BAB I
PENDAHULUAN
Adanya perubahan
lingkungan global yang semakin menyatukan hampir seluruh negara di dunia dalam
komunitas tunggal yang dijembatani perkembangan teknologi komunikasi dan
informasi yang semakin murah, menuntut adanya transparansi di segala bidang.
Akuntansi adalah media komunikasi, oleh karena itu sering disebut sebagai
“Bahasanya Dunia Usaha” (Business Language). Sistem keuangan Islam bukan
sekedar transaksi komersial, tetapi harus sudah sampai kepada lembaga keuangan
untuk dapat mengimbangi tuntutan zaman. Bentuk sistem keuangan atau lembaga
keuangan yang sesuai dengan prinsip Islam adalah terbebas dari unsur riba.
Kontrak keuangan yang dapat dikembangkan dan dapat menggantikan sistem riba
adalah mekanisme syirkah yaitu : musyarakah dan mudharaba.
Dengan adanya standar akuntansi syariah, laporan
keuangan diharapkan dapat menyajikan informasi yang relevan dan dapat dipercaya
kebenarannya. Standar akuntansi juga digunakan oleh pemakai laporan keuangan
seperti investor, kreditor, pemerintah, dan masyarakat umum sebagai acuan untuk
memahami dan menganalisis laporan keuangan sehingga memungkinkan mereka untuk
mengambil keputusan yang benar. Dengan demikian, standar akuntansi memiliki
peranan penting bagi pihak penyusun dan pemakai laporan keuangan sehingga timbul
keseragaman atau kesamaan interpretasi atas informasi yang terdapat dalam
laporan keuangan.
Di Indonesia pelopor
perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun1991, bank ini
diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan
dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim.
Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga
ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan
suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan
menghasilkan laba. Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur
dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun
1992 tentang Perbankan.
Adanya Perbankan
syariah di Indonesia bertujuan untuk mewadahi penduduk di Negara Indonesia yang
hampir seluruh penduduknya beragama Islam, Dengan adanya bank tersebut
diharapkan tidak adanya kerancuan dalam proses muamalah bagi para pemeluk agama
islam,sehingga mereka terjaga dari keharaman akibat tidak adanya suatu wadah
yang melayani mereka dalam bidang muamalah yang bersifat islami. Namun
realitas yang ada,dari 80% penduduk Indonesia yang beragama Islam tidak lebih
dari 10% di antara mereka yang bertransaksi secara syar’I lebih-lebih dalam hal
perbankan, Sampai saat ini perbankan syariah di Indonesia belum mampu
menunjukan eksistensinya.
1. Menjelaskan Pengertian Bank Syariah
2. Menjelaskan Dasar Hukum Bank Syariah
3. Menjelaskan Karakteristik Bank Syariah
4. Menjelaskan Fungsi & Tujuan Bank Syariah
5. Menjelaskan Jenis-Jenis Akad Bank Syariah
6. Menjelaskan Standar Akuntansi Bank Syariah
BAB II
PEMBAHASAN
Bank
pada dasarnya adalah entitas yang melakukan penghimpunan dana dari masyarakat
dalam bentuk pembiayaan atau dengan kata lain melaksanakan fungsi intermediasi
keuangan. Dalam sistem perbankan di Indonesia terdapat dua macam sistem
operasional perbankan, yaitu bank konvensional dan bank syariah. Sesuai UU No.
21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bank Syariah adalah bank yang
menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau prinsip hukum
islam yang diatur dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia seperti prinsip keadilan
dan keseimbangan ('adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah), universalisme
(alamiyah), serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zalim dan obyek yang
haram. Selain itu, UU Perbankan Syariah juga mengamanahkan bank syariah untuk
menjalankan fungsi sosial dengan menjalankan fungsi seperti lembaga baitul mal,
yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana
sosial lainnya dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai
kehendak pemberi wakaf (wakif).
Pelaksanaan
fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan syariah dari aspek pelaksanaan
prinsip kehati-hatian dan tata kelola yang baik dilaksanakan oleh OJK
sebagaimana halnya pada perbankan konvensional, namun dengan pengaturan dan
sistem pengawasan yang disesuiakan dengan kekhasan sistem operasional perbankan
syariah. Masalah pemenuhan prinsip syariah memang hal yang unik bank syariah,
karena hakikinya bank syariah adalah bank yang menawarkan produk yang sesuai
dengan prinsip syariah. Kepatuhan pada prinsip syariah menjadi sangat fundamental
karena hal inilah yang menjadi alasan dasar eksistensi bank syariah. Selain
itu, kepatuhan pada prinsip syariah dipandang sebagai sisi kekuatan bank
syariah. Dengan konsisten pada norma dasar dan prinsip syariah maka
kemaslhahatan berupa kestabilan sistem, keadilan dalam berkontrak dan
terwujudnya tata kelola yang baik dapat berwujud.
