KUMPULAN MAKALAH : 01/07/23

Saturday, January 7, 2023

MAKALAH ASPEK PERLINDUNGAN KONSUMEN MELALUI TRANSAKSI PERDAGANGAN ELEKTRONIK (E-COMMERCE)

 

 

 

BAB I PENDAHULUAN 

1.1 LATAR BELAKANG

 

Perkembangan perekonomian, perdagangan dan perindustrian yang semakin meningkat memberikan kemudahan yang luar biasa bagi konsumen karena terdapat beragam variasi produk barang dan jasa yang dapat dikonsumsi oleh konsumen yang ditawarkan oleh pelaku usaha3. Globalisasi perdagangan tersebut didukung oleh teknologi informasi dan telekomunikasi yang memberi ruang yang sangat bebas dan leluasa dalam setiap transaksi perdagangan sehingga konsumen dengan mudahnya dapat memperoleh barang/jasa dari dalam dan luar negeri yang dipasarkan sesuai diinginkan dan kebutuhannya.

Globalisasi perdagangan menyebabkan dunia menjadi sebuah perkampungan besar, sehingga batas-batas negara menjadi sangat kabur. Sementara itu, ekonomi global mengikuti logikanya sendiri. Dalam proses tersebut, dunia dimanfaatkan serta terjadi intensifikasi kesadaran terhadap dunia sebagai satu kesatuan utuh. Namun demikian, proses globalisasi yang memungkinkan adanya arus informasi bebas hambatan melalui internet, peningkatan lalu lintas arus barang dan personalia secara internasional serta keanggotaan di dalam berbagai organisasi dunia, secara potensial memunculkan persoalan-persoalan hukum yang berdampak bagi masyarakat, yang mau tidak mau harus ditangani oleh para ahli hukum. Berbagai permasalahan yang dimunculkan oleh teknologi informasi dan harus dihadapi oleh hukum semestinya telah cukup jelas dan dapat diduga.

Perkembangan transaksi perdagangan secara elektronik (e- commerce)  tidak terlepas dari laju pertumbuhan internet karena e- commerce berjalan melalui jaringan internet. John Nielson salah seorang pimpinan perusahaan Microsoft, menyatakan dalam kurun waktu 30 tahun 30 % transaksi penjualan kepada konsumen dilakukan melalui e- commerce.

Pertumbuhan pengguna internet yang sedemikian pesatnya merupakan Kenyataan yang membuat internet menjadi salah satu media yang efektif bagi pelaku usaha untuk memperkenalkan dan menjual barang atau jasa ke calon konsumen dari seluruh dunia. E-commerce merupakan model bisnis modern yang non-face (tidak menghadirkan pelaku bisnis secara fisik) dan non-sign (tidak memakai tanda tangan asli)9. Hadirnya e-commerce memungkinkan terciptanya persaingan yang sehat antara pelaku usaha kecil, menengah, dan besar dalam merebut pangsa pasar.

Dalam transaksi e-commerce diciptakan transaksi bisnis yang lebih praktis tanpa kertas (paperless) dan dalam transaksi e-commerce dapat tidak bertemu secara langsung (face to face) para pihak yang melakukan transaksi, sehingga dapat dikatakan e-commerce menjadi penggerak ekonomi baru dalam bidang teknologi. Selain keuntungan tersebut, aspek negatif dari pengembangan ini adalah berkaitan dengan persoalan keamanan dalam bertransaksi dengan menggunakan media e-commerce. Munculnya bentuk penyelewengan-penyelewengan yang cenderung merugikan konsumen dan menimbulkan berbagai permasalahan hukum dalam melakukan transaksi e-commerce.

Realitas dari fenomena tersebut memiliki tantangan positif karena memberikan manfaat bagi konsumen untuk memilih dan memiliki kebebasan menentukan jenis dan kualitas barang/jasa yang diinginkannya Dalam penerapannya transaksi jual beli melalui e-commerce dipilih dan

 


 

 

dilakukan oleh pelaku usaha sebagai pengedar barang/jasa dan konsumen sebagai pengguna layanan barang atau jasa bermanfaat dalam penggunaan e-commerce antara lain:

1.   Dapat meningkatkan market exposure (pangsa pasar)

2.   Menurunkan biaya operasional (operating cost).

3.   Melebarkan jangkauan (global reach)

4.   Meningkatkan costumer loyalty

5.   Meningkatkan supply management

6.   Memperpendek waktu produksi

Dengan alasan-alasan praktis tersebut, e-commerce dianggap mampu memberikan kemudahan kepada pelanggan untuk berbelanja atau melakukan transaksi selama 24 jam sehari dari tempat, jarak, dan waktu yang tidak terbatas. Aplikasi e-commerce tidak hanya dilakukan mulai pada sektor ekonomi dan perdagangan, tetapi juga masuk ke sektor ilmu pengetahuan dan pendidikan, politik, sosial, budaya, hukum, pertahanan, dan keamanan.

