KATA
PENGANTAR
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT
atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan
selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak
yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap
lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih
banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan
dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Bekasi, 16 November 2021
Penulis
2.1 Perlawanan Makassar Terhadap
Belanda
2.2 Jalannya Perlawanan Makassar
Terhadap Belanda
2.4 Dampak Perlawanan Makassar
Terhadap Belanda
BAB I
PENDHULUAN
1.1 Latar Belakang
Makassar
tidak hanya dikenal dengan Pantai Losari-nya, tapi juga keagungan kesultanannya
dan sejarah Perang Makassar yang melegenda. Sebelum menjadi Kesultanan Makassar
pada abad XI, sebenarnya terdapat dua kerajaan besar di Sulawesi Selatan yaitu
Kerajaan Gowa dan Tallo. Kedua kerajaan ini saling berselisih hingga masuknya
ajaran Islam ke Sulawesi.
Islam
dibawa masuk ke Sulawesi oleh sejumlah ulama dari Minangkabau. Ajaran Islam
berkembang cukup pesat di kalangan masyarakat biasa hingga kerajaan. Hingga
pada tahun 1650 penguasa Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya juga memeluk agama
Islam. Dua kerajaan itu pun juga mendeklarasikan untuk bersatu menjadi
Kesultanan Gowa Tallo atau dikenal juga sebagai Kesultanan Makassar.
Setelah
bersatu Kerajaan Makassar bersatu, pusat pemerintahan dipindah ke Somba Opu
yang lokasinya sangat strategis karena berada di jalur pelayaran Malaka dan
Maluku. Kawasan ini akhirnya menjadi tempat yang sangat penting di wilayah
Indonesia Timur terlebih setelah banyaknya aktivitas perdagangan internasional.
Kegemilangan Kesultanan Makassar terusik sejak hadirnya VOC dan memicu lahirnya
perang. Perang Makassar melawan VOC dimulai tahun 1669 dan berlangsung selama
kurang lebih 3 tahun. Namun sebenarnya bibit perang besar ini sudah ada jauh
sebelum meletusnya perang.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perlawanan Makassar Terhadap Belanda
Pada masa Hasanuddin terjadi peristiwa yang
sangat penting. Persaingan antara Goa-Tallo (Makassar) dengan Bone yang
berlangsung cukup lama diakhiri dengan keterlibatan Belanda dalam Perang
Makassar (1660-1669). Perang ini juga disulut oleh perilaku orang-orang Belanda
yang menghalang-halangi pelaut Makassar membeli rempah-rempah dari Maluku dan
mencoba ingin memonopoli perdagangan. Sebagai salah satu kota dan Bandar niaga
di Asia Tenggara, Somba Opu memiliki setidak-tidaknya lima konsul dagang Eropa
sebagai tempat perwakilan dagang Negara-Negara Eropa di kerajaan itu.
Konsulat dagang yang ada di Somba Opu antara
lain, Konsulat Portugis, Konsulat Denmark, Konsulat Inggris, Konsulat Spanyol
dan Konsulat Belanda. Namun Konsulat Belanda menarik diri pada tahun 1661
karena perang. Awal tahun 50an perusahaan-perusahaan ekspedisi Belanda
berlomba-lomba mengirimkan armadanya untuk memperebutkan rempah Indonesia.
Akibat persaingan itu adalah meningkatnya pengiriman rempah ke Eropa dan
naiknya harga rempah.
Untuk mengatasi persaingan dagang yang tidak
sehat pada tahun 1602 perusahaan-perusahaan ekspedisi Belanda itu akhirnya
melebur menjadi satu pada tanggal 20 Maret 1602 dengan nama Vereenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC atau Perserikatan Maskapai Hindia Timur). Dalam
lidah kita persekutuan dagang itu dikenal dengan nama Kompeni (dari kata
Compagnie). Namun perwakilan dagang VOC di Somba Opu tidak terlalu berkembang
karena kekurangan modal dibandingkan dengan perwakilan-perwakilan dagang Eropa
lainnya. Akibatnya perwakilan dagang VOC tutup. Memang, sementara volume
perdagangan antara Gowa dengan Negara-Negara Eropa lainnya berkembang sedangkan
VOC malah terancam bangkrut.