Sistem
dan mekanisme untuk menjamin pemenuhan kepatuhan syariah yang menjadi isu
penting dalam pengaturan bank syariah. Dalam kaitan ini lembaga yang memiliki
peran penting adalah Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Undang-undang No. 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan kewenangan kepada MUI yang
fungsinya dijalankan oleh organ khususnya yaitu DSN-MUI untuk menerbitkan fatwa
kesesuaian syariah suatu produk bank. Kemudian Peraturan Bank Indonesia
(sekarang POJK) menegaskan bahwa seluruh produk perbankan syariah hanya boleh
ditawarkan kepada masyarakat setelah bank mendapat fatwa dari DSN-MUI dan
memperoleh ijin dari OJK. Pada tataran operasional pada setiap bank syariah
juga diwajibkan memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang fungsinya ada dua,
pertama fungsi pengawasan syariah dan kedua fungsi advisory (penasehat) ketika
bank dihadapkan pada pertanyaan mengenai apakah suatu aktivitasnya sesuai
syariah apa tidak, serta dalam proses melakukan pengembangan produk yang akan
disampaikan kepada DSN untuk memperoleh fatwa. Selain fungsi-fungsi itu, dalam
perbankan syariah juga diarahkan memiliki fungsi internal audit yang fokus pada
pemantauan kepatuhan syariah untuk membantu DPS, serta dalam pelaksanaan audit
eksternal yang digunakan bank syariah adalah auditor yang memiliki kualifikasi
dan kompetensi di bidang syariah.
Secara
umum terdapat bentuk usaha bank syariah terdiri atas Bank Umum dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), dengan perbedaan pokok BPRS dilarang menerima
simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas sistem pembayaran. Secara
kelembagaan bank umum syariah ada yang berbentuk bank syariah penuh
(full-pledged) dan terdapat pula dalam bentuk Unit Usaha Syariah (UUS) dari
bank umum konvensional. Pembagian tersebut serupa dengan bank konvensional, dan
sebagaimana halnya diatur dalam UU perbankan, UU Perbankan Syariah juga
mewajibkan setiap pihak yang melakukan kegiatan penghimpunan dana masyarakat
dalam bentuk simpanan atau investasi berdasarkan prinsip syariah harus terlebih
dahulu mendapat izin OJK.
B.
Dasar Hukum Perbankan Syariah
1.
Dasar
Hukum Islam (Al – Qur’an & Hadist)
·
QS Al
– Baqarah Ayat 275
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.”
·
QS Ar
– Rum Ayat 39
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar
dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.
Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat
gandakan (pahalanya).”
2.
Dasar
Hukum Perundang-Undangan
Pada tahun 1998,dikeluarkan UU No. 10
Tahun 1998 yang memberikan landasan hukum lebih kuat untuk perbankan
syariah.Melaui UU No. 23 Tahun 1999 [2]hingga disahkannya UU No. 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah,perkembangan perbankan syariah meningkat tajam
terutama dilihat dari peningkatan jumlah bank/kantor yang menggunakan prinsip
syriah dan peningkatan jumlah asset yang dikelola. Untuk mengakomodasi
kebutuhan masyarakat,sebelum 1992,telah didirikan beberapa lembaga keuangan
nonbank yang kegiatannya menerapkan sistem syariah .Selanjutnya melalui UU No.7
Tahun 1992 tentang perbankan dan dijabarkan dalam PP No. 72 tahun 1992,
pemerintah telah memberikan kesempatan untuk pelaksanaan bank syariah. Peraturan pemerintah
nomor 72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil. Peraturan
pemerintah nomor 72 tahun 1992 telah secara spesifik mengatur mengenai bank
berdasarkan prinsip bagi hasil sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1 ayat
(1) dan (2) sebagai berikut :
(1). Bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank
umum atau bank perkreditan rakyat yang melakukan kegiatan usaha semata-mata
berdasarkan prinsip bagi hasil.