Dampak negatif yang ditimbulkan dari e-commerce ini kepentingan pelaku usaha memperoleh laba dari transaksi dengan konsumen sering terjadi hubungan yang tidak setara di antara keduanya. Posisi konsumen berada pada posisi tawar-menawar yang lemah dan karena dapat menjadi sasaran eksploitasi pelaku usaha yang secara sosial ekonomi memiliki posisi yang kuat.

Transaksi elektronik sebagaimana dikemukakan Onno W. Purbo keamanan sistem informasi berbasis internet menjadi suatu keharusan untuk diperhatikan karena jaringan komputer internet bersifat publik dan global pada dasarnya tidak aman. Pada saat data dikirim dari suatu komputer ke komputer lainnya di dalam internet data tersebut melewati sejumlah komputer yang lain yang berarti memberi kesempatan pada pengguna internet lainnya untuk menyadap atau mengubah data


 

 

tersebut. Risiko pembobolan data di internet hampir setiap hari terjadi di seluruh dunia selain sangat dimungkin penyusup (hacker) mengakses data-data di dalam jaringan yang dilindungi. Jika hal ini terjadi ketidakamanan dalam jaringan komputer menjadi suatu kejahatan yang sangat serius untuk diperhatikan bagi konsumen yang posisinya dalam hal ini paling rentan.

Masalah hukum lainya adalah perlindungan terhadap konsumen yang melakukan transaksi e-commerce dengan merchant dalam satu negara atau berlainan negara. Di dalam jual beli melalui internet, seringkali terjadi kecurangan. Kecurangankecurangan tersebut dapat terjadi yang menyangkut keberadaan pelaku usaha, barang yang dibeli, harga barang, dan pembayaran oleh konsumen. Kecurangan yang menyangkut pelaku usaha, misalnya pelaku usaha (virtual store) yang bersangkutan merupakan toko yang fiktif.

Contoh lainnya, barang yang dikirimkan oleh pelaku usaha, barang tersebut tidak dikirimkan kepada konsumen atau terjadi kelambatan pengiriman yang berkepanjangan, terjadi kerusakan atas barang yang dikirimkan atau barang yang dikirimkan cacat, dan lain-lain. Menyangkut purchase dan pembayaran oleh konsumen yang disangkal kebenarannya oleh pelaku usaha. Misalnya, pelaku usaha hanya mengakui bahwa jumlah barang yang dipesan kurang dari yang tercantum di dalam purchase yang dikirimkan secara elektronik atau harga per unit dari barang yang dipesan oleh konsumen dikatakan lebih tinggi dari pada harga yang dicantumkan di dalam purchase. Dapat pula terjadi pelaku usaha mengaku belum menerima pembayaran dari konsumen, padahal kenyataannya konsumen sudah mengirim pembayaran untuk seluruh harga barang.

Luasnya akses pasar yang diperoleh konsumen sebagai akibat proses    globalisasi    ekonomi    harus    tetap    menjamin    peningkatan


kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan jasa yang diperjualbelikan melalui e-commerce. Paling tidak terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan terkait perlindungan konsumen melalui perdagangan e-commerce. Pertama, tanggung jawab produsen (baca: penjual) terhadap barang yang dipasarkan yaitu berdaya saing tinggi. Kedua, barang/jasa yang ditawarkan/dijual bermutu. Ketiga barang/jasa tersebut bernilai tambah atau berdaya guna tinggi.

Ketiga hal tersebut memiliki muatan tanggungjawab hukum (product liability) yang berakibat pada sikap kehati-hatian (precoison) baik dalam menjaga kualitas produk, penggunaan bahan maupun memenuhi apa yang telah di sepakati dalam perjanjian.