Pedagang rempah di Maluku yang selama ini
menjadi sumber utama VOC telah segan untuk berdagang dengan VOC karena memasok
harga dibawah standar Somba Opu. Akibatnya ibukota Somba Opu semakin ramai dan
semarak menjadi ajang tawar-menawar perdagangan. Dan oleh sebab itu juga Somba
Opu menjadi incaran utama pedagang-pedagang dari Eropa untuk mendapatkan modal
yang tinggi. Alasan bangkrutnya VOC yaitu disebabkan karena mereka lagi
berperang dengan Malaka. Sejak jatuhnya kerajaan Malaka ke tangan kompeni
banyak pedagang asing yang merupakan saingan kompeni membangun ,usaha di
Makassar yang merupakan pusat perdagangan. Melihat kejayaan kerajaan Makassar.
Kompeni berniat hendak mematikan usaha-usaha
dagang yang sungguh sangat maju dan semarak itu. Kompeni tidak tahan melihat
perdagangan Cengkeh hasil dari Kepulauan Maluku yang di usahakan
pedagang-pedagang Spanyol, Portugis, Inggris dan bangsa lain-lain berjalan
sangat pesat di Somba Opu yang merupakan sebagai pelabuhan transito. Pada tahun
1637 terjadi peperangan antara pedagang-pedagang asing (alinasi Portugis,
Inggris, Spanyol, Denmark dan Francis) dengan Belanda karena mereka menilai
Belanda telah merusak tata niaga perdagangan dan menentang prinsip-prinsip
Perjanjian Eropa (West Phalia) dan Perjanjian Hiderabat.
Sultan Hasanuddin yang merupakan raja dari
Kerajaan Makassar pada saat itu membantu aliansi Eropa melawan Belanda dalam
perang. Akibatnya kompeni Belanda terdesak di beberapa wilayah di Maluku dan
Selat Makassar. Bantuan Raja Sultan Hasanuddin dipandang sebagai perang terbuka
oleh kompeni. Akibatnya Belanda lebih mengkonsentrasikan diri untuk merebut
kota dagang Somba Opu. Terjadilah peperangan selama puluhan tahun, namun pada
akhir tahun 1667 Kerajaan Makassar menyerah maka raja Sultan Hasanuddin dipaksa
untuk menandatangani Perjanjian Bongaya.
Dengan adanya daerah kekuasaan Makasar yang
luas tersebut, maka seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat
dikuasainya. Sultan Hasanuddin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada
dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang
dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara
Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya
kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara
Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan.
Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.
Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya
untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan
Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka
Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya
Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan
politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan
Makasar).
Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa
dijajah oleh Makasar meminta bantuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari
kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk
menghancurkan Makasar. Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat
menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus
mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang
isinya tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.
2.2 Jalannya Perlawanan Makassar Terhadap Belanda
Perang Makasar (1666-1668) sebenarnya dipicu
oleh perang dagang antara Kerajaan
Makasar yang menjadikan pelabuhannya bebas dikunjungi oleh kapal-kapal dari
Eropa ataupun dari Asia dan Nusantara, dengan pihak VOC yang ingin
memaksakan monopoli. Pelabuhan Makasar
dianggap menyaingi perniagaan VOC. Keinginan VOC untuk mengontrol jalur perniagaan laut, ditolak oleh Sultan
Hasanuddin. Dalam kebudayaan bahari yang
dimiliki oleh orang Makasar, mereka memiliki filosofi bahwa secara umum laut adalah milik bersama,
siapapun boleh melayarinya. Permintaan
VOC agar Sultan menerima monopoli perdagangan di Makasar ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Bahkan Sultan
mengatakan:
“Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan,
telah membagi-bagi daratan di antara
umat manusia. Tetapi mengaruniakan laut untuk semuanya. Tak pernah kedengaran larangan buat siapapun untuk
mengarungi lautan.”
Jawaban ini meneguhkan semangat orang-orang Makasar untuk
melawan tindakan yang memaksakan
kehendak, padahal sudah sejak lama, perniagaan laut di Asia Tenggara ini
berjalan dengan sistem pasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol keamanan laut dan pelabuhan dengan menarik
cukai atas bermacam mata dagangan. Bahkan
para penguasa juga menjadi kaya karena menjadi juragan atau pemilik kapal- kapal
dagang. Namun sejak kekalahan dalam Perang Makasar banyak bangsawan, saudagar, dan pelaut Makasar yang
meninggalkan kampung halamannya pergi merantau
ke seluruh kepulauan Nusantara.
Sementara itu sebagaian besar bangsawan Bugis
di Wajo yang menjadi sekutu Kerajaan Gowa-Tallo juga melakukan
pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora
dihancurkan oleh VOC. Peperangan yang terjadi kemudian pada pertengahan
abad ke 18 antara Kerajaan Bone melawan Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Wajo
juga makin menambah besar jumlah
penduduk yang mengungsi. Namun para pengungsi Makasar dan Bugis generasi awal telah beradaptasi dengan
baik di lingkungan barunya. Kebanyakan orang Bugis kemudian menetap di wilayah
kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya,
sementara orang Makasar di Jawa dan Madura.
