KATA PENGANTAR
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT
atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan
selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak
yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap
lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih
banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan
dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Bekasi, 14 November 2021
Penulis,
BAB I
PENDHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Untuk
mencukupi kebutuhan di negaranya, Portugis melakukan pelayaran ke timur dengan
maksud untuk mencari rempah-rempah. Pada 15 Agustus 1511, mereka berhasil
merebut Malaka, dan kemudian mengalihkan perhatiannya ke Maluku karena mereka
telah mengetahui bahwa Maluku merupakan penghasil rempah-rempah besar. Setelah
itu, mereka membangun kerja sama dagang dengan Kesultanan Ternate ketika
kesultanan Ternate dan Tidore saling bermusuhan. Bersamaan dengan itu, Armada
Laut Spanyol datang ke Maluku pada tahun 1521. Spanyol yang sedang bersaing
dengan Portugis diterima di Tidore. Karena diangap melanggar perjanjian
Tordesillas, maka Armada Spanyol pergi dari Maluku dan menetap di Filipina.
Ternate
yang merupakan pusat utama perdagangan cengkeh memiliki ketergantungan erat
pada Portugis sejak mereka mendirikan benteng di sana pada tahun 1522. Pada
awalnya, elit Ternate menganggap bahwa Portugis yang memegang kuasa atas bandar
persinggahan di Melaka serta memiliki persenjataan yang relatif lebih unggul
dapat dijadikan sebagai sekutu yang berguna. Namun, setelah beberapa waktu,
perilaku para serdadu Portugis yang tidak disukai masyarakat setempat memicu
penolakan. Hubungan antara Sultan Khairun dan kapten-kapten Portugis tidak
begitu mulus, walaupun mereka tetap membantunya mengalahkan negeri-negeri lain
di Maluku, seperti Kesultanan Tidore dan Jailolo.
Konflik
antara Ternate dan Portugis pecah pada tahun 1560-an, ketika Muslim di Ambon
meminta bantuan dari Sultan untuk mencegah orang-orang Eropa yang mencoba
mengkristenkan daerah tersebut. Sultan Khairun pun mengirimkan sebuah armada di
bawah pimpinan Kaicili Baab untuk mengepung desa Kristen Nusaniwi pada tahun
1563. Namun, pengepungan ini dibatalkan setelah tiga kapal Portugis datang.
Selama beberapa waktu setelah tahun 1564, orang-orang Portugis terpaksa
meninggalkan Ambon secara keseluruhan, walaupun mereka kembali menetap di sana
pada tahun 1569. Baab juga ikut andil dalam sebuah ekspedisi ke bagian utara
Sulawesi pada 1563 untuk membawa wilayah tersebut ke dalam kuasa kesultanan
pimpinan ayahnya. Petinggi Portugis memahami bahwa penaklukan semacam ini akan
diikuti dengan penyebaran agama Islam yang dapat menggoyahkan posisi mereka di
Nusantara, sehingga mereka pun berusaha mendahuluinya dengan usaha
pengkristenan penduduk Manado, Pulau Siau, Kaidipang, dan Toli-Toli, antara
lain.
Selepas
perselisihan mengenai kepemilikan Pulau Ambon, Khairun semakin meningkatkan
kekuatan Ternate hari demi hari. Perkembangan ini membuat pemimpin-pemimpin
Portugis khawatir. Wilayah pengaruh Portugis di Halmahera diserang oleh
pasukan-pasukannya. Sebagai penguasa jalur laut, Khairun juga dapat
menghentikan pengiriman suplai bahan pangan yang vital dari Moro di Halmahera
ke pemukiman Portugis di Ternate. Pada tahun 1570 Kapten Diogo Lopes de
Mesquita (1566-1570) secara resmi melakukan rekonsiliasi dengan sang Sultan,
tetapi hal ini tidak menurunkan ketegangan antar kedua pihak.[1]
1.2 Rumusan
masalah
·
Bagaimana
Sejarah Portugis Bisa Sampai Kemaluku?