(2). Bank umum atau bank perkreditan rakyat yang
melakukan kegiatan usaha bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan pemerintah nomor 70
tahun 1992 ttentang bank umum dan peraturan pemerintah nomor 71 tahun 1992
tentang bank perkreditan rakyat serta peraturan perundang-undangan lainnya yang
berlaku bagi bank umum dan bank perkreditan rakyat.
C. Karakteristik
Bank Syariah Di Indonesia
Seperti Dilansir oleh Direktorat Perbankan Syariah BI
menguraikan ada tujuh karakteristik utama yang menjadi prinsip Sistem Perbankan
Syariah di Indonesia yang menjadi landasan pertimbangan bagi calon nasabah dan
landasan kepercayaan bagi nasabah yang telah loyal. Tujuh karakteristik ini
diterbitkan dan diedarkan berupa sebuah booklet Bank Syariah Untuk Kita
Semua. Ketujuh karakteristik ini adalah :
·
Universal. Memandang
bahwa Bank Syariah berlaku untuk setiap orang tanpa memandang perbedaan
kemampuan ekonomi maupun perbedaan agama.
·
Adil. Memberikan sesuatu
hanya kepada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai dengan posisinya
dan melaran adanya unsur maysir (unsur spekulasi atau
untung-untungan), gharar (ketidakjelasan), haram, riba,
·
Transparan. Dalam
kegiatannya bank syariah sangat terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat.
·
Seimbang. Mengembangkan
sektor keuangan melalui akitfitas perbankan syariah yang mencangkup
pengembangan sektor riil dan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah)
·
Maslahat. Bermanfaat dan
membawa kebaikan bagi seluruh aspek kehidupan
·
Variatif. Produk
bervariasi mulai dari tabungan haji dan umrah, tabungan umum, giro, deposito,
pembiayaan yang berbasis bagi hasil, jual-beli dan sewa, sampai kepada produk
jasa kustodian, jasa transfer, dan jasa pembayaran (debet card, syariah
charge).
·
Fasilitas. Penerimaan dan
penyaluran zakat, infak, sedekah, wakaf, dana kebajikan (qard), memiliki
fasilitas ATM, mobile banking, internet banking dan
interkoneksi antarbank syariah.
Melihat
ketujuh karakteristik ini, kita bisa memahami bahwa Perbankan Syariah sudah
memiliki landasan awal yang kokoh sebagai implementasi dari Falsafah Ekonomi
Syariah dan masyarakat kini dapat memperoleh beragam produk dan skema keuangan
yang variatif,kredibel,lengkap serta adil dan menguntungkan untuk memenuhi
berbagai kebutuhan transaksi keuangan masyarakat modern.
·
Perbedaan
Perbankan Syariah dan Konvensional
Secara garis besar hal-hal yang membedakan antara bank
konvensional dengan bank syariah adalah sebagai berikut:
No. |
Bank
Konvensional |
Bank
Syariah |
1. |
Bebas
nilai |
Berinvestasi
pada usaha yang halal |
2. |
Sistem
bunga |
Atas
dasar bagi hasil, margin keuntungan dan fee |
3. |
Besaran
bunga tetap |
Besaran
bagi hasil berubah-ubah tergantung kinerja usaha |
4. |
Profit
oriented (kebahagiaan dunia saja) |
Profit dan falah
oriented (kebahagiaan dunia dan akhirat) |
5. |
Hubungan
debitur-kreditur |
Pola hubungan: 1.
Kemitraan (musyarakah dan mudharabah) 2.
Penjual – pembeli (murabahah,
salam danistishna) 3.
Sewa menyewa (ijarah) 4.