Pengaturan perjanjian antara pihak pelaku usaha dengan konsumen dalam sistem hukum perdata terdapat pada Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Adapun yang dimaksudkan perjanjian menurut Sudikno Mertokusumo bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua belah pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan atau kaedah hukum atau hak kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati dan dijalankan. Kesepakatan itu menimbulkan akibat hukum dan bila kesepakatan dilanggar maka akibat hukumnya si pelanggar dapat dikenakan akibat hukum atau sanksi.

Permasalahan yang terjadi dalam transaksi jual beli e- commerce banyak ditunjukkan dengan pelaku usaha yang tidak memberikan kewajibannya kepada konsumen dalam bertransaksi. Menurut pasal 1234 KUH Perdata, tahap ini adalah ditunjukkan dengan adanya wanprestasi yaitu tidak dapat dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian yang dapat disebabkan oleh dua kemungkinan sebagai berikut:

 

1 Debitur sama sekali tidak memenuhi perjanjian; debitur tidak memenuhi kewajiban yang telah disanggupinya untuk dipenuhi dalam suatu perjanjian atau tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh undang- undang

2.            Debitur terlambat memenuhi perjanjian; debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktu, waktu yang ditetapkan dalam perjanjian tidak dipenuhi

3.            Debitur keliru memenuhi prestasi; debitur melaksanakan atau memenuhi apa yang diperjanjikan atau apa yang ditentukan oleh undang-undang tetapi tidak sebagaimana mestinya menurut kualitas yang telah ditentukan dalam perjanjian atau yang telah ditetapkan oleh undang–undang

4.            Debitur melakukan sesuatu yang menurut perjanjian atau tidak boleh dilakukan.

Perlindungan yang berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan, serta kepastian hukum terhadap konsumen sebagai pengguna barang/jasa, maka dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UUPK menyebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.

 

1.2 BATASAN MASALAH

Berdasarkan hal tersebut maka paper terbatas ini menguraikan secara ringkas Bagaimanakah perlindungan konsumen dan permasalahannya dalam e-commerce di Indonesia.?

 

BAB II PEMBAHASAN

Filosofi dari UUPK Tahun 1999 adalah sebuah sistem, penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen tidak dapat dilepaskan dari konteks pembangunan nasional. Adanya konsep


keterpaduan pada UUPK Tahun 1999 dalam penyelanggaraan perlindungan hukum bagi konsumen jika dibandingkan dengan konsiderans UUPK Tahun 1999 tentang latar belakang perlindungan hukum bagi konsumen ini dilandasi motif-motif yang dapat diabstraksikan sebagai berikut:

1.      Mewujudkan demokrasi ekonomi;

2.      Mendorong diversifikasi produk barang dan atau jasa sebagai sarana peningkatan kesejahteraan masyarakat luas pada era globalisasi, serta menjamin ketersediaannya;

3.      Globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat luas serta kepastian mutu, jumlah, keamanan barang dan atau jasa;

4.      Peningkatan harkat dan martabad konsumen melalui hukum (UUPK) untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha dalam suatu perekonomian yang sehat.

Asas perlindungan hukum bagi konsumen pada Pasal 2 UUPK, yakni asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Dapat dikatakan pembentuk undang- undang menyadari bahwa perlindungan hukum bagi konsumen ibarat sekeping uang logam yang memiliki dua sisi yang berbeda, satu sisi merupakan konsumen, sedangkan sisi yang lainnya pelaku usaha, dan tidak mungkin hanya menggunakan satu sisi tanpa menggunakan kedua sisi sekaligus.

 

a.         Konsumen dan Perlindungan Hak Konsumen

Konsumen (consumer) secara harfiah diartikan sebagai “orang atau pelaku usaha yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu”; atau “sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”. Ada juga yang mengartikan “setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”. Pengertian di atas


 

 

memperlihatkan bahwa ada pembedaan antar konsumen sebagai orang alami atau pribadi kodrati dengan konsumen sebagai pelaku usaha atau badan hukum pembedaan ini penting untuk membedakan apakah konsumen tersebut menggunakan barang tersebut untuk dirinya sendiri atau untuk tujuan komersial (dijual, diproduksi lagi).1421

UUPK Tahun 1999 mendefinisikan konsumen sebagai ... “Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Lihat Ketentuan Umum Pasal

1 Ayat 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Definisi ini sesuai dengan pengertian bahwa konsumen adalah end user/pengguna terakhir, tanpa konsumen merupakan pembeli dari barang dan/atau jasa tersebut.