·
Bagaimana
Sejarah Perlawanan Ternate melawan Portugis?
1.3
Tujuan
Untuk menambah wawasan sisa tentang sejarah
raja sultan Kahirun dan sejarah perlawanan rakyat ternate terhadap Portugis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kedatangan
Portugis Kemaluku
Kedatangan
bangsa Portugis di Maluku bertujuan untuk mencari rempah-rempah. Setelah
menaklukkan Bandar Malaka pada 1511, kapal-kapal dagang Portugis berlayar
menuju kepulauan Maluku dan Banda untuk mencari rempah-rempah, seperti dikutip
dari makalah Didik Pradjoko, dosen Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) dalam Konferensi Nasional Sejarah.
Sebelum
kedatangan bangsa Eropa, termasuk Portugis, rakyat Maluku makmur dari hasil
rempah-rempah yang dikumpulkan di Bandar Malaka. Saat itu, Bandar Malaka
menjadi pelabuhan utama pengumpulan dan distribusi cengkeh serta rempah-rempah
Asia Tenggara, seperti dikutip dari penelitian Syahyunan Pora, Dosen Filsafat
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Khairun Ternate dalam Prosiding Seminar
Nasional Banda Neira.
Rempah
saat itu diartikan sebagai substansi yang memiliki rasa kuat dan aromatik dari
tumbuhan tropis yang dikenal dengan manfaat aromanya atau kemampuannya
mengawetkan sesuatu. Rempah diambil dari bagian kulit, akar, pucuk, bunga,
getah, dan damar, termasuk sari bunga atau buah. Berbeda dengan rempah, herba,
yang biasa dijumpai dan tumbuh di daerah bangsa lain yang bersuhu dingin,
berasal dari daun tanaman.[2]
Bangsa
Portugis pertama kali menginjakkan kaki di kawasan Maluku pada 1512, di masa
Sultan Bayanullah dari Kesultanan Ternate. Armada Portugis itu tiba di perairan
Banda dengan kapten Antonio de Abreu. Sultan mengutus adiknya dan beberapa
pejabat kesultanan untuk melakukan pembicaraan dan akhirnya mengajak Fransisco
Serrao, salah seorang di ekspedisi Portugis tersebut, seperti dikutip dari
penelitian Rosdiyanto, "Kesultanan Ternate dan Tidore" dalam Jurnal
Aqlam, IAIN Manado.
Perbincangan
dengan Fransisco itu menghasilkan beberapa kebijakan Sultan yang kelak
melemahkan posisi Kesultanan Ternate. Salah satu kebijakan tersebut yakni
pendatang dari Portugis diizinkan membangun benteng di Ternate, dengan benteng
pertama pada yakni benteng Toloko pada 1522.
Kedekatan
Sultan dengan orang Portugis meresahkan rakyat seteh Portugis ikut campur dalam
urusan dalam negeri, seperti pengangkatan dan perwarisan tahta kerajaan.
Kekecewaan rakyat Ternate membuat Sultan Bayanullah diracun rakyatnya sendiri
hingga tewas.
Adapun
Sultan Khairun, salah satu dari empat Sultan Ternate yang membawa kebesaran
Ternate dikhianati oleh Lopez de Mesquita dari Portugis. Saat menghadiri
perjamuan besar, ia ditikam saat hendak masuk gerbang oleh Antonio Pimental
atas suruhan Lopez dan dimutilasi, lalu jenazahnya dilemparkan ke laut.
Pada
1528, penjelajah Dom Jonge de Meneses dengan sekutunya, Ternate dan Bacan
mengalahkan Tidore dan orang Spanyol (Kastilia). Namun Dom Jonge dan Kapten
Goncalo Pereira dibunuh karena memaksa orang Ternate menyetor 1/3 hasil cengkeh
ke raja Portugis. Portugis diusir dari Ternate terutama saat sikap Tristoa de
Altaida kasar terhadap penduduk Ternate, sehingga menimbulkan pemberontakan.