Debitur – kreditur; dalam
pengertian equity holder (qard) |
6. |
Tidak
ada lembaga sejenis dengan Dewan Pengawas Syariah |
Ada
Dewan Pengawas Syariah (DPS) |
Perbedaan antara system bunga bank dengan prinsip bagi
hasil bank syariah adalah sebagai berikut:
No. |
Sistem
Bunga |
Sistem
Bagi Hasil |
1. |
Asumsi
selalu untung |
Ada
kemungkinan untung/rugi |
2. |
Didasarkan
pada jumlah uang (pokok) pinjaman |
Didasarkan
pada rasio bagi hasil dari pendapatan/keuntungan yang diperoleh nasabah
pembiayaan |
3. |
Nasabah
kredit harus tunduk pada pemberlakuan perubahan tingkat suku bunga
tertentusecarasepihakoleh bank, sesuai dengan fluktuasi tingkat suku bunga di
pasar uang. Pembayaranbunga yang sewaktu-waktu dapat meningkat atau menurun
tersebut tidak dapat dihindari oleh nasabah di dalam masa pembayaran angsuran
kreditnya. |
Margin
keuntungan untuk bank (yang disepakati bersama) yang ditambahkan pada pokok
pembiayaan berlaku sebagai harga jual yang tetap sama hingga berakhirnya masa
akad. Porsi pembagian bagi hasil berdasarkan nisbah (yang disepakati bersama)
berlaku tetap sama, sesuai akad, hingga berakhirnya masa perjanjian
pembiayaan (untuk pembiayaan konsumtif) |
4. |
Tidak
tergantung pada kinerja usaha. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat
meskipun jumlah keuntungan berlipatganda saat keadaan ekonomi sedang baik |
Jumlah
pembagian bagi hasil berubah-ubah tergantung kinerja usaha (untuk pembiayaan
berdasarkan bagi hasil) |
5. |
Eksistensi
bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam |
Tidak
ada agama yang meragukan keabsahan bagi hasil |
6. |
Pembayaran
bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan
oleh pihak nasabah untung atau rugi |
Bagi
hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu
tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama kedua
pihak |
D. Menjelaskan
Fungsi & Tujuan Bank Syariah
Bank syariah memiliki tujuan yang lebih luas
dibandingkan dengan bank konvensional, berkaitan dengan keberadaannya sebagai
institusi komersial dan kewajiban moral yang disandangnya. Selain bertujuan
meraih keuntungan sebagaimana layaknya bank konvensional pada umumnya, bank
syariah juga bertujuan sebagai berikut :
- Menyediakan lembaga keuangan perbankan sebagai sarana
meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Pengumpulan
modal dari masyarakat dan pemanfaatannya kepada masyarakat diharapkan dapat
mengurangi kesenjangan sosial guna tercipta peningkatan pembangunan
nasional yang semakin mantap. Metode bagi hasil ini akan memunculkan
usaha-usaha baru dan pengembangan usaha yang telah ada sehingga dapat
mengurangi pengangguran.
- Meningkatnya partisipasi masyarakat banyak dalam proses
pembangunan karena keengganan sebagian masyarakat untuk berhubungan dengan
bank yang disebabkan oleh sikap menghindari bunga telah terjawab oleh bank
syariah. Metode perbankan yang efisien dan adil akan menggalakkan usaha
ekonomi kerakyatan.
- Membentuk masyarakat agar berpikir secara ekonomis dan
berperilaku bisnis untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
- Berusaha bahwa metode bagi hasil pada bank syariah
dapat beroperasi, tumbuh dan berkembang melebihi bank-bank dengan metode
lain.
Dalam
menjalankan operasinya bank syariah memiliki empat fungsi sebagai berikut
:
- Sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi
dana-dana yang dipercayakan oleh pemegang rekening investasi/deposan atas
dasar prinsip bagi hasil sesuai dengan kebijakan investasi bank ;
- sebagai pengelola investasi atas dana yang dimiliki
pemilik dana/shahibul mal sesuai dengan arahan investasi yang dikehendaki
oleh pemilik dana;
- sebagai penyedia jasa lalu lintas pembayaran dan
jasa-jasa lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; dan
- sebagai pengelola fungsi sosial, konsep perbankan
syariah mengharuskan bank-bank syariah memberikan pelayanan sosial baik
melalui Qardh (pinjaman kebajikan) atau zakat dan dana sumbangan sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam.
E.
Jenis-Jenis
Akad Bank Syariah
·
Wadiah
Dari bahasa Arab, al-wadi’ah dapat diartikan sebagai
titipan murni dari satu pihak ke pihak lainnya. Jadi, jika kita kaitkan dengan
perbankan Syariah, maka al-wadi’ah merupakan titipan murni dari
seorang/sekelompok nasabah ke pihak bank.
Jika ada seorang nasabah yang ingin membuka tabungan
syariah atas dasar akad wadiah, maka nasabah tersebut sebenarnya menitipkan
atau menyimpan sejumlah uang ke bank dan uang tersebut bisa diambil
sewaktu-waktu oleh nasabah.
-Wadiah Yad Al-Amanah: Jenis akad
wadiah pertama, yaitu wadiah yad al-amanah. Jenis akad ini merupakan bentuk
penitipan murni. Apa maksudnya? (1). Pihak yang dititipi
diberikan amanah (sesuai dengan namanya) atau kepercayaan untuk menjaga uang
atau barang. (2). Pihak yang dititipi tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan atau
menggunakan uang atau barang tersebut. Sifatnya hanya dititip saja.