Berdasarkan hal tersebut perlindungan hukum bagi hak-hak konsumen secara garis besar dibagi dalam 3 (tiga) hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu:

1.      hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;

2.      hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga wajar; dan

3.      hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi.

UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi landasan bagi sahnya perjanjian e-commerce selain KUH Perdata Pasal 1313, Pasal 1338 dan Pasal 1320 KUH Perdata.

 


 

c.            Ruang Lingkup dan pengaturan E-commerce

UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi landasan perdagangan elektronik di Indonesia. Julian Ding mendefinisikan e-commerce sebagai berikut :

“Electronic or e-commerce as it is also known is a commercial transaction between a vendor and purchase or parties in similar contractual relationship for the supply of goods, services or acquisition of right. This commercial transaction is executed or entered into electronic medium or digital medium where the physical presence of parties is not required and medium exist in a public network or system as opposed to private network (closed system). The publish network system must considered on open system (e.g the internet our world wide web). The transaction concluded regardless of nation boundaries or local requirement”.

 

Terjemahan bebas pernyataan di atas adalah perdagangan secara elektronik dikenal juga sebagai transaksi komersial antara vendor dan pembeli atau pihak dalam hubungan kontraktual yang sama untuk penyediaan barang, jasa atau akuisisi hak. Transaksi komersial ini dijalankan atau dimasukkan ke dalam media elektronik atau media digital di mana kehadiran fisik para pihak tidak diperlukan dan menengah yang ada di jaringan publik atau SISTEM sebagai lawan jaringan pribadi (sistem tertutup). Mempublikasikan jaringan SISTEM harus mempertimbangkan SISTEM terbuka (misalnya jaringan internet dunia yang luas). Transaksi e- commerce disimpulkan tanpa mengenal batas negara atau kebutuhan lokal.

Hal terse but menjelaskan ecommerce merupakan suatu transaksi komersial yang dilakukan antar penjual dan pembeli atau dengan pihak lain dalam hubungan perjanjian yang sama untuk mengirimkan sejumlah barang, pelayanan atau peralihan hak. Transaksi komersial ini terdapat di dalam media elektronik (media digital) yang secara fisik tidak memerlukan pertemuan para pihak yang bertransaksi dan keberadaan media ini di dalam jaringan publik atau sistem yang berlawanan dengan private network (sistem tertutup). Dari definisi tersebut, e-


 

 

commerce memiliki karakteristik yaitu adanya transaksi antar dua belah pihak, adanya pertukaran barang jasa atau informasi, dan internet merupakan medium utama dalam proses atau mekanisme perdagangan.

Secara filosofis, Pasal 3 UU ITE Tahun 2008 mengatur bahwa setiap pemanfaatan teknologi informasi harus didasarkan pada asas “kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik dan netral teknologi”. Lebih lanjut, mengenai pentingnya kepastian hukum ini tertuang dalam Pasal 4 UU ITE yang mengatur bahwa “transaksi elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan rasa aman, keadilan dan kepastian hukum…” Hal ini menyiratkan bahwa pelaku usaha jual-beli dalam e-commerce harus mematuhi aturan hukum yang berlaku.

Mekanisme transaksi secara e-commerce seperti di bawah ini :

1.     Penjual (merchant), yaitu perusahaan/produsen yang menawarkan produknya melalui internet. Untuk menjadi merchant, maka seseorang harus mendaftarkan diri sebagai merchant account pada sebuah bank, tentunya ini dimaksudkan agar merchant dapat menerima pembayaran dari customer dalam bentuk credit card.

2.      Konsumen/ card holder, yaitu orang-orang yang ingin memperoleh   produk   (barang/jasa)   melalui   pembelian secara online. Konsumen yang akan berbelanja di internet dapat berstatus perorangan atau perusahaan. Apabila konsumen merupakan perorangan, maka yang perlu diperhatikan dalam transaksi e-commerce adalah bagaimana sistem pembayaran yang digunakan, apakah pembayaran dilakukan dengan mempergunakan credit card atau dimungkinkan pembayaran dilakukan secara manual/cash. Hal ini penting untuk diketahui, mengingat tidak semua konsumen yang akan berbelanja di internet adalah pemegang kartu kredit. Pemegang kartu kredit adalah orang yang namanya tercetak


 

 

pada kartu kredit yang dikeluarkan oleh penerbit berdasarkan perjanjian yang dibuat.