Benteng Portugis dibakar dan Raja Ternate memobilisasi Maluku dan Irian
mengusir Portugis.
Pada abad
itu, pala menjadi magnet bagi bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda. Setelah
menguasai Malaka, Portugis yang menguasai rute menuju Maluku dan
kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah merahasiakan rute pelajaran mereka
agar bisa dimonopoli.
2.2 Penyebab
Terjadinya Perlawanan Terhadap Bangsa Portugis
Setelah
berhasil menguasai Malaka pada 1511, Bangsa Portugis melanjutkan perjalanan ke
Maluku. Tujuan utamanya menguasai rempah-rempah di Ternate atau Maluku. Awalnya
kedatangan Bangsa Portugis disambut hangat oleh raja dan rakyat Ternate. Bahkan
Portugis diberi kesempatan mendirikan benteng dan hak monopoli perdagangan
cengkeh. Keserakahan Portugis dan ketentuan harga cengkeh yang terlalu rendah,
membuat rakyat Ternate atau Maluku sengsara. Permusuhan antar keduanya pun
tidak dapat dihindarkan. Akibatnya Portugis harus memindahkan kegiatan dagang
mereka ke Nusa Tenggara.
Menurut
Miskuindu AS dalam Diktat Sejarah Nasional Indonesia (2019), perlawanan
terhadap Bangsa Portugis didasari karena keserakahan mereka dan monopoli
perdagangan yang terjadi di beberapa daerah, seperti Aceh dan Maluku.
Perlawanan ini terjadi karena sebab-sebab berikut
ini:
1.
Portugis
melakukan monopoli perdagangan.
2.
Portugis
ikut campur tangan dalam pemerintahan.
3.
Portugis
ingin menyebarkan agama Katholik, yang berarti bertentangan dengan agama yang
telah dianut oleh rakyat Ternate.
4.
Portugis
membenci pemeluk agama Islam karena tidak sepaham dengan mereka.
5.
Portugis
sewenang-wenang terhadap rakyat.
6.
Keserakahan
dan kesombongan bangsa Portugis.
Berdasarkan
faktor-faktor tersebut, maka kehendak Portugis ditolak oleh raja Ternate.
Rakyat Ternate dipimpin oleh Sultan Hairun bersatu dengan Tidore melawan
Portugis, sehingga Portugis dapat didesak. Pada waktu terdesak, Portugis
mendatangkan bantuan dari Malaka dipimpin oleh Antoni Galvo, sehingga Portugis
mampu bertahan di Maluku.[3]
Perlawanan ini juga disebabkan oleh beberapa
hal lainnya, yaitu:
·
Portugis
berusaha memperluas daerah kekuasaannya. Caranya dengan menaklukkan banyak
kerajaan di Indonesia, seperti Kerajaan Demak, Kerajaan Ternate dan Tidore
serta Kerajaan Aceh.
·
Portugis
melarang Bangsa Indonesia untuk berlayar ke laut merah dan berdagang
rempah-rempah. Hal ini merupakan salah satu contoh monopoli perdagangan
Portugis.
·
Portugis
menangkap kapal dagang milik masyarakat Indonesia, tujuannya untuk memonopoli
perdagangan.
2.3 Perlawanan
terhadap Bangsa Portugis
Bangsa
Indonesia merasa geram dengan tindakan Portugis dalam memonopoli perdagangan.
Maka dari itu, rakyat Indonesia melakukan berbagai upaya perlawanan terhadap
Portugis.
Apa sajakah bentuk perlawanannya?
1.
Tidak
menjual rempah-rempah ke Bangsa Portugis. Contohnya pedagang Aceh yang tetap
berani membawa lada ke India serta Laut Merah.
2.
Timbulnya
perlawanan dari rakyat Aceh, Demak serta Ternate atau Maluku terhadap Portugis.