-Wadiah Yad Adh-Dhamanah: Selanjutnya,
jenis akad wadiah kedua, yaitu wadiah yad adh-dhamanah. Akad inilah yang biasa
digunakan oleh perbankan pada umumnya, (1). Pihak bank
(pihak yang dititipi) boleh secara bebas mengelola uang titipan nasabah (pihak
penitip). (2). Nasabah (pihak penitip) boleh mengambil uang sewaktu-waktu atau
kapanpun nasabah kehendaki, dan pihak bank (pihak yang dititipi) harus siap
memberikannya secara utuh.
·
Mudharabah
Sebuah perjanjian yang
ditentukan diawal antara nasabah dan pihak pengelola (bank syariah), dimana
dalam perjanjian ini menjelaskan bahwa nasabah adalah pemilik 100% uang atau
modal, sedangkan bank bertindak sebagai pengelola uang / modal tersebut untuk
jenis usaha/bisnis yang halal. Selanjutnya,
jika sebuah usaha yang dikelola dari modal nasabah tersebut memberikan hasil
(keuntungan) maka akan dibagi diantara keduanya berdasarkan kesepakatan yang
telah dibuat dalam kontrak awal perjanjian. Pembagian hasil keuntungan disebut
dengan nisbah.
·
Qard,
adalah suatu akad
pinjaman (penyaluran dana) kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib
mengembalikan dana yang diterimanya kepada Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) pada waktu yang telah disepakati antara nasabah
dan LKS.
·
Murabahah, adalah perjanjian jual-beli antara bank
dengan nasabah. Bank syariah membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian
menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah
dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah.
·
Salam,
adalah pembeli memesan
barang dengan memberitahukan sifat-sifat serta kualitasnya kepadaa
penjual dan setelah ada kesepakatan. Dengan kata lain , pembelian barang dengan
membayar uang lebih dahulu dan barang yang beli diserahkan kemudian (Dow
Payment) artinya penyetoran harga baik lunas maupun sebagian harga pembelian
sebagai bukti kepercayaan, sehubungan dengan transaksi yang telah dilakukan.
·
Istishna, adalah akad jual beli dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu
yang disepakati antara pemesan (pembeli/ mustashni') dan penjual
(pembuat/shani').
·
Mudharabah
Pembiayaan, adalah akad kerjasama antara bank
selaku pemilik dana (shahibul maal) dengan nasabah selaku (mudharib) yang
mempunyai keahlian atau ketrampilan untuk mengelola suatu usaha yang produktif
dan halal. Hasil keuntungan dari penggunaan dana tersebut dibagi bersama
berdasarkan nisbah yang disepakati.
-Mudharabah
muthlaqah: Pemilik dana memberikan kebebasan
kepada pengelola mengenai usaha yang akan dijalankan. Nasabah tidak ikut campur
usaha apa yang mau dijalankan pihak bank. Namun nasabah masih boleh
mengawasinya.
-Mudharabah
muqayyadah: Pemilik modal memberikan batasan
kepada pengelola, antara lain mengenai tempat, cara dan atau obyek investasi.
·
Musyarakah,
adalah bentuk umum dari
usaha bagi hasil di mana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dalam
melakukan usaha, dengan proporsi pembagian profit bisa sama atau tidak.
Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan
dibagikan menurut proporsi modal. Transaksi Musyarakah dilandasi adanya
keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai asset yang
mereka miliki secara bersama-sama dengan memadukan seluruh sumber daya.
·
Ijarah,
adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari
suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Sedangkan, ijarah Muntahiya Bittamlik, Adalah akad
penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suaru
barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan
barang.
·
Rahn dalam istilah terminologi
positif disebut dengan barang jaminan, agunan dan runggahan. Dalam islam rahn
merupakan sarana saling tolong-menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan atau perjanjian penyerahan barang untuk menjadi
agunan dari fasilitas pembayaran yang diberikan.
·
Wakalah adalah pelimpahan/penyerahan kekuasaan oleh
seseorang sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam
hal-hal yang diwakilkan (dalam hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu
sebatas kuasa atau wewenang yang diberikan oleh pihak pertama, namun apabila
kuasa itu telah dilaksanakan sesuai yang disyaratkan, maka semua resiko dan
tanggung jawab atas dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak
pertama atau pemberi kuasa.