3.     Acquirer, yaitu pihak perantara penagihan (antara penjual dan penerbit) dan perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit). Perantara pengaihan adalah pihak yang meneruskan penagihan kepada penerbit berdasarkan tagihan yang masuk kepadanya yang diberikan oleh penjual barang/jasa. Pihak perantara pembayaran antara pemegang dan penerbit adalah bank di mana pembayaran kartu kredit dilakukan oleh pemilik kartu kredit/ card holder, selanjutnya bank yang menerima pembayaran ini akan mengirimkan uang pembayaran tersebut kepada penerbit kartu kredit.

4.      Issuer, yaitu perusahaan credit card yang menerbitkan kartu. Di Indonesia ada beberapa lembaga yang diijinkan untuk menerbitkan kartu kredit, yaitu:

a.      Bank dan lembaga keuangan bukan bank. Tidak semua bank dapat menerbitkan credit card, hanya bank yang telah memperoleh ijin dari card international, dapat menerbitkan credit card, seperti Master dan Visa card.

b.      Perusahaan non bank dalam hal ini PT. Dinner Jaya Indonesia International yang membuat perjanjian dengan perusahaan yang ada di luar negeri.

c.      Perusahaan yang membuka cabang dari perusahaan induk yang ada di luar negeri, yaitu American Express.

5.     Certification Authorities yaitu pihak ketiga yang netral yang memegang hak untuk mengeluarkan sertifikasi kepada merchant, kepada issuer dan dalam beberapa hal diberikan kepada card holder.

Apabila transaksi e-commerce tidak sepenuhnya dilakukan secara online dengan kata lain hanya proses transaksinya saja yang online sementara pembayaran tetap dilakukan secara manual/cash, maka


 

 

pihak acquirer, issuer dan certification authority tidak terlibat di dalamnya. Disamping pihak- pihak tersebut diatas, pihak lain yang keterlibatannya tidak secara langsung dalam transaksi e- commerce yaitu jasa pengiriman (ekspedisi).

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dianalogikan bahwa dalam setiap transaksi jual beli antara pelaku usaha dengan konsumen dilakukan suatu perjanjian yang menurut pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.

Pengertian perjanjian di atas belumlah lengkap dan terlalu luas, belum lengkap karena perumusan diatas hanya mengenai perjanjian sepihak saja dan dikatakan terlalu luas karena cakupan rumusan diatas bias saja keluar dari maksud perjanjian dalam KUH Perdata yakni pada lapangan hukum kekayaan. Sehingga pasal 1313 KUHPerdata tidak dapat diajukan acuan dalam memperoleh pengertian perjanjian. Abdulkadir Muhammad menyatakan, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. Maka untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat sebagaimana yang disebut dalam pasal 1320 KUH Perdata yakni:

1.      Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya

2.      Capak untuk membuat suatu perikatan

3.      Suatu hal tertentu

4.      Suatu sebab yang halal

Kaitannya dengan transaksi e-commerce antara pihak e- merchant (pihak yang menawarkan barang atau jasa melalui internet) dengan e-customer (pihak yang membeli barang atau jasa melalui internet) yang terjadi di dunia maya atau di internet pada umumnya berlangsung secara paperless transaction, sedangkan dokumen yang digunakan dalam transaksi tersebut bukanlah paper document, melainkan dokumen elektronik (digital document). Kontrak online dalam e-


 

 

commerce memiliki banyak tipe dan variasi berdasarkan sarana yang digunakan untuk membuat kontrak, yaitu :

1.      Kontrak melalui chatting dan video conference

2.      Kontrak melalui e-mail

3.      Kontrak melalui web

Jika dikaitkan permasalahan penegakan hukum dalam transaksi e- commerce di Indonesia, berdasarkan Penjelasan umum atas Undang- undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen dalam perdagangan adalah tingkat kesadaran konsumen masih amat rendah yang selanjutnya diketahui terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Hal ini diperlukan suatu upaya serius dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia mengenai sosialisasi peraturan hukum dan pengetahuan dalam transaksi e-commerce yang sebagaimana untuk mencegah terjadinya perkembangan pidana dalam transaksi e- commerce yang berlangsung di dunia maya tersebut.

Pada hakikatnya sepanjang pelaksanaan e-commerce dilakukan secara legal dan tidak melanggar ketentuan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia tidak ada alasan bagi Aparat Penegak Hukum melakukan tindakan hukum apapun terhadap pelaku usaha nakal dalam transaksi e-commerce ini.