2.4 Perlawanan
Ternate Dipimpin Sultan Hairun
Pada
tahun 1565, rakyat Ternate bangkit kembali di bawah pimpinan Sultan Hairun.
Raja Ternate yang sangat gigih melawan Portugis adalah Sultan Hairun yang
bersifat sangat anti-Portugis. Portugis berusaha menangkap Sultan Hairun, namun
rakyat bangkit untuk melawan Portugis dan berhasil membebaskan Sultan Hairun
dan tawanan lainnya. Beliau dengan tegas menentang usaha Portugis untuk
melakukan monopoli perdagangan di Ternate. Rakyat Ternate di bawah pimpinan
Sultan Hairun melakukan perlawanan. Rakyat menyerang dan membakar
benteng-benteng Portugis. Portugis kewalahan menghadapi perlawanan tersebut.
Dengan kekuatan yang lemah, tentu saja Portugis tidak mampu menghadapi
perlawanan. Oleh karena itu, pada tahun 1570 dengan licik Portugis menawarkan
tipu perdamaian. Sehari setelah sumpah ditandatangani, de Mosquito mengundang
Sultan Hairun untuk menghadiri pesta perdamaian di benteng. Tanpa curiga Sultan
Hairun hadir, dan kemudian dibunuh oleh kaki tangan Portugis. Peristiwa ini
menimbulkan kemarahan besar bagi rakyat Maluku dan terutama Sultan Baabullah,
anak Sultan Hairun.
2.5 Perlawanan
Ternate Dipimpin Sultan Babullah
Perlawanan
rakyat Ternate dilanjutkan di bawah pimpinan Sultan Baabullah (putera Sultan
Hairun). Bersama rakyat, Sultan Baabullah bertekad menggempur Portugis. Pasukan
Sultan Baabullah memusatkan penyerangan untuk mengepung benteng Portugis di
Ternate. Lima tahun lamanya Portugis mampu bertahan di dalam benteng yang
akhirnya menyerah pada tahun 1575 karena kehabisan bekal. Kemudian Portugis
melarikan diri ke Timor Timur. Pada tahun 1574 benteng Portugis dapat direbut,
kemudian Portugis menyingkir ke Hitu dan akhirnya menguasai dan menetap di
Timor-Timur sampai Tahun 1975.[4]
2.6 Peperangan
Kematian
Sultan Khairun memicu kemurkaan orang-orang Ternate serta raja-raja Maluku
lainnya. Dewan diraja Ternate, yang didukung oleh para kaicili dan sangaji
(penguasa daerah), mengadakan musyawarah di Pulau Hiri dan menetapkan Kaicili
Baab sebagai Sultan Ternate berikutnya, dengan gelar Sultan Baabullah Datu
Syah. Menurut satu riwayat yang tercatat di kemudian hari, pada pertemuan itu
mereka berikrar: "Apa yang mesti kita segani dari Portugis jika kita
menyadari kekuatan kita sendiri? Apa yang mesti kita takuti, apa yang dapat
membuat kita putus asa? Bangsa Portugis memuliakan orang yang merampok paling
banyak, dan yang bergelimang kejahatan serta dosa-dosa besar ... Negeri kita
adalah tanggungan kita, dan begitu pula perlindungan akan orang tua, istri,
anak-anak dan kemerdekaan kita.[8] Sultan bermaksud untuk berperang demi
menegakkan kembali agama Islam di Maluku, membawa Kesultanan Ternate menjadi
kekuatan utama, dan mengusir orang-orang Portugis dari negerinya.[9][10]
Di
Ternate, terjadi pertempuran antara tentara Portugis melawan tentara Sultan
Hairun dari tahun 1550. Pada tahun 1570, Sultan Hairun dibunuh oleh
Portugis.[1] Akibatnya, pengganti Sultan Hairun, yaitu Sultan Baabullah,
bersumpah akan terus memusuhi Portugis[1] Sebagai balasan atas pembunuhan
Khairun, Baabullah meminta agar Lopes de Mesquita dibawa ke hadapannya untuk