·
Kafalah adalah sebuah perjanjian pemberian jaminan, baik berupa jaminan
diri atau harta (maal), yang diberikan oleh pihak penanggung (kafil) kepada
pihak ketiga (makhful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (makhful anhu
ashill) / pihak yang ditanggung.
·
Hawalah adalah secara bahasa
pengalihan hutang dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah yang mempunyai arti
lain yaitu Al-intiqal dan Al-tahwil,
artinya adalah memindahkan dan mengalihkan. Penjelasan yang dimaksud
adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil (orang
yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih (orang yang
melakukan pembayaran hutang)
·
Sharf
adalah akad penukarn atau transaksi jual-beli.
Akad Sharf adalah transaksi jual beli valuta dengan valuta lainnya. Transaksi
jual beli atau pertukaran mata uang dapat dilakukan baik dengan mata uang yang
sejenis maupun mata uang yang tidak sejenis.
F.
Standar Akuntansi Bank Syariah
Akuntansi
syariah merupakan bagian dari Akuntansi yang relatif sangat baru sehingga tidak
banyak negara yang melakukan pembahasan akuntansi syariah. Perkembangan
Akuntansi Bank Syariah secara konkrit baru dikembangkan pada tahun 1999, Bank
Indonesia sebagai pemprakarsa, membentuk tim penyusunan PSAK Bank Syariah, yang
tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia Nomor 1/16/KEP/DGB/1999,
yang meliputi unsur-unsur komponen dari Bank Indonesia, Ikatan Akuntan
Indonesia, Bank Muamalat Indonesia dan Departemen Keuangan, hal ini seiring
dengan pesatnya perkembangan Perbankan syariah yang merupakan implementasi dari
Undang-Undang nomor 10 tahun 1998.
Dalam pembahasan terdapat cakupan yang jelas
tanggung jawab antara Ikatan Akuntan Indonesia (Dewan Standar Akuntansi) dan
Dewan Syariah Nasional, tetapi kedua unit tersebut tidak bisa dipisahkan satu
dengan yang lain dalam melakukan pembahasan Akuntansi Perbankan Syariah. Ikatan
Akuntan Indonesia bertanggung jawab terhadap pengukuran, pengakuan dan
penyajian atau hal-hal lain yang berkaitan dengan akuntansi, dengan
memperhatikan fakwa dari Dewan Syariah Nasional, karena unit ini yang
berkompeten terhadap hal ini sedangkan Dewan Syariah Nasional bertanggung jawab
terhadap syariah yang ada pada pembahasan akuntansi tersebut, karena unit ini
yang berkompeten tentang syariah, dan berkaitan dengan akuntansi diserahkan
kepada Dewan Standard Akuntansi.
Kerangka Dasar Penyusunan dan
Penyajian Laporan Keuangan Syariah (KDPPLK Syariah) merupakan pengaturan
akuntansi yang memberikan konsep yang mendasari penyusunan dan penyajian
laporan keuangan atas transaksi syariah. Berbeda dengan Kerangka Konseptual
Pelaporan Keuangan (KKPK) pada SAK umum yang mengacu kepada transaksi
konvensional, KDPPLK Syariah memberikan konsep dasar paradigma, asas transaksi
syariah, dan karakteristik transaksi syariah.
Berdasarkan KDPPLK Syariah,
transaksi syariah berasaskan pada prinsip:
a) Persaudaraan
(ukhuwah);
b) Keadilan
(‘adalah);
c) Kemaslahatan
(maslahah);
d) Keseimbangan
(tawazun);
e) Unversalisme
(syumuliyah);
Beberapa karakteristik
transaksi syariah yang disebutkan dalam KDPPLK Syariah diantaranya:
a) Tidak
mengandung unsur riba;
b) Tidak
mengandung unsur kezaliman;
c) Tidak
mengandung unsur maysir;
d) Tidak
mengandung unsur gharar;
e) Tidak
mengandung unsur haram
KDPPLK ini pertama kali disahkan oleh Dewan Standar
Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK IAI) pada 27 Juni 2007 dan
masih berlaku hingga saat ini. Berdasarkan surat Dewan Pengurus Nasional (DPN)
IAI No. 0823-B/DPN/IAI/XI/2013 maka seluruh produk akuntansi syariah yang
sebelumnya dikeluarkan oleh DSAK IAI dialihkan kewenangannya kepada Dewan
Standar Akuntansi Syariah (DSAS) IAI.
2.