Hal yang berkaitan langsung dengan pidana dalam praktik bisnis e- commerce dalam UU ITE terkait informasi bohong atau menyesatkan terhadap konsumen (Pasal 28 ayat [1]) dan perbuatan memproduksi atau memperdagangkan perangkat keras atau perangkat lunak yang digunakan untuk memfasilitasi perbuatan pidana UU ITE (Pasal 34 ayat [1]).

Bunyi lengkap Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1) UU ITE adalah sebagai berikut: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.”


 

 

Pasal 34 ayat (1) UU ITE sebagai berikut:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan atau memiliki:

a.     Perangkat keras atau perangkat lunak komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 sampai dengan pasal 33 UU ITE”

b.     Sandi lewat komputer, kode akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar sistem elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 sampai dengan pasal 33.”

 

Pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (1) UU ITE tersebut dapat dikenai pidana penjara paling lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp1 miliar. Sedangkan, pelanggaran terhadap Pasal 34 ayat (1) UU ITE dapat dikenai pidana paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 10 miliar rupiah. Dalam hal terdapat dugaan tindak pidana transaksi elektronik, penyidik pejabat polisi berwenang untuk melakukan penyidikan, penggeledahan, penyitaan terhadap sistem elektronik, penangkapan maupun penahanan. Di sisi lain, secara perdata, apabila terdapat pihak yang merasa dirugikan atas kegiatan perdagangan yang menggunakan sistem elektronik, pihak tersebut dapat menggugat terhadap pihak yang menyelenggarakan transaksi elektronik tersebut.

Dalam penerapan UU PK Tahun 1999 diperhatikan asas- asas yang dijelaskan dalam pasal 2 UUPK yang menyebutkan “perlindungan konsumen berasaskan masnfaat, keadilan, serta keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum”.

Asas- asas tersebut dijelaskan dalam penjelasan pasal 2 UUPK yang menyebutkan perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai


 

 

usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

1.      Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberi manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2.      Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3.      Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antar kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual.

4.      Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas kesamaan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5.      Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.

Untuk menginterpretasikan asas-asas tersebut, maka perlu diketahui hak- hak dan kewajiban antara konsumen dan pelaku usaha. Hak- hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh konsumen dan pelaku usaha tercantum di dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 UUPK Tahun 1999.

Di dalam pasal 5 UUPK, diatur tentang kewajiban konsumen yaitu:


 

 

 

 

 

1.     Membaca  atau   mengikuti  petunjuk  informasi  dan  prosedur pemakaian    atau    pemanfaatan    barang    dan/    jasa,    demi keamanan dan keselamatan

2.     Beritikad  baik  dalam  melakukan  transaksi  pembelian  barang dan/ jasa

3.      Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati

4.     Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengeketa perlindungan konsumen secara patut

Di dalam pasal 6 UUPK, diatur tentang hak pelaku usaha yaitu:

1.     Hak   untuk   menerima   pembayaran   yang   sesuai   dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan

2.     Hak   untuk   mendapat   perlindungan   hukum   dari   tindakan konsumen beritikad tidak baik

3.     Hak  untuk  mendapatkan  pembelaan  diri  sepatutnya  di  dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen

4.     Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan

5.     Hak- hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan lainnya.

Di  dalam  pasal  7  UUPK,  diatur  tentang  kewajiban  pelaku  usaha

 

 

1.      Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya

2.     Memberikan  informasi  yang  benar,  jelas  dan  jujur  mengenai kondisi  dan  jaminan  barang  dan/  atau  jasa  serta  memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan

3.     Memperlakukan  atau  melayani  konsumen  secara  benar  dan jujur dan tidak diskriminatif


 

 

4.      Menjamin mutu barang dan atau/atau jasa yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutut barang dan/ atau jasa yang berlaku

5.      Memberikan konsumen untuk menguji dan/ atau mencoba barang dan/ atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/ atau garansi atas barang yang dibuat dan/ atau yang diperdagangkan

6.      Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan / atau penggantian apabila barang dan/ atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Untuk dapat dikatakan sebagai Perbuatan Melawan Hukum berdasar Pasal 1365 KUHPerdata, suatu perbuatan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

a.       Adanya perbuatan melawan hukum;

b.        Adanya unsur kesalahan;

c.        Adanya kerugian;

d.        Adanya hubungan sebab akibat yang menunjukkan bahwa adanya kerugian disebabkan oleh kesalahan seseorang.

e.      Adanya unsur melawan hukum dimana suatu perbuatan melawan hukum memenuhi unsur-unsur berikut :

(1)   Bertentangan dengan hak orang lain; (2) Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri; (3) Bertentangan dengan kesusilaan; (4) Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.