diadili. Benteng-benteng Portugis di Ternate, yaitu Tolucco, Santa Lucia, dan
Santo Pedro jatuh dalam waktu singkat, menyisakan São João Baptista (kediaman
Mesquita) sebagai pertahanan terakhir. Di bawah komando Baabullah, pasukan
Ternate mengepung São João Baptista dan memutuskan hubungan benteng tersebut
dengan dunia luar; suplai makanan dari luar tidak diperbolehkan masuk kecuali
sejumlah kecil sagu yang hampir-hampir tidak dapat membantu penduduk benteng
bertahan hidup. Walaupun begitu, pasukan Ternate sesekali memperbolehkan
pertemuan antara penduduk benteng yang dikepung dengan masyarakat pulau
lainnya—sebab banyak penduduk asli Ternate kala itu yang memiliki hubungan
kekerabatan dengan Portugis melalui pernikahan. Dalam kondisi tertekan seperti
ini, orang-orang Portugis mengangkat Alvaro de Ataide sebagai kapten baru
mereka menggantikan Lopes de Mesquita. Namun, pergantian kepemimpinan ini tidak
menggoyahkan niat Baabullah untuk mengusir orang-orang Eropa[11] Tersisa hanya
400 orang dengan keadaan mengenaskan. Portugis tidak dapat mengirim bala
bantuan karena Malaka sedang dikepung oleh Kesultanan Aceh.[1] Sultan Baabullah
tidak membantai dan menyiksa para tawanan portugis, namun ia memberikan
kesempatan selama 24 jam untuk pergi ke Malaka dan Ambon. Bila masih ada orang
Portugis di Ternate, mereka akan dijadikan budak.[12]
Selagi
pengepungan tersebut berlangsung, pasukannya menyerang wilayah-wilayah yang
menjadi pusat misi Yesuit di Halmahera, dan memaksa penguasa Bacan yang sudah
dibaptis untuk beralih kembali ke Islam pada sekitar tahun 1571.[13] Pada tahun
1571 sebuah armada Ternate dengan enam kora-kora besar di bawah pimpinan Kapita
Kalasinka menyerbu Ambon.[14] Pasukan Ternate juga berhasil menaklukkan wilayah
Hoamoal (di Seram), Ambelau, Manipa, Kelang dan Boano. Tentara Portugis yang
dikomandoi Sancho de Vasconcellos berusaha dengan susah payah untuk
mempertahankan benteng-benteng mereka, dan kehilangan kuasa mereka di laut atas
perdagangan cengkeh.[15]
Pada
tahun 1575 sebagian besar tanah Portugis di Maluku telah diambil alih oleh
Ternate, dan suku-suku serta negeri-negeri yang mendukung Portugis telah
benar-benar tersudut. Hanya São João Baptista saja yang masih dalam
pengepungan. Selama lima tahun sebelumnya orang Portugis beserta keluarga
mereka mengalami kesulitan hidup di dalam benteng yang terputus dari dunia luar
tersebut. Sultan Baabullah menuntut agar orang-orang Portugis di dalam benteng
segera menyerahkan diri untuk meninggalkan Ternate, dan berjanji akan
memberikan kapal serta suplai agar mereka dapat mencapai Ambon. Sementara itu
penduduk benteng yang berasal dari Ternate diperbolehkan tinggal selama mereka
mengakui pemerintahan kesultanan. Kapten Nuno Pereira de Lacerda menerima
persyaratan tersebut.
2.7 Menyerahnya
Bangsa Portugis
Setelah
mengumumkan perang, pasukan Sultan Khairun menggempur kerajaan-kerajaan kecil
yang sebelumnya telah terindikasi bakal memberontak. Satu demi satu
kerajaan-kerajaaan tetangga itu pun dapat ditundukkan oleh Kesultanan Ternate
dan sekaligus memperlemah kekuatan Portugis.