Pedoman Standar Akuntansi
Keungan (PSAK) No.59
Intisari Kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah merupakan nilai
lebih tersendiri bagi perbankan syariah.Nasabah bank syariah dari waktu ke waktu
semakin meningkat terbukti semakin maraknya pangsa pasar bank syariah. Adanya kepercayaan
masyarakat yang begitu besar mendorong pemerintah menerbitkan pedoman Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) No. 59. Pedoman ini merupakan standard
keuangan yang diperuntukkan bagi perbankan syariah di Indonesia. Melalui
standard ini perbankan syariah wajib menyelenggarakan kegiatan akuntansi berdasarkan
nilai-nilai
syariah yaitu pengungkapan Islamic Value. Penelitian ini ingin
mengungkap apakah
perbankan syariah telah
mengimplementasikan PSAK No.59 secara konsisten yakni yang
berkaitan dengan pengakuan,
penilaian, penyajian dan pengungkapan. Penelitian ini menggunakan
metode studi literatur atas berbagai penelitian yang pernah
dilakukan dan dianalisis
dengan metode
diskriptif kualitatif. Berdasarkan analisis studi
literatur seputar konsistensi praktik akuntansi syariah pada Bank Syariah dapat
disimpulkan bahwa praktik akuntansi syaraih pada Bank Syariah untuk transaski
penghimpunan dan penyaluran dana pihak ketiga telah dilaksanakan secara
konsisten. Sementara akuntansi untuk bagi hasil belum sepenuhnya
konsisten dipraktikkan.
Terhitung Sejak 1992-2002 atau 10
tahun lembaga keuangan baik bank syariah maupun entitas syariah yang lain tidak
memiliki PSAK khusus yang mengatur transaksi dan kegiatan berbasis
syariah. PSAK No.59 sebagai produk pertama Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) – Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) untuk
entitas syariah dan merupakan awal dari pengakuan dan eksistensi keberadaan
akuntansi syariah di Indonesia. PSAK No.59 Akuntansi Perbankan Syariah dan
kerangka dasar penyusunan laporan keuangan Bank Syariah ini disahkan tanggal 1
Mei 2002 dan yang resmi berlaku mulai 1 Januari 2003. Adapun Kronologis
Penyusunan PSAK Perbankan Syariah (2003) di jelaskan sebagai berikut:
1. Januari – Juli 1999,
masyarakat mulai memberi usulan mengenai standar akuntansi untuk bank syariah.
2.
Juli 1999, usulan masuk agenda dewan konsultan SAK.
3. Agustus 1999,
dibentuk tim penyusunan pernyataan SAK bank syariah.
4. Desember 2000, Tim
penyusunan menyelesaikan konsep exposure draf.
5. 1 Juli 2001, exposure
draft disahkan mengenai kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan
keuangan bank syariah dan PSAK Akuntansi Perbankan Syariah.
6. 1 Mei 2002, pengesahan
kerangka dasar penyusunan dan penyusunan dan pengajian laporan keuangan Bank Syariah dan PSAK
Akuntansi Perbankan Syariah.
7. 1 Januari 2003, mulai
berlaku krangka dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan bank syariah
dan PSAK Akuntansi Syariah.
PSAK
No.59 dikhususkan untuk
kegiatan transaksi syariah hanya di sektor perbankan syariah, ini sangat ironis
karena ketika itu sudah mulai menjamur entitas syariah selain dari perbankan
syariah, seperti asuransi syariah, pegadaian syariah, koperasi syariah. Maka seiring
tuntutan akan kebutuhan akuntansi untuk entitas syariah yang lain maka Komite Akuntansi Syariah Dewan Standar
Akuntasi Keuangan (KAS DSAK) menerbitkan enam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK)
bagi seluruh lembaga keuangan syariah
(LKS) yang disahkan tanggal 27 Juni 2007 dan berlaku mulai tanggal
1 Januari 2008 atau pembukuan tahun yang berakhir tahun 2008.
Adapun Ke-enam PSAK
itu adalah:
1. PSAK
No
101 :
Penyajian laporan keuangan syariah.
2. PSAK
No
102 : Aakuntansi
Murabahah (Jual beli),
3. PSAK
No 103
: Akuntansi Salam.
4. PSAK
No 104
: Akuntansi Isthisn.
5. PSAK
No 105
: Akuntansi Mudarabah (Bagi hasil).
6. PSAK
No 106
:Akuntansi Musyarakah (Kemitraan).