Selain itu, dalam penerapan hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh konsumen dan pelaku usaha, terdapat aturan yang terdapat dalam UUPK yang mengatur perbuatan yang dilarang bagi para pelaku usaha diatur dalam Bab IV UUPK yang terdiri dari 10 pasal, dimulai dari pasal 8 sampai dengan pasal 17 yang diperuntukkan agar terjadinya


 

 

pertanggungjawaban hukum apabila terjadi kerugian yang dialami oleh konsumen akhir.

Pasal 8 UUPK meliputi perbuatan larangan kegiatan usaha dalam melaksanakan kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan jasa yang:

1.      Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

2.      Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan jumlah dalam htungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

3.      Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

4.      Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/ atau jasa tersebut;

5.      Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/ atau jasa tersebut;

6.      Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/ atau jasa tersebut;

7.      Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut;

8.      Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;

9.      Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/ isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,


 

 

nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menyurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;

10.  Tidak mencantumkan informasi dan/ atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila pelaku usaha dalam menjalankan usahanya melanggar larangan- larangan dan atau menumbulkan kerusakan, pencemaran dan/ atau kerugian kepada konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/ atau jasa yang diperjual belikan maka pelaku usaha tersebut bertanggung jawab memberikan ganti rugi. Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa sejenis atau secara nilainya atau perawatan kesehatan dan/ atau pemberian santunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi (lihat pasal 19 UUPK). Disamping itu pelaku usaha periklanan juga bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut (Pasal 20 UUPK Tahun 1999).

 

Apabila telah terjadi suatu sengketa yang terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen terkait pemberian sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu sebagaimana diatur dalam pasal 1233 Jo 1234 KUH Perdata atau dapat pula berbagai kombinasi dari prestasi tersebut. Objek sengketa konsumen dalam hal ini dibatasi hanya menyangkut produk konsumen yaitu barang atau jasa yang pada umumnya digunakan untuk keperluan rumah tangganya dan tidak untuk tujuan komersial.

Pasal 23 UUPK Tahun 1999 menyebutkan bahwa apabila pelaku usaha pabrikan dan/ atau pelaku usaha distributor menolak dan/ atau tidak memberi tanggapan dan/ atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk menggugat


 

 

pelaku usaha dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau dengan cara mengajukan gugatan kepada peradilan di tempat kedudukan konsumen tersebut.

Pernyataan tersebut sejalan dengan Pasal 45 UUPK:

1.      Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungannya;

2.      Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela pihak yang bersengketa;

3.      Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada angka (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang;

4.      Apabila telah dipilih upaya sengketa konsumen di luar pengadilan gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

BAB III PENUTUP Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut diatas, kesimpulan yang diperoleh adalah, konsumen merupakan posisi yang rentan karena perjanjian yang ditawarkan merupakan perjanjian baku, dimana posisi yang tidak seimbang antara konsumen dan pelaku usaha. Selain itu menimbulkan permasalahan dalam transaksi e-commerce di Indonesia yang harus diselesaikan seperti penggunaan domain name, alat bukti, pembajakan internet (Internet piracy) berkaitan dengan HKI, perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce, pajak atas transaksi e-commerce yang dilakukan oleh para pihak, pilihan hukum (choice of forum) yaitu pilihan


 

 

mengenai pengadilan mana yang berwenang menyelesaikan sengketa di antara para pihak yang melakukan transaksi e-commerce.

 

Saran

Peningkatan   SDM   dan   prinsip   kehati-hatian   konsumen   serta

penerapan tanggungjawab produk harus selalu di kedepankan dalam penyelesaian masalah perlindungan konsumen secara e-commerce selain diperlukan peningkatan SDM dan profesionalitas kinerja aparat penegak hukum dalam mencegah dan menegakkan hukum perlindungan konsumen terkait dengan hukum Cyber yaitu UU ITE Tahun 2008 dan produk peraturan UU HKI di Indonesia. Hal lainnya penegakan hukum seharusnya memberikan rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi masyarakat khususnya bagi konsumen akhir selaku korban.