masyarakat
dikatakan berbahagia apabila setiap individu atau sebagianterbesar individu
berbahagia, kalau masyarakat secara keseluruhan berbahagia, kebahagiaan
sebagian besar individu belum tentu maksimal.
Negara yang menganut
ideologi Liberalisme :
a. Benua Amerika :
Amerika Serikat, Argentina,
Bolivia, Brazil, Cili, Cuba, Kolombia, Ekuador, Honduras, Kanada, Meksiko,
Nikaragua, Panama, Paraguay, Peru, Uruguay dan Venezuela.
b. Benua Eropa :
Albania, Armenia, Austria,
Belgia, Bulgaria, Kroasia, Cyprus, Republik Cekoslovakia, Denmark, Estonia,
Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Islandia, Italia, Latvia,
Lithuania, Luxembourg, Macedonia, Moldova, Netherlands, Norwegia, Polandia,
Portugal, Romania, Rusia, Serbia Montenegro, Slovakia, Slovenia, Spanyol,
Swedia, Switzerland, Ukraina dan United Kingdom Belarusia, Bosnia-Herzegovina,
Kepulauan Faroe, Georgia, Irlandia dan San Morino.
c. Benua Asia :
India, Iran, Israel, Jepang,
Korea Selatan, Filipina, Taiwan, Thailand, Turki Myanmar, Kamboja, Hong Kong,
Malaysia dan Singapura.
d. Benua Afrika :
Mesir, Senegal dan Afrika
Selatan, Aljazair, Angola, Benin, Burkina Faso, Mantol Verde, Côte D’Ivoire,
Equatorial Guinea, Gambia, Ghana, Kenya, Malawi, Maroko, Mozambik, Seychelles,
Tanzania, Tunisia, Zambia dan Zimbabwe. Sekarang ini, kurang lebih liberalisme
juga danut oleh negara Aruba, Bahamas, Republik Dominika, Greenland, Grenada,
Kosta Rika, Puerto Rico dan Suriname.
Ideologi Komunisme
Ideologi komunisme menurut
Darmodharjo (Afandi,2012:86) memiliki beberapa ciri khusus, seperti:
a. Ateisme, artinya penganut
ini tidak percaya adanya Tuhan dalam arti bahwakehidupan manusia berdasarkan
atas evolusi. Kehidupan ini dibentuk olehhukum-hukum kehidupan tertentu. Agama
dianggap sebagai penghalangkemajuan. Agama memelihara kekolotan . bahkan
penganut ideologi inidiajurkan untuk bersikap anti agama.
b. Dogmatisme, tidak
mempercayai pikiran orang lain, artinya ajaran-ajaranyang baku berdasarkan atas
pikiran Marx-Engel harus diterima begitu saja.
c. Otoritas, pelaksanaan
politik berdasarkan kekerasan.
d. Pengkhianatan terhadap
HAM, artinya tidak mengakui adanya hak-hak asasimanusia.
e. Dictator, kekuasaan
pemerintah dipegang oleh partai komunis, dan golonganlain dilenyapkan.
f. Interprestasi ekonomi,
sistem ekonomi diatur secara sentralistik, artinya pengaturan dan penguasaan
ekonomi dipegang oleh pusat.
Negara yang masih menganut
ideologi komunisme adalah Tiongkok,Vietnam, Korea utara, Kuba, dan Laos.
Ideologi Fasisme
Menurut Darmodiharjo
(Afandi,2012:88) Fasisme yang berkembang di Jerman menjadi Nazziesme, memiliki
beberapa ciri,antara lain :
a. Rasialisme, pengikut
ideologi ini tidak bebas berpikir terhadap ideologi itu sendiri. Semua orang
harus tunduk pada pikiran yang telah diletakkan oleh ideologi. Dogma yang telah
diletakkan oleh pelaksana ideologi harus diikuti dengan patuh tanpa adanya
kritik.
b. Dictator, ajaran ini
menganggap bahwa kritik adalah suatu kejahatan. Perlawanan terhadap ajaran dan
kekuasaan pemerintah dimusnahkan dengan cara kekerasan.
c. Imperialisme, adalah
politik untuk menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri
sendiri yang dibentuk sebagai imperiumnya (hak memerintah).atas dasar tersebut,
mereka melakukan penguasaan atas bangsa lain. Akibatnya iimperialisme adala
suatu akibat logis dari paham yang realistis itu.
Negara-negara yang pernah
menganut Ideologi Fasisme adalah Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Italia dan
Jerman.
Ideologi Sosialisme
Menurut Michael Newmann
(Simamora,1986:120) Sosialisme adalah ideologi yang di tandai oleh:
a. Komitmennya untuk
menciptakan masyarakat yang egalitarian (sama).
b. Seperangkat kepercayaan
bahwa orang biasa membangun sistem egalitarian alternative yang didasarka pada
nilai-nilai solidaritas dan kerjasama.
c. Pandangan yang optimistic
yang memandang manusia dan kemampuannya dapat bekerja sama antara satu dengan
yang lainnya. Dan
d. Keyakinan bahwa adalah
mungkin untuk membuat perubahan secara nayata di dunia ini melalui agen-agen
yang terdiri atas mereka-mereka yang sadar.
Negara yang menganut
Ideologi Sosialisme adalah Negara-negara di Eropa Barat serta Kuba dan
Venezuela.
Ideologi Kapitalisme
Ciri-ciri ideologi
kapitalisme:
a. Mencari keuntungan dengan
berbagai cara dan sarana kecuali yg terang-terangan dilarang negara karena
merusak masyarakat seperti heroin dan semacamnya.
b. Mendewakan hak milik
pribadi dengan membuka jalan selebar-lebarnya agar tiap orang mengerahkan
kemampuan dan potensi yang ada untuk meningkatkan kekayaan dan memeliharanya
serta tidak ada yg menjahatinya. Karena itu dibuatlah peraturan-peraturan yg
cocok utk meningkatkan dan melancarkan usaha dan tidak ada campur tangan negara
dalam kehidupan ekonomi kecuali dalam batas-batas yg yg sangat diperlukan oleh
peraturan umum dalam rangka mengokohkan keamanan.
c. Kompetisi sempurna.
d. Kebebasan ekonomi bagi
tiap individu di mana ia mempunyai hak untuk menekuni dan memilih pekerjaan
yang sesuai dengan kemauannya.
Negara yang menganut paham
kapitalisme adalah Inggris, Belada, Spanyol, Australia, Portugis, dan Perancis.
Best Merkur Safety Razors | The Best Gift from Merkur | CasinoRewards
ReplyDelete› best-merkur-safety › best-merkur-safety Merkur Merkur Double 제왕카지노 Edge Safety Razor 메리트 카지노 Merkur's classic design features a straight-edge design along with a standard double-edge Open Comb: 2-Piece Double-Edge Shave 바카라 - 3 메리트 카지노 도메인 Pieces 우리 계열 더킹 카지노 Rating: 5 1 review