Keenam PSAK merupakan standar
akuntansi yang mengatur seluruh transaksi keuangan syariah dari berbagai LKS.
Dalam penyusunaan keenam PSAK, KAS DSAK mendasarkan pada Pernyataan Akuntansi
Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) Bank Indonesia. Selain itu, penyusunan
keenam PSAK juga mendasarkan pada sejumlah fatwa akad keuangan syariah yang
diterbitkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI).
3. Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia
(Papsi)
Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI)
merupakan pedoman yang mengatur secara teknis dan rinci penjabaran Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor No.59 tanggal 1 Mei 2002 tentang
Perbankan Syariah. Tim penyusunan PAPSI dibentuk berdasarkan Keputusan
Deputi Gubernur Bank Indonesia No.2/8/KEP.DpG/2000 tanggal 12 September tahun
2000. Dalam proses penyusunan PAPSI, tim penyusun berpedoman kepada
standar-standar yang terdapat di dalam PSAK No.59 tentang Akuntansi
Perbankan Syariah yang telah direview oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) melalui suratnya No. U-118/DSN-MUI/IV/2002 tanggal 17
April 2002.
Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia
berdasarkan SE BI No.5/26/BPS tanggal 27 Oktober 2003, mencakup 13 bagian yang
secara ringkas isinya sebagai berikut:
1. Bagian I
Pendahuluan
2. Bagian II Laporan
Keuangan Bank Syariah
3. Bagian III Aktiva
4. Akuntansi Kewajiban
5. Akuntansi Investasi
6. Ekuitas
7. Laporan Laba/Rugi
8. Laporan Arus Kas
9. Laporan Perubahan Ekuitas
10.Laporan Perubahan
Investasi Terikat
11.Laporan Sumber dan
Penggunaan Dana ZIS
12.Laporan Sumber dan
Penggunaan Dana Qardh
13.Catatan Atas Laporan
Keuanga
Pesatnya perkembangan industri perbankan syariah,
kompleksitas transaksi yang terjadi di dalamnya, dan besarnya tuntutan
masyarakat akan transparansi bank syariah, memicu perbankan syariah untuk
meningkatkan kemampuannya dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat. Demikian
juga pada sisi pengaturan diperlukan adanya peraturan yang relevan dan dapat
diimplementasikan dengan kondisi yang ada.
Pelatihan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan
yang memadai dalam pembahasan dan penerapan PAPSI revisi tahun 2013. Sehingga
perbankan syariah dapat menyajikan laporan keuangan yang memiliki kualitas
tinggi dengan informasi yang akurat dan komprehensif bagi semua stakeholder dan
mencerminkan kinerja bank syariah secara utuh.
BAB III
PENUTUP
Bank syari’ah terdiri dua kata, yaitu bank dan
syari’ah. Kata bank bermakna suatu lembaga keuangan yag berfungsi sebagai
perantara keuangan dari kedua belah pihak yait pihak yang kelebihan dana dan
pihak yang kekurangan dana. Kata syari’a dalam versi bank syari’ah adalah atura
peranjian berdasarkan yang dilakukan oleh pihak bank dan pihak lain untuk
menyimpan dana dan atas pembiayaan kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai
hukum islam. Maka bank syari’ah dapat diartikan sebagai suatu lembaga euanga
ang berfungsi menjadi perantara bagi pihak yang berlebihana dan dn pihak yang
membutuhkan dana untuk kegiatan usah atau kegiatan yang lainnya sesuai hukum
islam.
·
Kegiatan dan usaha bank
selalu berkaitan dengan komoditas antara lain:
a.
Pemindahan uang.
b.
Menerima dan membayarkan kembali uang dalam rekening koran.
c.
Mendiskonsurat wesel, surat order maupun surat-surat berharga lainnya.
d.
Membeli dan menjual surat-surat berharga,.
e.
Membeli dan menjual cek wesel, surat wesel, kertas dagang.
f.
Membeli kredit.
g.
Memberi jaminan kredit.
Secara
umum adalah melarang melakukan transaksi yang mengandung unsur-unsur riba,
maisir, gharar, dan jual beli barang haram. Prinsip bank syariah ini diterapkan
untuk mencapai tujuan sesuai jalur syariah. Pada artikel sebelumnya, telah
dijelaskan bahwa setidaknya ada 11 macam prinsip bank syariah, yaitu
Mudharabah, Musyarakah, Wadi’ah, Murabahah, Salam, Istishna’, Ijarah, Qardh,
Rahn, Hiwalah/Hawalah.