Sedangkan dalam jumlah kecil mereka menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan
Indonesia. Dalam proses awal adaptasi, Andaya melihat bahwa para pengungsi
Makasar awalnya mengalami kegagalan karena sifat mereka terus memusuhi
VOC, sehingga di Jawa Timur, Karaeng Galengsung dan pengikutnya, mendukung
pemberontakan Trunojoyo melawan Mataram dan VOC, yang pada akhirnya mengalami
kekalahan pada tahun 1679. Hal yang sama
juga terjadi di Banten ketika Karaeng
Bontomarannu tiba di Banten dengan 800 orang pengikutnya dan mendapatkan tempat
tinggal dari SultanBanten, sampai kemudiaan ditinggalkan akibat perang antara
VOC dan Banten tahun 1680.
Sebaliknya menurut Andaya, para pengungsi
dari Bugis tidak memposisikan sebagai musuh
VOC dengan tidak mendukung perlawanan
penguasa setempat terhadap VOC. Sehingga
orang-orang Bugis ini relatif tidak dicurigai oleh VOC. Para bangsawan Bugis dan pengikutnya yang berada di tanah
Semenanjung Malaya justru diminta bantuan
oleh Sultan Johor, Abd al-Jalil untuk melawan saingannya, Raja Kecik,
yang ingin merebut tahta dengan bantuan
Orang Laut. Setelah musuhnya berhasil dikalahkan, Sultan memberikan daerah
kepulauan Riau sebagai tempat tinggal orang-orang Bugis. Pada abad ke-18, para
bangsawan Bugis ini kemudian membentuk kerajaan yang otonom di
kepulauan Riau.
Pertempuran antara rakyat Makassar dengan VOC
terjadi. Pertempuran pertama terjadi pada tahun 1633. Pada tahun 1654 diawali
dengan perilaku VOC yang berusaha menghalang-halangi pedagang yang akan masuk
maupun keluar Pelabuhan Makassar mengalami kegagalan. Pertempuran ketiga
terjadi tahun 1666-1667, pasukan kompeni dibantu olehpasukan Raja Bone (Aru
Palaka) dan pasukan Kapten Yonker dari Ambon. Angakatan laut VOC, yang dipimpin
oleh Spleeman. Pasukan Arung Palakka mendarat din Bonthain dan berhasil
mendorog suku Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap Sultan Hasanudin.
Penyerbuan ke Makassar dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Sultan Hasanudin
terdesak dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian perdamaian di Desa Bongaya
pada tahun 1667.
Faktor penyebab kegagalan rakyat Makassar
adalah keberhasilan politik adu domba Belanda terhadap Sultan Hasanudin dengan
Arung Palakka. Membantu Trunojoyo dan rakyat Banten setiap melakukan perlawanan
terhadap VOC. Dengan disahkannya perjanjian Bongaya, maka Rakyat Gowa merasa
sangat dirugikan oleh karena itu perangpun kembali berkecamuk. Pertempuran
hebat itu membuat Belanda cemas, sehingga menambah bala bantuan dari batavia.
Dalam pertempuran dahsyat pada bulan Juni 1669 yang cukup banyak menelan korban
di kedua belah pihak, akhirnya Belanda berhasil merebut benteng pertahanan yang
paling kuat di Somba Opu.
Benteng Somba Opu diduduki Belanda sejak 12
Juni 1669 dan kemudian dihancurkan, setelah pasukan Gowa mempertahankannya
dengan gagah berani. Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya
sendiri (Bone) yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit
banyaknya membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa
dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu
pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya
mengalami kemunduran.
Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667
sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian itu, nyatalah kekalahan Makassar.
Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang ditaklukkannya harus
dilepaskan. Apalagi sejak Arung Palakka menaklukkan hampir seluruh daratan
Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang
pindah di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara
penuh di Indonesia.
Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa
mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi penguasaan maupun
perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin lama makin tidak
terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Aru Palaka dan
Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi
kosong dan sepi. Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari
Makassar ( Yang berada dalam masa peralihan) ke Kalegowa dan Maccini Sombala
tidak dapat dalam waktu yang cepat memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas
dalam negeri. Namun demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya
yang begitu gigih untuk membela tanah air dari cengkraman penjajah.