Armada
tempur Ternate cukup besar, salah satunya berkat bantuan persenjataan dari
Turki Usmani. Bahkan, Khairun masih bisa mengirimkan pasukan untuk membantu
Aceh dan Demak yang sedang menghadapi Portugis di Malaka. Abdul Ghofur Anshori
& Yulkarnain Harahap (2008) dalam Hukum Islam: Dinamika dan
Perkembangannya di Indonesia, menyebut ketiganya membentuk Tripple Alliance untuk
membendung Portugis di Nusantara (hlm. 98).
Di Maluku, Ternate juga tak sendiri. Sultan
Khairun bergabung dengan Tanah Hitu, salah satu kerajaan Islam di Maluku.
Raja-raja dari Jailolo, Bacan, dan Tidore juga turut bergabung dan sepakat
untuk membasmi bangsa asing (Walter Bonar Sidjabat, Panggilan Kita di Indonesia
Dewasa Ini, 1964:78). Tidak hanya itu, Sultan Khairun juga memperoleh bantuan
pasukan dari Jawa atas perintah Ratu Kalinyamat yang memerintah di Jepara. Ratu
Kalinyamat adalah putri mantan penguasa Demak, Sultan Trenggono.
Benteng
Portugis yang berada di wilayah Ternate dikepung pada 1558. Pangeran Laulata,
putra Sultan Khairun, memimpin pasukan menyerang Portugis di Maluku selatan
dengan pusatnya di Ambon. Banyak negeri di pulau itu yang berhasil ditaklukkan
(M. Adnan Amal, Maluku Utara: Perjalanan Sejarah 1250-1800, 2002:198).
Tahun
1567, hampir seluruh kekuatan Portugis dapat diatasi oleh Ternate. Gubernur
Portugis di Maluku, Diogo Lopez de Mesquita, menyerah dan memohon perdamaian. Sultan
Khairun menyambut baik permintaan itu. Portugis tetap diperbolehkan berdagang
di Maluku tapi tidak lagi mendapatkan hak monopoli. Sultan Khairun juga tidak
melarang masyarakat Maluku yang telah memeluk Katolik untuk menjalankan ibadah.
Bahkan, sang sultan mengizinkan pula kaum misionaris untuk kembali
beraktivitas, termasuk membangun kembali gereja-gereja Katolik, asalkan tidak
menyentuh pemeluk Islam.[5]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Latar
belakang memicunya perlawan oleh Pattimura, di karnakan selain dari tekanan ekonomi
yang kuat setelah dominasi VOC, juga karena hal-hal berikut. Alasan ekonomi,
yaitu tindakan pemerintah Belanda yang memperburuk kehidupan masyarakat,
seperti sistem pengembalian paksa, kewajiban kerja yang tidak signifikan,
pengiriman atap dan gaba, penyajian ikan asin, cretin dan kopi. Selain itu,
peredaran uang kertas mencegah masyarakat Maluku untuk dapat menggunakannya
untuk kebutuhan sehari-hari karena mereka tidak terbiasa. Penyebab psikologis,
yaitu pemecatan guru sekolah karena pengurangan sekolah dan gereja dan
pengiriman Maluku untuk dinas militer di Batavia. Hal-hal tersebut di atas
adalah tindakan penindasan oleh pemerintah Belanda terhadap rakyat Maluku.
[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Ternate-Portugal
di akses pada Minggu, 14 November 2021
pada pukul 19:48 WIB
[2] https://www.detik.com/ di akses pada Minggu, 14
November 2021 pukul 20:50WIB
[3] http://www.guruips.com/ Diakses pada Senin, 15
November 2021 pukul 08:09WIB
[4] https://www.kompas.com/ di akses pada senin,
15 November 2021 pukul 09:21WIB
[5] https://tirto.id/ diakses pada senin, 15 November
2021 pukul 11:02WIB