Akibat lain dari perjanjian ini adalah semua
hubungan dengan orang-orang Makassar di daerah ini harus diputuskan. Bagi VOC,
orang-orang Makassar merupakan para pengacau dan penyulut kekacauan karena
hubungan Sumbawa dan Makassar yang telah berjalan lama. Pada 1695, orang-orang
Makassar melakukan pelarian dalam jumlah besar ke daerah Manggarai. Bahkan,
perpindahan orang-orang Makassar itu telah berlangsung sejak 1669, setelah
Kerajaan Gowa ditaklukkan VOC dan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada
1667.
Jawaban ini meneguhkan semangat orang-orang Makasar untuk
melawan tindakan yang memaksakan
kehendak, padahal sudah sejak lama, perniagaan laut di Asia Tenggara ini
berjalan dengan sistem pasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol keamanan laut dan pelabuhan dengan menarik
cukai atas bermacam mata dagangan.
Bahkan para penguasa juga menjadi kaya karena menjadi juragan atau
pemilik kapal- kapal dagang. Namun sejak kekalahan dalam Perang Makasar banyak
bangsawan, saudagar, dan pelaut Makasar
yang meninggalkan kampung halamannya pergi merantau ke seluruh kepulauan Nusantara.
Sementara itu sebagaian besar bangsawan Bugis
di Wajo yang menjadi sekutu Kerajaan Gowa-Tallo juga melakukan
pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora
dihancurkan oleh VOC. Peperangan yang terjadi kemudian pada pertengahan
abad ke 18 antara Kerajaan Bone melawan Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Wajo
juga makin menambah besar jumlah
penduduk yang mengungsi. Namun para pengungsi Makasar dan Bugis generasi awal telah beradaptasi dengan
baik di lingkungan barunya.
Kebanyakan orang Bugis kemudian menetap
di wilayah kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya, sementara orang Makasar di Jawa dan Madura.
2.3 Akhir perlawanan
Sultan Hasanudin pada awal 1668 membatalkan
perjanjian Bongaya yang sangat merugikan Gowa-Tallo. Pada 1669, Arung Palaka
menyerang benteng Somba Opu dengan kekuatan sekitar 7.000-8.000 pasukan.
Arung Palaka dapat menaklukan benteng Somba
Opu dan Sultan Hasanudin beserta pasukannya melarikan diri hingga meninggal
pada tahun 1670.
2.4 Dampak Perlawanan Makassar Terhadap Belanda
Peperangan demi peperangan melawan Belanda
dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian.
Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa.
Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng Somba
Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung berabad-abad
lamanya akhirnya mengalami kemunduran.
Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667
sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian itu, nyatalah kekalahan Makassar.
Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang ditaklukkannya harus
dilepaskan. Apalagi sejak Arung Palakka menaklukkan hampir seluruh daratan
Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang
pindah di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara
penuh di Indonesia.
Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa
mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi penguasaan maupun
perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin lama makin tidak
terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Arung Palakka dan
Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi
kosong dan sepi. Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari
Makassar ( Yang berada dalam masa peralihan) ke Kalegowa dan Maccini Sombala
tidak dapat dalam waktu yang cepat memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas
dalam negeri. Namun demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya
yang begitu gigih untuk membela tanah air dari cengkraman penjajah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Meski begitu Ekspedisi VOC tetap berlanjut
dengan membawa kapal perang berisikan 1.860 orang dari tentara Belanda dan
masyarakat pribumi. Sultan Hasanuddin sempat mengajak pihak VOC untuk
berunding, namun hasilnya buntu dan bendera Perang Makassar siap dikibarkan.
Ternyata VOC tidak hanya sendiri, ia mendapat
dukungan dan berkoalisi dengan Kerajaan Ternate, tidore, dan Buton untuk
melawan Kerajaan Gowa Tallo. Karena kekuatan dari musuh yang sangat besar,
satu-persatu benteng dari Kerajaan Gowa Tallo pun jatuh. Gowa pun pada akhirnya
juga jatuh.
Meskipun begitu Sultan hasanudin tetap
menolak untuk menyerah. Ia tetap gigih untuk melawan musuh, oleh karena itu dia
dijuluki Sang Ayam Jantan dari Timur.
Pasukan dari Sultan Hasanuddin terus
menyerang hingga VOC kewalahan. Mereka pun akhirnya meminta bantuan pasukan
dari Batavia. Meskipun sudan berperang dengan sekuat tenaga, Benteng Somba Opu
akhirnya jatuh pada 22 juni 1669 dan ini menandai akhir Perang Makassar.
No comments:
Post a Comment